Berawal dari undangan semoga bisa berakhir dengan resepsi.
***
Pagi Senin, aku berjalan gontai menyusuri koridor sekolah. Topi khas SMA Tunas Harapan terpasang di kepalaku dengan posisi yang terbalik. Aku tahu aku datang terlambat hari ini, buktinya di lapangan sudah mulai banyak anak-anak yang berbaris bersiap untuk mengikuti upacara.
“Lika,” ucap Bu Ai sambil menggelengkan kepalanya menatapku. “kamu kok telat, sih?”
Aku menyengir lebar, menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal. “Tadi macet, Bu. Aku diantar sama Kakak soalnya.”
“Ya sudah, kamu ke kelas taruh tas kamu habis itu ke lapangan. Sebentar lagi upacara dimulai,” perintah Bu Ai.
Aku hanya mengangguk menurut, berjalan menuju kelas dan meletakkan tasku di atas meja lalu keluar menuju lapangan. Saat di koridor, lenganku di tahan oleh sebuah tangan kekar yang menguar bau menyegarkan dari tubuhnya.
Aku berbalik, menatap Gilang bingung. “Kenapa? Ada perlu?”
Sebelah alisnya terangkat, “Emangnya kalo gue manggil lo mesti ada perlu dulu?”
Decakan ku lolos membuat tangan Gilang yang menahan lenganku terlepas, dia yang melepaskannya dengan sengaja.
“Gue telat dan hampir kena semprot Bu Ai tadi, sekarang upacara udah mau mulai mending lo ke lapangan sana. Gue juga mau ke lapangan,” ujarku.
“Ya udah bareng aja,” serunya.
Aku tidak menolak, kami berjalan berdampingan di koridor. Hingga sampai di lapangan masing-masing kelas berbaris sesuai dengan barisan kelas mereka. Kelas XI IPS-3 berbaris di lapangan sebelah Utara. Aku berdampingan dengan Tata, wajah cewek itu tampak pucat.
“Lo kenapa, Ta?” tanyaku masih memperhatikan wajahnya.
“Mood gue,” Tata menghela napasnya gusar. “ambyar banget ya Rabb.”
“Kok pucat?”
Kedua tangan Tata terangkat memegangi pipinya tirusnya. “Emang iya?”
Aku mengangguk.
“Gak papa, gue cuma gak sarapan tadi pagi.”
Lalu upacara dimulai kami semua diam menjalani upacara dengan khidmat. Setelah satu jam lebih berada di terik matahari akhirnya kami bisa bernapas lega, aku dan Tata kembali ke kelas bersama. Rasanya badanku seperti remuk setelah bermain voli bersama Kak Rigel kemarin.
“Retna ke mana?” tanyaku.
Tata celingak-celinguk mencari keberadaan Retna, aku juga. “Tuh,” tunjuknya pada gerombolan Yani. Si bintang kelas. “ngapain tuh anak sama genk nya Yani?”
“Gak tahu lah,” jawabku.
“Oh iya, pagi tadi Retna udah bagi-bagi undangan, Li. Lo dapat, gue juga. Lo mau berangkat sama siapa nanti?” tanya Tata saat kami sudah sampai di kelas.
Duduk di kursi dan menyandarkan punggung, aku menjawab ragu, “Eng ... gak tahu. Itu di undangan sama partner ya?” aku melirik undangan di tangan Tata.
Tata mengangguk.
“Gak punya partner, mungkin pergi sendiri aja. Gak apa-apa kan?”
“Gak papa pergi sendiri. Gue juga kayaknya gitu, lo tahu sendiri lah gue juga gak punya pasangan. Retna juga ada-ada aja nulis undangan pake diberi tulisan partner segala. Jijik,” Tata meringis. Aku terkekeh geli melihat reaksinya atas sikap Retna.
GUBRAK!!
“Astagfirullah ... ngapain lo dateng-dateng pake gebrak meja segala sih, Nyet?!” seru Tata kesal.
Aku melihat Retna berdecak, lalu menghela napas. “Ya udah kalo gitu khusus kalian barisan para jomblo gak apa-apa pergi ke acara gue gak sama partner.”
“Songong amat lo jadi temen!” umpatku kesal.
Retna menistakan orang jomblo.
“Padahal pesta gue itu ada acara khusus dansa sama pasangan,” ujar Retna.
Aku hanya mengedikkan bahu tak perduli. Sementara Tata mencibir, “Alay banget lo acara ultah doang pake kayak begituan segala.”
“Suka-suka gue lah, acara gue ini kok,” bela Retna pada dirinya sendiri. Cewek itu duduk di kursinya yang berada di depan meja aku dan Tata.
Kemudian kami mulai membahas hal lain, melupakan acara ulang tahun Retna yang sebentar lagi dirayakan di kediaman cewek itu. Sampai guru yang mengajar pelajaran pertama masuk ke kelas, kami bertiga kemudian diam. Menatap malas guru yang duduk di depan kelas dengan tampang seramnya. Guru itu tidak membawa banyak alat mengajar, beliau hanya membawa satu buku paket.
“Sekretaris kelas mana?” suaranya menggelegar ke seluruh penjuru kelas. Membuat Vita—sekretaris kelas dengan sigap berjalan ke depan menghampiri guru itu.
Tidak lama setelah itu Bu Sinta yang mengajar pelajaran matematika keluar dari kelas dengan alasan ada rapat dengan para guru sehingga kami hanya diberikan tugas mencatat di buku catatan masing-masing.
Aku menguarkan buku catatan beserta alat tulis dari dalam tas, bersiap untuk menulis saat sebuah suara berat menghentikan tindakan ku.
“Ada polpen lebih, gak?” tanya Gilang. Aku memberikan bolpoin di tanganku kepadanya dan aku mengambil bolpoin yang lain untuk aku gunakan.
“Geser, Ta,” suruh Gilang pada Tata setelah cowok itu menerima bolpoin dariku. Meski sempat mencibir dan mengumpat namun Tata tetap berpindah tempat duduk di samping Retna. Membuat Gilang berkesempatan duduk di kursi Tata di sampingku.
Aku tak memperdulikan keberadaan Gilang, hanya fokus pada papan tulis dan huruf yang ditulis oleh Sinta di sana. Namun, celetukan Gilang membuat fokusku teralihkan.
“Gue males nulis, tangan sakit,” ujarnya.
“Kenapa tangan lo?” tanyaku melirik pergelangan tangan kanannya.
“Gak kenapa-napa.”
Keningku terangkat, “Bilangnya sakit. Gimana sih.”
“Tulisin, ya, Li...” rengeknya.
Aku berdecak lalu menjitak dahi Gilang. Cowok ini menyebalkan kalau sifat malasnya sudah keluar. “Pemalas banget jadi cowok! Gak mau, tulis sendiri!”
“Dih, dia ngatain gue pemalas,” balasnya. Aku tak perduli.
Gilang menutup buku catatannya, melipat tangan di atas meja lalu merebahkan kepalanya di atas tangannya. Cowok itu menatapku dengan lekat, membuat pipiku secara tak sadar memanas karena tatapannya.
“Apa sih lo lihatin gue kayak gitu.” aku menutup wajah Gilang dengan tangan. Hal itu menjadi kesempatan bagi Gilang untuk menahan tanganku, napasku tertahan saat dia menautkan jemarinya di jemariku.
“Eng ... Lang, tolong tangan lo,” bisikku dengan terbata. Bukannya melepaskan Gilang justru mempererat genggaman tangannya di tanganku. Mata cowok itu memejam dengan wajah yang damai, helaan napasnya kini mulai teratur.
Aku menghela napas pasrah, membiarkan saja tangan Gilang menggenggam tanganku. Lagian aku juga tidak keberatan mau sampai selama apapun dia menggenggam tanganku. Aku nyaman dengan keadaan ini.
Kemudian aku melanjutkan mencatat pelajaran dengan sebelah tangan yang menggenggam tangan Gilang.
***
Dua hari berlalu setelah Gilang tertidur dengan tangan kami yang saling menggenggam, aku bersyukur karena aku dan Gilang semakin dekat saja akhir-akhir ini. Entah apa yang membuat cowok itu seakan berubah pikiran dengan keputusannya menolakku beberapa waktu lalu. Memang, sampai sejauh ini kami tak pernah lagi saling membahas itu. Aku juga tidak mau memulai nya lebih dulu, biarkan saja semuanya menghilang dan terlupakan bersama waktu.
Semoga ini awal yang baik untuk hatiku kedepannya. Juga hati Gilang.
Sekarang aku dan Mama berada di supermarket depan komplek sebelah karena supermarket depan komplekku tutup karena perbaikan.
“Ma, aku ke sana dulu ya, mau ada yang aku beli. Soalnya ketinggalan tadi pas sama Mama,” ucapku pada Mama yang sedang mengantri di kasir.
“Ya udah, jangan lama-lama,” pesan Mama. Aku mengangguk kemudian meninggalkan Mama menuju rak camilan dan cokelat.
Aku mengambil dua jenis cokelat yang berbeda dan berbagai bungkus Snack lalu memasukkannya ke dalam keranjang belanja. Setelah merasa cukup dan tak ada yang tertinggal aku berniat kembali ke kasir menemui Mama saat tak sengaja melihat Kak Sandra yang memegangi keranjang belanjaan.
Aku menghampirinya. “Kak Sandra,” sapaku.
Kak Sandra menoleh, “Eh, Lika. Sama siapa ke sini?”
“Sama Mama, ada di kasir Mamanya,” jawabku. Aku melihat belanjaan Kak Sandra yang sangat banyak berbagai macam bahan dapur. “Banyak banget belanjanya Kak.”
“Iya, besok mau ada acara di rumah. Kamu sibuk gak? Kalo gak sibuk dateng aja ke rumah, ajak Mama kamu atau temen kamu. Sekalian kalo mau ketemu Papa. Soalnya Papa baru pulang kemarin,” ujar Kak Sandra.
Aku tersenyum simpul, “Gak sibuk sih aku Kak. Tapi gak tahu Mama. Nanti deh aku kabarin, kalo gak sibuk ada aja nanti aku sama Mama datang. Emangnya ada acara apa Kak?”
“Acara 14 tahun buat Mama,” jawab Kak Sandra. Masih dengan senyuman ketegarannya.
Aku tahu Kak Sandra hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan orang lain.
“Jam berapa Kak?”
“Jam tujuh. Kalo mau dateng awal malah bagus.”
Menganggukan kepala, aku membalas, “Aku usahain dateng ya, Kak. Aku ke kasir dulu, takut Mama nunggunya kelamaan nanti malah ngomel,” pamitku lalu berlalu setelah Kak Sandra mengiyakan.
“Kakak tunggu ya, Li,” ulangnya.
“Iya.”
Sampai di kasir, aku menyerahkan belanjaanku pada penjaga kasir untuk dihitung. Lalu duduk di kursi samping Mama.
“Lama banget kamu belanjanya.”
Aku nyengir merasa bersalah sudah membuat Mama lama menunggu, sembari menunggu belanjaanku dihitung aku berbicara dengan Mama perihal undangan Kak Sandra tadi.
“Mama besok sibuk gak jam tujuh?” tanyaku.
“Belum tahu sih, kalo dari pagi sampe jam tiga Mama ada di kantor. Memangnya kenapa?”
“Enggak, tadi aku gak sengaja ketemu Kakaknya Gilang pas belanja. Katanya besok jam tujuh di rumahnya ada acara gitu, ya ... acara 14 tahun meninggal Mamanya. Dia ngundang aku dan Mama juga.”
Dahi Mama mengernyit menatapku. Membuatku tanpa sadar juga mengernyitkan dahi. “14 tahun?”
“Iya. Jadi gimana?”
“Mama gak bisa. Mama baru inget ada janji reuni sama temen lama besok,” kata Mama cepat. Raut wajahnya sangat tidak bisa kumengerti.
Aku menghembuskan napas kasar. “Yah ... padahal mau berangkat sama Mama.”
“Itu belanjaan kamu udah. Cepet ambil, biar kita cepet pulangnya,” suruh Mama saat seorang kasir memberitahu bahwa belanjaanku sudah siap.
Mama memberikan selembar uang seratus ribu lalu aku mengambil belanjaan dan membayarnya. Kembali ke Mama dengan bibir yang cemberut. “Jangan galak-galak dong, Ma, sama anak.”
Mata Mama memejam sesaat sebelum akhirnya Mama menarik pelan tanganku dengan gaya bicara yang berubah lembut. “Maafin, ya, Mama cuma lagi banyak pikiran. Ayo kita pulang.”
Entah apa yang ada di pikiran Mama.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog