Hari itu alat bantu pernapasanku untuk keadaan darurat sedang tidak ada, kamu juga tidak ada. Kamu ada, tapi untuk dia.
***
28 November 2017
Aku dan Kak Rigel berjalan mengelilingi mal untuk mencari hadiah ulang tahun untuk Retna. Aku sudah mendapatkan hadiahku, sementara Kak Rigel belum. Beberapa kali aku mengeluh kelaparan karena sudah 2 jam kami berkeliling tanpa beristirahat. Dan Kak Rigel dengan segala kerepotannya belum juga menemukan kado yang pas untuk Retna sang kekasih hatinya.
“Kak... aduh repot banget sih nyari kado buat Retna doang. Tinggal kasih tas, sepatu atau boneka. Selesai masalah,” gerutuku sambil berjalan lunglai di belakang Kak Rigel yang masih berjalan dengan semangat.
Kak Rigel memelankan langkahnya sehingga kami sejajar, cowok itu mengangkat tangannya merangkul bahuku setelah sebelumnya mengacak rambutku.
“Nyari kado itu yang unik, Dek. Anti-mainstream kalo bisa,” ujarnya.
Aku mengerling jengah, unik boleh tapi jangan membuat diri sendiri repot hanya karena memikirkan kado yang ‘unik’ itu sampai-sampai membuat waktu belanja lebih lama daripada yang seharusnya.
“Kasih aja sesuatu yang dia suka, gitu aja kok repot, sih,” usulku.
Kak Rigel menoleh padaku. “Dia suka apa, ya?”
Aku mendelik, “Situ yang cowoknya masa gak tahu ceweknya suka apa. Aneh,” cibirku.
“Sensian banget, sih. PMS, ya?”
“Bodo,” sahutku. Kak Rigel kapan memberinya sih kalau aku ini sudah capek!
“Kakak kan pacaran sama dia baru, ya wajarlah masih belum tahu banyak tentang dia,” kata Kak Rigel.
Aku menghela napas lelah, melepaskan rangkulan Kak Rigel lalu berjalan cepat meninggalkannya menuju toko jam tangan saat teringat Retna senang mengoleksi arloji-arloji bermerk.
“Aku nunggu aja di sini, sekarang Kakak pilih yang mana aja yang menurut Kakak cowok sama Retna. Selesai sama itu kita langsung pergi makan. Oke? Udah sana cepetan.” aku mendorong pelan bahu Kak Rigel agar dia bergerak cepat.
Akhirnya Kak Rigel masuk ke dalam tanpa banyak basa-basi. Aku menunggu dengan sabar sambil duduk di kursi yang tersedia di samping rak-rak jam tangan. Kak Rigel tampak kebingungan memilih jam tangan yang cocok untuk Retna, namun akhirnya Kak Rigel menghampiriku dengan menenteng satu tas kecil.
“Udah?”
“Iya. Sekarang mau makan, kan? Yuk, kita makan,” ajak Kak Rigel seraya menarik tanganku menuju restoran cepat saji.
Selesai makan, aku dan Kak Rigel memutuskan langsung pulang karena sama-sama merasa capek. Di dalam mobil, aku hanya diam mendengarkan lagu One Direction—yang tidak aku ketahui judulnya—sambil menyandarkan kepala pada jendela mobil.
“Jangan nyender kayak gitu, nanti kepala kamu sakit. Nyender yang bener,” perintah Kak Rigel. Aku menurut menyandarkan kepalaku pada sandaran kursi mobil.
“Besok mau berangkat sama Kakak?” tanya Kak Rigel.
Aku menggeleng, “Aku udah janji sama Gilang.”
“Kok sama dia?” respon Kak Rigel kaget. Aku menoleh menatapnya yang juga sedang menatapku.
“Kenapa, sih? Gilang temenan sama Retna, aku temenan sama Gilang. Gak boleh gitu berangkat bareng?” sergahku.
“Ya... enggak gitu. Kamu kenapa kayaknya gak takut disakiti lagi sama Gilang?”
Aku duduk dengan tegak menatap Kak Rigel tak percaya. Akhir-akhir ini memang aku merasa Kak Rigel seakan meragukan Gilang semenjak hari di mana dia melihat Gilang dan Seli berdua. Padahal waktu itu dia sendiri yang bilang kalau Gilang sama Seli cuma latihan voli bareng. Kenapa sekarang Kak Rigel yang terkesan ingin menjauhkan ku dari cowok itu?
“Kakak kenapa ngomong kayak gitu? Ada apa sama Gilang sampai bikin Kakak aneh kayak gini?” tanyaku langsung.
Kak Rigel mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, untuk sesaat dia hanya diam sebelum akhirnya membuka suara. “Cuma perasaan Kakak gak enak aja sama Gilang itu. Feeling Kakak gak oke sama dia.”
Aku menjilat bibirku yang terasa kering, tersenyum penuh arti aku berucap, “Gilang itu baik, Kak. Akhir-akhir ini dia menghargai aku kok, dan dia juga bersikap lebih terbuka sekarang.”
Mungkin begitu. Masalah feeling Kak Rigel yang gak enak sama Gilang biarkan dipikirkan nanti saja.
***
29 November 2017
Setelah salat magrib aku bersiap-siap untuk pergi ke acara ulang tahun Retna. Aku mengenakan dress tanpa lengan motif bunga dengan rok A-line selutut. Penampilanku terasa lebih sempurna walau hanya dengan flat-shoes yang membungkus kakiku, karena memang aku tidak terbiasa dengan sepatu yang ber-hak. Kakiku sering pegal setiap kali mengenakannya, selain itu juga aku tidak banyak memiliki sepatu semacam itu.
Keputusanku memakai dress malam ini di dukung oleh alat transportasi yang Gilang pakai, lima belas menit yang lalu Gilang menelponku mengatakan bahwa dia menjemputku dengan mobil Kak Sandra.
Aku memoleskan bedak tipis di wajahku di susul dengan lip-balm yang juga kupoles tipis dan rambut sepunggungku aku biarkan tergerai. Setelah merasa cukup dengan penampilanku sekarang, aku meraih ponselku yang tadi ku letakkan di atas nakas samping tempat tidur. Ada beberapa missed call dari orang-orang yang berbeda. Salah satunya Retna. Aku meneleponnya balik.
“Halo,” sapaku terlebih dahulu.
“Dateng kan lo ke acara gue hari ini?!”
Refleks aku menjauhkan ponselku dari telinga saat suara nyaring itu menyambar dengan sangat kejam pada telingaku. “Lo ngomong udah pake toa aja ya, Ret. Mentang-mentang lo hari ini ultah.”
“Bodo. Tapi lo dateng kan? Dateng kan?”
“Ck, iya gue dateng. Ini lagi nunggu jemputan.”
“Alhamdulillah kalo gitu. Berangkat sama siapa lo?”
“Sama...”
“Lika! Gilang udah dateng tuh.” teriakan dari luar kamar membuat aku urung menjawab pertanyaan Retna. Setelah mematikan telepon dengan cewek itu aku lalu keluar kamar menuju ruang tamu, aku menemukan Gilang duduk di sofa dengan jas hitam melekat di tubuhnya. Rambut cowok itu tertata rapi bergaya pomedi.
“Hai,” sapa Gilang yang memperhatikanku dari atas sampai bawah. Ditatap seperti itu membuatku salah tingkah dan merasa pipiku memanas. Aku memutuskan menghampirinya.
“Hai, udah lama?” tanyaku.
“Baru aja. Udah bisa berangkat, kan?”
“Udah.”
Lalu aku dan Gilang secara bersamaan keluar dari rumahku kemudian masuk ke dalam mobil. Aku memakai seat-belt dengan benar begitu juga Gilang, namun cowok itu tak kunjung menjalankan mobilnya setelah seat-belt kami terpasang sempurna.
“Li,” panggil Gilang.
“Ya?”
“Lo cantik,” ucapnya setengah berbisik.
Aku mengulum senyum, pura-pura tak mendengar aku membalas, “Apa Lang?”
“Elo cantik.”
Sambil mengulang kata-katanya Gilang menepuk-nepuk pucuk kepalaku lalu mulai menjalankan mobilnya meninggalkan area rumah.
Tentu saja aku tidak baik-baik saja dengan situasi ini.
***
Pesta ulang tahun Retna berlangsung meriah dan lancar, banyak anak-anak sekolah kamu yang berdatangan dan mendoakan yang terbaik untuk cewek itu. Aku melihat Gilang menghampiri Retna sambil memberikan satu paper-bag yang entah apa isinya. Keduanya berinteraksi dengan sangat wajar, tidak terlihat seperti ada sesuatu yang pernah terjadi. Gilang berbicara santai begitu juga Retna, mereka ber-high five ria sebelum akhirnya
Gilang melenggang pergi bersama teman-temannya.
Mengenai kesepakatan kami satu Minggu yang lalu, Gilang dan benar-benar menjalaninya sesuai rencana. Aku yang lebih banyak berinteraksi dengan teman-temanku jadi tidak punya banyak waktu untuk saling memperhatikan satu sama lain.
Acara sudah berakhir setengah jam yang lalu, aku duduk di kursi panjang yang ada di pinggir halaman luas rumah Retna yang menjadi tempat dilangsungkannya acara. Beberapa menit yang lalu ada kejadian yang mengejutkan sekaligus membuat merinding, Seli tersiram air panas di bagian tangannya saat berjalan menuju kursi tamu dan seseorang menabraknya dari depan membaut air yang dia bawa tumpah di tangannya.
Hal itulah yang membuatku duduk di sini, menunggu Gilang kembali dan mengantarku pulang. Cowok itu meneleponku setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung, Gilang bilang dia akan kembali ke sini setelah mengantar Seli ke rumah sakit. Dan aku setuju, Seli memang membutuhkan pertolongan pertama untuk luka di tangannya dan aku memahami bahwa Gilang satu-satunya orang yang bisa dia mintai tolong dalam keadaan seperti ini.
Aku duduk sendirian di kursi, acara ulang tahun Retna kali ini cukup besar. Dia juga mengundang teman-teman SMP kami, hal itu membuatnya sibuk menjamu tamu dan mengobrol dengan mereka. Tata juga begitu, aku memutuskan tidak ikut bercengkrama dengan mereka karena merasa benar-benar lelah entah kenapa. Sebelum aku duduk di sini aku sempat mendengar bahwa mereka berencana membakar jagung untuk merayakan hari lahirnya Retna hari ini.
Aku melirik jam tangan di pergelangan tanganku, sudah satu jam aku menunggu dan Gilang tidak juga kembali. Sebenarnya aku bisa saja meminta pulang dengan Kak Rigel, tetapi melihatnya yang tampak begitu senang bercengkrama dengan Retna membuatku membatalkan niat itu. Napasku semakin sesak saat terhirup asap pembakaran jagung yang dilakukan oleh teman-temanku di tengah halaman. Sial! Aku melupakan sesuatu bahwa aku tak bisa berada di area berasap.
Napasku semakin sesak saat ada cowok yang lewat di hadapanku sambil menghembuskan asap rokoknya, aku terbatuk sambil membuka tas mencari-cari penolongku di dalam sana. Naas, aku tidak menemukan keberadaan inhalerku.
Kepalaku mendadak pusing dan napasku benar-benar sesak, lebih sesak dari sebelumnya. Aku bersandar pada sandaran kursi dengan mata yang memejam dan tangan yang memegangi dada kiri sambil terus berusaha menghirup udara sekuat yang aku bisa. Aku benar-benar tak bisa bernapas kali ini, pandanganku mulai mengabur hingga akhirnya hanya gelap yang bisa aku lihat sampai aku tidak lagi tahu apa yang terjadi di sekitar.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog