Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan 19 September
MENU
About Us  

“Kalo cowok udah berani bawa lo ke rumah buat ketemu keluarganya itu tandanya apa? Sudah mulai ada rasa kah?

 

***

 

Gilang menawarkan ku untuk berkenalan dengan Kakaknya, awalnya aku sempat heran kenapa cowok itu tiba-tiba bercerita tentang Mamanya yang juga menderita asma sama sepertiku. Lalu merangkap bercerita tentang problem keluarganya, Papa Mama nya yang sempat bercerai lalu rujuk kembali. Tetapi Gilang tidak menceritakan penyebab Mamanya meninggal, aku maklum karena memang saat itu terjadi dia masih sangat kecil. Di usia yang masih dua tahun keluarganya sudah bermasalah, Papa yang meninggalkan Gilang dan Mamanya pergi bersama dengan Kakak Gilang.

 

Gilang bilang dia tahu tentang semua ini karena Kakak perempuan nya yang bercerita, saat itu Kakak nya berusia 7 tahun dan sudah cukup mengerti. Dan Kakak nya perempuan. Aku mengangguk saja saat Gilang menawariku untuk mengenalkan dengan Kakaknya, sampai akhirnya sekarang aku dan Gilang sudah berada di atas motor besar cowok itu.

 

Aku sudah mengabari Mama bilang bahwa aku akan pulang terlambat hari ini dan Mama memaklumi. Aku penasaran apa saja yang terjadi dengan keluarga Gilang dan aku ingin tahu secara complex semuanya. Ah, tidak, aku tidak boleh terlalu banyak keingin tahuan. Aku hanya orang luar di keluarga Gilang, aku hanya berteman dengan Gilang sejak SMP. Dan status kami hanyalah sebatas teman, belum merangkap menjadi sahabat atau yang lebih daripada itu.

 

Meski aku sangat berharap kami bisa lebih.

Gilang mematikan mesin motornya saat kami sudah sampai di depan rumah cowok itu, aku melepas helm dan memberikannya kepada Gilang untuk disimpan. Sementara cowok itu sibuk dengan kegiatannya, aku memperhatikan sekeliling rumah cowok itu. Halaman yang dimiliki oleh rumah Gilang cukup luas, dan suasana nya hijau. Banyak tumbuhan dan pepohonan yang tumbuh di halaman rumahnya, udara yang dimiliki halaman ini pun segar. Aku tersenyum, pasti Gilang merasa senang tinggal di rumah ini.

 

“Yuk, masuk,” ajak Gilang.

 

Aku mengangguk dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah, kami berhenti di ruang tamu Gilang menyuruhku duduk dan meminta menunggu dia berganti pakaian sekaligus memanggilkan Kakaknya. Aku menurut, sementara Gilang melakukan apa saja yang dia sebutkan tadi aku memperhatikan seisi ruang tamu ini. Pada nakas yang berada di sisi kiri sofa tunggal terdapat dua pigura foto keluarga. Aku meraihnya dan langsung terkekeh geli, melihat raut wajah Gilang yang tertangkap kamera. Cowok itu sepertinya enggan berfoto pada saat itu, terbukti dengan wajahnya yang menekuk dan bibirnya yang mengerucut.

 

Di samping Gilang berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar 6 tahunan berdiri dengan mantap dan merangkul bahu Gilang posesif. Di belakang mereka berdiri sepasang orangtua yang tangan mereka memegangi bahu kanan Gilang dan bahu kiri anak perempuan itu. Tampak harmonis sekali keluarganya.

 

Lalu foto kedua, aku melihat pose seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang berada di pangkuan Papanya. Anak perempuan itu tidak seceria seperti pada foto sebelumnya. Wajahnya ditekuk. Mereka hanya berfoto berdua. Papa dan anak perempuan itu. Aku yakin itu Kakak nya Gilang dan Papanya. Alasan Gilang tidak ada dalam foto itu mungkin karena saat itu Papa dan Mamanya sedang bercerai dan Gilang tinggal bersama Mamanya.

 

“Itu foto udah lama, pas umur gue 7 tahun.”

 

Suara itu membuatku refleks mendongak dan meletakkan figura foto kembali ke asalnya. Aku tersenyum kikuk menghadap seorang perempuan berambut hitam seleher yang aku yakini sebagai Kakaknya Gilang.

 

Kakak Gilang mengulurkan tangannya untuk bersalaman, aku balas mengulurkan tangan. Dia menyebutkan namanya, “Gue Sandra, Kakaknya Gilang.”

 

Aku mengangguk dan balas menyebutkan namaku. Kak Sandra duduk di sofa panjang sementara aku duduk di sofa tunggal. Lucu sekali, aku tamu tetapi berlagak seperti tuan rumah.

 

“Tukeran Kak, aku di situ Kakak di sini. Gak enak aku, aku kan tamu masa duduknya di sini,” kataku canggung.

 

Kak Sandra tertawa, “Gak papa. Santai aja. Kamu duduk aja di situ, udah terlanjur juga.”

 

Oke. Aku mengangguk tetap duduk di posisi awal.

 

“Lika temennya Gilang, ya?” tanya Kak Sandra.

 

Aku mengangguk, “Iya, Kak. Temen sejak SMP kita,” jawabku.

 

“Oh ya? Kok baru main ke sini  pas SMA sih?” Kak Sandra menggelengkan kepalanya, “Ini pasti gara-gara Gilang yang gak ngenalin kamu sama Kakak.”

 

Menurut penilaianku, Kakak Gilang ini orangnya baik dan ramah. Terbukti dengan gaya bicaranya  yang santai berbicara denganku, padahal aku sendiri merasa sangat canggung bertemu langsung dengannya. Apalagi aku tidak mengenal Kak Sandra sama sekali, ditambah lagi dengan Gilang yang tidak ada di sini. Suasana serasa nano-nano.

 

“Duh si Gilang lama banget bikin minumnya,” keluh Kak Sandra. Aku terkekeh pelan, jadi Gilang sekarang sedang berada di dapur membuat minuman?

 

“Gilang!” panggil Kak Sandra sambil menengok kan kepalanya ke kanan melirik ke bilik dapur. Tak ada sahutan. Kak Sandra memanggil lagi sampai sebuah suara menjawabnya. “Sebentar, Kak!”

 

“Jadi Gilang sekarang lagi bikin minum Kak?” tanyaku menahan tawa.

 

Kak Sandra mengangguk mengiyakan, “Iya, Kakak suruh dia bikin minum tadi. Daripada dia nganggur kan mending di suruh gitu biar ada kerjaan dia.”

 

“Tapi dianya mau-mau aja ya, Kak.”

 

“Iyalah, berani dia gak mau bakalan Kakak gorok nanti,” ujarnya sambil terbahak. Mau tidak mau aku jadi ikut terbahak juga. Suasana sudah tak secanggang sebelumnya.

 

“Gilang itu anaknya penurut, Li,” lanjut Kak Sandra. Aku mengangkat alis menunggu kalimat selanjutnya dari Kak Sandra.

 

“Kamu temen satu kelas kan sama Gilang?” tanya Kak Sandra kemudian.

 

Pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan sebelumnya.

 

Namun aku tetap sopan, mengangguk sebagai jawaban sebelum menambah pemanis dengan respon ucapan. “Iya, Kak. Kita satu kelas.”

 

“Berarti akrab dong sama Gilang,” celetuknya.

 

Aku menimbang, memikirkan seakrab dan sedekat apa aku dengan Gilang. Dibilang dekat kami memang seperti itu, akrab ... sudah pasti. Sepertinya. Hanya saja pertemanan kami sedikit tercoreng karena ulahku sendiri.

 

“Iya akrab. Sering cerita-cerita kok sama Gilang Kak.” Kak Sandra mengangguk. Dia menatapku dengan tatapan yang berbeda. Entah tatapan seperti apa.

 

“Gilang udah cerita apa aja sama kamu?” selidiknya.

 

Aku menegang, teringat dengan percakapan di  kantin bersama Gilang  tadi. Takut kalau Kak Sandra marah karena tidak berkenan aku tahu masalah keluarga mereka, walau sudah silam. Tapi kan yang mau bercerita Gilang sendiri, bukan ku yang bertanya-tanya kepo.

 

“Banyak,” jawabku akhirnya. “dia sendiri kok Kak yang cerita sama aku. Aku cuma dengerin doang.”

 

Melihat Kak Sandra yang mengangguk paham, aku menghela napas lega. Syukurlah Kak Sandra bisa bersikap santai lagi tidak seaneh sebelumnya, mungkin hanya aku yang merasa aneh. Mungkin saja itu wajar hanya saja aku yang terlalu takut dan menganggap respon Kak Sandra berbeda.

 

Aku dan Kak Sandra bercerita banyak sementara Gilang datang membawakan minuman untuk kami kemudian pamit ke kamarnya. Dia bilang ada sesuatu yang harus dia kerjakan dan penting banget. Aku hanya mengiyakan, lagipula aku dan Kak Sandra sudah merasa sedikit nyaman. Tidak secanggih di awal. Kak Sandra ternyata bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta sebagai perawat. Di usianya yang masih 21 tahun sekarang dia sudah menyelesaikan S1 nya di Jakarta juga. Kak Sandra bilang mungkin tahun depan dia akan melanjutkan belajarnya di London, mengejar gelar dokter. Semua yang dilakukan oleh Kak Sandra terencana, semua di susun sebaik mungkin tanpa ada yang terlewatkan. Bahkan pendidikan Gilang sudah direncakan oleh Om Samudra—Papa Gilang setelah dia lulus SMA nanti.

 

“Jadi Om kerja apa, Kak?” tanyaku.

 

“Papa CEO di kantor peninggalan Kakek, lumayan lah dapet bagian setengah dari perusahan. Bagi dua gitu lah sama saudara tertua Papa,” jawabnya.

 

Jadi keluarga Gilang adalah keluarga berpendidikan, Kak Sandra yang sebentar lagi akan menerima gelar dokter dan Om Samudra yang menjabat sebagai CEO di perusahaan keluarganya. 

 

Keningku berkerut, rupanya Kak Sandra lupa menceritakan satu anggota keluarga mereka. “Kalo Tante?” tanyaku, hati-hati.

 

Kak Sandra tampak kaget, dia diam tak langsung menjawab. Sial! Seharusnya aku tak perlu menanyakan ini, lihat kan sekarang aku mengganggu Kak Sandra dan suasana nyaman yang kami ciptakan beberapa saat sebelumnya.

 

Semoga Kak Sandra tidak tersinggung, tak apa dia tidak menjawab asal Kak Sandra tidak marah kepadaku.

 

Doa pertamaku terkabul, Kak Sandra tersenyum ramah lagi dan dia langsung menjawab pertanyaanku dengan santai, seolah-olah pertanyaanku tidak berdampak apa-apa.

 

“Mama dulu kerja sebagai dosen. Mama sukses dan jaya banget saat itu, tapi Mama dipaksa jatuh sampai akhirnya Mama gak kuat dan meninggal,” ungkap Kak Sandra.

 

Aku diam. Ini kebetulan.

 

“Mama juga dosen. Tapi sekarang udah lepas pekerjaan.” Kak Sandra ingin menanggapi namun aku tahan, aku membiarkan Kak Sandra bercerita sampai selesai.

 

“Mama asma. Akut banget. Mama pinter, Kakak ngambil perawat ini juga karena Mama. Ternyata sebelum meninggal Mama sempat ngobrol sama Papa, itu pas Mama sama Papa rujuk setelah beberapa bulan pisah. Mama nitip Kakak ke Papa dan minta Kakak jadi dokter pas udah gede.”

 

Aku melihat mata Kak Sandra memerah, dia menahan tangis. Rasanya pasti berat harus kehilangan orang yang dia sayangi. Mama Gilang meninggalkan Gilang dan Kak Sandra. Juga Om Samudra.

 

“Udah, Kak. Gak usah dilanjut lagi, aku gak bakal maksa Kakak buat cerita. Aku ngerti kok,” ucapku menenangkan.

 

Kak Sandra membersit hidungnya dengan tisu, tak lama setelah itu Gilang datang dengan kaos biru dan celana jeans selutut. Dipergelangan tangannya menggantung jaket kulit hitam.

 

“Li, lo mau pulang?” ucapnya. Aku mengernyit. Mengusir heh?

 

Seakan paham, Gilang menghela napas. “Udah sore ini. Kak Rigel tadi nelpon gue nyariin lo minta gue pulangin lo sekarang juga. Ngomel tadi dia,” ujar Gilang.

 

Oh.

 

Aku bangkit dan mendekati Kak Sandra yang sudah lebih tenang, aku mengusap bahunya. Menguatkan. “Aku pulang, Kak.”

 

Kak Sandra bangkit dari duduknya, mengantar aku ke depan rumah dan melambaikan tangannya saat aku sudah di atas motor bersama Gilang. “Nanti ke sini lagi ya! Jangan jera!”

 

Aku balas melambaikan tangan sebelum motor Gilang membawaku pergi dari rumahnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Cemplonkisya

    @penakertas_ paham kok wehehe

    Comment on chapter Prolog
  • yourex

    @Lightcemplon
    Sulit dimengerti prolog nya ????

    Comment on chapter Prolog
  • Cemplonkisya

    awal yang dalem:(

    Comment on chapter Prolog
  • Alfreed98

    Wow

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
AILEEN
5680      1239     4     
Romance
Tentang Fredella Aileen Calya Tentang Yizreel Navvaro Tentang kisah mereka di masa SMA
Kisah yang Kita Tahu
5557      1670     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
An Hourglass from the Opus Kingdom
453      255     3     
Science Fiction
When a girl, rather accidentaly, met three dwarfs from the Opus Kingdom. What will happen next?
Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
12352      2401     6     
Humor
Amira dan Gilang yang menyandang peran werewolf dan vampir di kelas 11 IPA 5 adalah ikon yang dibangga-banggakan kelasnya. Kelas yang murid-muridnya tidak jauh dari kata songong. Tidak, mereka tidak bodoh. Tetapi kreatif dengan cara mereka sendiri. Amira, Sekretaris kelas yang sering sibuk itu ternyata bodoh dalam urusan olahraga. Demi mendapatkan nilai B, ia rela melakukan apa saja. Dan entah...
Love You, Om Ganteng
16315      3907     5     
Romance
"Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu." "Kalau suka, gimana?" "Ya berarti saya sudah gila." "Deal. Siap-siap gila berarti."
Journey to Survive in a Zombie Apocalypse
1285      612     1     
Action
Ardhika Dharmawangsa, 15 tahun. Suatu hari, sebuah wabah telah mengambil kehidupannya sebagai anak SMP biasa. Bersama Fajar Latiful Habib, Enggar Rizki Sanjaya, Fitria Ramadhani, dan Rangga Zeinurohman, mereka berlima berusaha bertahan dari kematian yang ada dimana-mana. Copyright 2016 by IKadekSyra Sebenarnya bingung ini cerita sudut pandangnya apa ya? Auk ah karena udah telan...
In Love With the Librarian
15171      2813     14     
Romance
Anne-Marie adalah gadis belia dari luar kota walaupun orang tuanya kurang mampu, ia berhasil mendapatkan beasiswa ke universitas favorite di Jakarta. Untuk menunjang biaya kuliahnya, Anne-Marie mendaftar sebagai pustakawati di kampusnya. Sebastian Lingga adalah anak tycoon automotive yang sombong dan memiliki semuanya. Kebiasaannya yang selalu dituruti siapapun membuatnya frustasi ketika berte...
OUR PATH | MinYoon
360      244     1     
Fan Fiction
"Inilah jalan yang aku ambil. Tak peduli akan banyaknya penolakan masyarakat, aku akan tetap memilih untuk bersamamu. Min Yoongi, apapun yang terjadi aku akan selalu disimu." BxB Jimin x Yoongi Yang HOMOPHOBIC bisa tinggalkan book ini ^^
Jalan-jalan ke Majapahit
4349      1279     8     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
Babak-Babak Drama
452      311     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...