Perasaan adalah tentang sesuatu yang tidak dapat disepelekan. Meski tidak terlihat namun perasaan nyata adanya, dia tak kasat mata, namun bisa melukai jika sekali saja kamu salah mengambil langkah untuk menyikapinya.
***
Dengan pelan aku membuka mata dan mengerjap beberapa kali, saat mataku terbuka sempurna aku menyadari di mana aku berada. Sebuah ruangan yang bernuansa putih dan beraroma obat-obatan, di sinilah aku berada dengan tangan yang ditancapi oleh jarum infus. Sepelan mungkin aku menggerakkan kepala melirik ke arah sofa yang berada tak jauh dari ranjang rawatku. Aku melihat Mama begitu berantakan, matanya memejam sambil punggungnya bersandar di sofa. Kupikir Mama tertidur.
Aku memendekkan pandangan dan mendapati Kak Handi yang duduk di kursi samping ranjangku, tangannya berada tak jauh dari tanganku. Kak Handi sama kacaunya seperti Mama.
“Kak...” hanya suara itu yang mampu aku keluarkan.
Kak Handi mendongakkan kepalanya, aku melihat dia menghela napas lega menatapku khawatir. “Gimana perasaan kamu?”tanyanya. “Udah enakan belum? Kakak khawatir, Li. Kaget juga. Kamu berangkat dari rumah dengan keadaan sehat tapi pas pulang kamu langsung masuk ke UGD.”
Aku meringis teringat kejadian semalam. Jadi, siapa yang membawaku ke sini? Apa yang terjadi dengan Gilang dan Seli setelah aku tidak sadarkan diri lagi?
“Sekarang jam berapa, Kak?” tanyaku pelan. Suaraku masih berat rasanya.
Kak Handi melihat arlojinya, “Setengah lima. Kamu mau apa? Minum?”
Aku mengangguk, lalu Kak Handi meraih gelas air putih di atas nakas dan memberikannya padaku. Aku mengucapkan terimakasih setelah berhasil minum walau sedikit. “Mama tidur?”
Setelah aku bertanya, Kak Handi lalu bangkit menghampiri Mama. Kulihat Mama mengangkat kepalanya saat Kak Handi baru saja sampai di dekat Mama. Kak Handi keluar dari ruangan sementara Mama berjalan menghampiriku.
“Udah baikan?” tanya Mama. Aku mengangguk pelan. Mama mengusap lembut kepalaku, aku memejam menikmati tangan lembut Mama yang bergerak di kepalaku.
“Maaf, Ma. Aku ngerepotin kalian lagi, maaf juga mungkin acara reuni sama teman lama Mama jadi sedikit berantakan tadi malam,” ucapku setelah membuka mata. Menatap Mama.
Ternyata Mama menangis, mata Mama benar-benar merah begitu juga dengan hidungnya. “Enggak, Lika. Bukan salah kamu. Justru Mama yang khawatir sama keadaan kamu sekarang, kalo aja Rigel gak ada di sana tadi malam Mama gak tahu gimana keadaan kamu.”
“Sekarang Kak Rigel nya di mana, Ma?” tanyaku.
“Keluar sebentar cari makanan sama Papa,” jawab Mama.
Aku menghela napas dengan sedikit meringis, napasku masih sedikit sesak. “Dokter bilang apa tentang keadaanku, Ma?”
Mama tersenyum masih dengan tangan yang berada di kepalaku, Mama menjawab, “Dokter bilang kamu baik-baik aja. Cuma asap rokok yang terhirup sama kamu bikin pernapasan kamu terganggu, terkejut. Jadi kamu harus dirawat di sini dulu seenggaknya sampai tiga hari buat masa pemulihan.”
Aku mengangguk, setuju saja dengan keputusan dokter. Lagian itu memang yang terbaik untuk keadaanku sekarang. Aku tidak suka berada di rumah sakit terlalu lama, tetapi kembali lagi ini kesembuhanku. Aku cukup mengerti dengan penyakitku yang tidak bisa dianggap sepele ini.
“Ma, aku mau tidur,” ucapku saat merasakan kantuk.
Mama membantuku menarik selimut sampai sebatas dada dan mengecup dahiku lama. Tidak lama setelah itu aku jatuh tertidur.
***
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit akhirnya aku diperbolehkan pulang oleh dokter dengan beberapa syarat yang harus aku penuhi. Utamanya aku tidak boleh terhirup asap rokok lagi walau hanya sedikit.
Kak Handi dan Kak Rigel tidak pulang bersama aku dan Mama juga Papa karena mereka sudah memulai aktivitas lagi hari ini. Walaupun hari Sabtu Kak Handi tetap masuk bekerja dan Kak Rigel juga. Dia mengambil kuliah hari Sabtu.
“Mulai sekarang kamu harus lebih jaga diri lagi, Sayang. Keadaan kamu lagi buruk sekarang, kamu gak boleh kena asap ataupun polusi sekecil apapun itu,” ujar Papa sambil melirikku dari kaca spion tengah.
“Iya, Papa,” balasku.
“Oh iya, kejadian ini jadi pelajaran buat kakak-kakak kamu supaya lebih ekstra jagain adiknya. Mulai hari ini Papa gak ngizinin kamu sekolah pakai motor lagi atau naik kendraan umum. Setiap hari kamu akan diantar sama Rigel atau Handi pakai mobil. Dan apa yang Papa bilang tidak bisa dibantah,” ucap Papa lagi.
Aku merotasikan bola mataku—semoga Papa tidak melihat, Papa kalau sikap posesifnya kambuh ya seperti ini. Menurutku Papa terlalu over hanya karena masalah seperti ini, aku sehat. Ya... walaupun Papa juga benar masalah pernapasan adalah penyakit yang tidak bisa dianggap sepele.
“Tapi Papa... mereka berdua punya kesibukannya masing-masing. Enggak banget kalo Kak Handi harus cuti kerja dan Kak Rigel harus bolos kuliah cuma karena mau anter jemput aku,” ujarku berusaha melonggarkan keputusan Papa.
“Kamu lebih penting buat mereka dari sekedar kuliah atau kerjaan. Atau kalau mereka gak bisa mengatur waktu buat antar jemput kamu ke mana aja, biar Papa yang langsung turun tangan. Papa yang akan antar jemput kamu sekolah, cukup kan buat jadi win-win solution?”
Aku menghela napas berat, “Papa...”
“Pa... udahlah, gak usah dipaksa anaknya. Nanti juga Lika pasti setuju, dia juga cukup akrab sama kakak-kakaknya. Gak usah terlalu memaksa begitulah Pa,” ucap Mama menengahi. Aku mengangguk setuju.
“Tapi, Ma...”
“Iya, Papa. Aku setuju aja sama apa yang Papa bilang. Aku ngerti kok ini buat kesehatan aku juga, aku tahu kalian semua sayang aku,” ucapku akhirnya. Malas juga harus berdebat lama dengan Papa sementara hasilnya tetap juga sama, selalu Papa yang menang dan aku yang harus mengalah.
Setelah sekitar satu jam berada di perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah. Badanku terasa masih lemas dan kepalaku sedikit pusing, napasku juga masih sedikit sesak. Kami bertiga masuk ke dalam rumah dengan Papa yang membawa barang-barang, aku berjalan ke dapur untuk mengambil minum lalu pamit ke kamar setelah selesai minum.
Sampai di kamar, aku meletakkan ranselku di atas meja belajar lalu berganti pakaian dengan tanktop dan hotpants. Aku berjalan masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelah selesai aku naik ke atas tempat tidur berniat istirahat sejenak sebelum magrib. Belum sempat aku menarik selimut dengan sempurna, aku mendengar ponsel di dalam ranselku berbunyi.
Dengan gerakan cepat aku mengeluarkan ponsel sebelum panggilan terputus, dari Gilang.
“Ada apa?” tanyaku langsung.
“Jadi kalo gue mau nelpon harus ada apa-apa dulu gitu?”
Aku pun terkekeh geli mendapati responnya yang sewot itu, aku membalas, “Enggak, Lang.”
Helaan napas terdengar dari seberang sana, Gilang tidak mengeluarkan suara selama beberapa saat sebelum akhirnya cowok itu berdeham dan berucap, “Maaf, Li. Gue ninggalin lo malam itu karena Seli tangannya kesiram air, gue khawatir. Takut terjadi apa-apa sama dia. Kalo aja malam itu gue gak ninggalin lo di halaman dan minta lo nunggu kemungkinan lo gak bakal sakit kayak gini, maaf banget.”
“Gak apa-apa, Lang. Gue udah sehat, kok. Senin besok gue udah mulai sekolah lagi. Tenang aja.”
Seandainya gue yang ada di posisi Seli apa lo bakal khawatir juga sama gue, Lang?
“Ya udah, kalo gitu nanti senin gue jemput lo ya, kita berangkat bareng. Anggap aja gue mau nebus dosa gue malam itu.”
“Er... gak usah, Lang. Gue gak boleh naik motor sama Papa. Banyak polusi, takut asma gue kambuhnya lebih parah dari yang udah lalu.”
“Jadi kita gak bisa berangkat sekolah bareng, nih?”
“Iya, Gilang.”
“Jadi kalo gue mau berangkat bareng lo gue harus jemput pakai mobil, dong?”
“Iya, Lang. Lo bawel banget, sih.”
“Gue kan gak punya mobil. Yang ada cuma mobil ortu.”
“Ya udah kalo gitu kita gak usah berangkat sekolah bareng, lagipula kita juga ketemu tiap hari di sekolah.”
“Tapi gue kan kangen,” rengeknya. Aku menahan tawa agar tidak terbahak.
“Jangan kangen-kangenan sama gue, takut.”
Gilang tertawa, “Udahan dulu ya, gue lagi di jalan nih.”
“Iya, Lang.”
***
Pagi Senin, aku berangkat sekolah diantar oleh Kak Rigel. Sesuai dengan ketetapan Papa hari itu memang, mau tidak mau Kak Rigel harus mengalah mengantarku ke sekolah. Malam Minggu kemarin, aku sedikit dibuat bingung oleh Kak Rigel yang pulang malam dengan wajah yang samar-samar terdapat memar dibagian pipinya. Malam itu, aku ingin sekali bertanya apa yang terjadi namun aku tahan mendapati Kak Rigel yang malam itu aneh, tak banyak bicara dan hanya diam. Bahkan dia juga mendiamkanku. Tidak sedikitpun Kak Rigel menanyakan keadaanku setelah pulang dari rumah sakit.
Hingga sampai di depan gerbang sekolah antara aku dan Kak Rigel tak ada yang membuka suara, akupun enggan memulai terlebih dahulu. Aku melepas seat-belt namun tidak langsung keluar dari mobil, aku memperhatikan Kak Rigel yang hanya diam tak bersuara. Ingin sekali bertanya apa masalahnya tetapi lidahku rasanya kelu hanya untuk sekedar bertanya satu dua patah kata.
Saat ponsel Kak Rigel berbunyi aku masih duduk setia di jok penumpang, Kak Rigel berbicara dengan lawan bicaranya seperti biasa. Tetap ramah dengan pembawaan hangatnya. hal itu semakin mendorongku untuk bertanya yang sebenarnya.
“Kak,” panggilku akhirnya setelah mengumpulkan keberanian.
“Hm,” balasnya tanpa melihatku, tangannya bergerak menyimpan ponsel di saku celana.
“Aku masuk,” ucapku. Membatalkan niat awal.
“Iya, kamu hati-hati jangan deket-deket asap lagi. Awas kamu kalo ketahuan Kakak kamu sakit lagi! Kakak kuliah pagi, jadi harus berangkat sekarang.” Kak Rigel mengangkat tangannya mengusap kepalaku. Aku menghela napas, ternyata yang tadi itu hanya perasaanku saja. Nyatanya Kak Rigel kembali hangat pagi ini.
“Aku pikir Kakak marah sama aku.”
“Loh? Kenapa?” sahutnya kaget.
“Enggak. Ya udah Kak aku masuk dulu,” pamitku.
“Daaahh... Adekku tersayang,” ucapnya sambil melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya sampai mobil Kak Rigel menghilang dari pandanganku.
Aku berjalan dengan santai di koridor sekolah sambil tersenyum ramah setiap ada Kakak kelas yang menyapaku. Dari jauh aku melihat Kak Felix melangkah pasti ke arahku dengan pakaian yang rapi. Dasi yang tersimpul sempurna dan seragam yang mulus tanpa lecek sedikitpun.
“Pagi, Lika,” sapanya begitu kami berjalan beriringan.
“Pagi, Kak. Rapi banget hari ini,” ocehku diikuti senyuman.
Kak Felix ikut tersenyum, “Gue dong. Gue khawatir tahu sama lo,” bisiknya ditelingaku.
“Iya, Kak, khawatir tapi gak jenguk aku,” cibirku.
“Gue jenguk kok! Siapa bilang gue gak jenguk lo,” kilahnya dengan pipi yang digembungkan dan bibir yang mengerut lucu. Membuatku gemas dan mencubit pipinya.
“Iya, deh.”
Kak Felix mehanan tanganku dan menyingkirkan dari wajahnya, napasku tertahan saat Kak Felix perlahan menggenggam jemariku. “Gue suka lo deh, Li.”
Refleks aku menoleh ke arahnya setelah Kak Felix selesai berbisik. Aku menatap wajahnya yang tampak serius, sangat berbeda dengan kalimatnya yang aneh itu.
“Kakak ngomong apa, sih?” tanyaku heran, kemudian melepas tangannya dari tanganku. Gak mungkin Kak Felix serius sama ucapannya barusan.
“Ngomong suka sama lo,” ulangnya.
Aku berdecak, “Perasaan bukan perihal sesuatu yang bisa disepelekan, Kak. Aku gak suka ngomongin sesuatu yang besar sama orang yang menyepelekan hal besar itu. Perasaan emang gak bisa dilihat dan cuma bisa dirasakan, tapi bukan berarti itu bisa jadi alasan buat menganggap sesuatu itu kecil. Jangan pernah ngomong perihal perasaan kalo cuma mau menyepelekannya di hadapanku.”
Tatapanku mengarah ke Kak Felix, berusaha membuat dia mengerti dengan apa yang baru saja aku katakan. Namun Kak Felix tampaknya masih saja kuat pendirian, tatapannya masih terlihat serius. Orang ini memang jago sekali berakting.
“Gue gak lagi bercanda, Lika.”
“Aku ke kelas duluan, Kak,” ucapku lalu melangkah pergi menuju kelas meninggalkan Kak Felix.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog