Terlalu manis untuk dilupakan.
Terlalu pahit untuk diingat.
Kamu tahu itu apa?
Kita.
***
Pagi ini, lapangan voli sudah dipenuhi oleh cowok-cowok yang sedang pemanasan untuk latihan mereka. Kabarnya, Gilang bilang sekolah kami akan melakukan pertandingan persahabatan dengan sekolah lain minggu depan. Dan hari ini hari Rabu, mereka sudah mulai berlatih dengan penuh semangat. Matahari memang sudah lumayan naik, tapi dengan begitu tidak membuat semangat bermain mereka hilang hanya karena terik matahari, semangat mereka justru lebih terbakar karena sengatan matahari pagi ini.
Langkahku pelan melintasi koridor yang berhadapan langsung dengan lapangan voli, sebelah tanganku menenteng kantong plastik yang di dalamnya berisi kotak bekal yang dibuatkan oleh Mama untukku. Mataku mengincar mencari keberadaan Gilang di tengah lapangan, tapi aku tak menemukannya.
Aku berjalan ke lapangan dan memanggil Feri, teman sekelasku yang juga ikut basket agar mendekat dan bermaksud bertanya keberadaan Gilang kepadanya.
“Gilang mana?” tanyaku.
Feri mengangkat bahu sambil memutar-mutar bola di tangannya. “Gak tahu. Tadi ada pas pemanasan awal, sekarang udah gak ada sih. Mungkin ke toilet atau ke mana gitu. Kenapa?”
Aku menggeleng, “Enggak sih, nanya aja gue. Ya udah, makasih ya,” ucapku, menepuk bahu Feri. “Semangat ya Fer, latihannya.”
Feri mengacungkan jempolnya, “Pasti. Thanks, ya, Li,” ucapnya. Aku mengangguk membiarkan Feri berlalu kembali ke tengah lapangan sambil melakukan passing tunggalnya.
“Di mana sih, lo,” gumamku pada diri sendiri. Masih dengan kaki yang berdiri di sisi lapangan, aku membuka ponsel bermaksud menghubungi Gilang saat sebuah suara membuat gerakanku terhenti dan aku membalikkan badan.
“Nyari siapa?” suaranya berat, seperti kelelahan
.
Aku menghela napas, “Nyari lo, ke mana aja sih?”
Gilang mengangkat botol air mineral ditangannya. “Beli ini tadi. Haus.”
“Udah makan?” tanyaku. Gilang menggeleng.
“Kenapa gak sekalian sarapan tadi di kantin? Nanti lemes kalo gak ada yang masuk ke perut lo,” cerocosku.
“Ada. Kan air masuk ke perut gue,” jawabnya membuat ku kesal dan menahan geraman.
Dia tidak mengerti apa, aku begitu karena khawatir. Pagi tadi ponsel Gilang tidak bisa dihubungi. Padahal tadi malam dia meneleponku sejak jam 10 sampai pukul 12 malam dan bilang bahwa hari ini bakalan latihan full. Lihat dia, tidak sarapan sebelum latihan dan cuma minum air putih.
“Yang ada kembung nanti kalo minum air doang,” dengusku.
Tangan Gilang naik menyentil alisku. “Ya udah sih santai aja, yang kembung juga perut gue bukan perut lo.”
Aku memutar bola mata bosan lalu menyerahkan kotak bekal kepada Gilang. “Makan tuh, dari Mama.”
Gilang menerimanya, “Buat gue?”
“Buat gue, tapi karena lo belum sarapan jadi gue kasih aja sama lo. Kasihan gue sama lo,” jawabku.
Gilang terkekeh pelan, “Buat lo kenapa jadi ngasih ke gue?”
Aku memukul lengan Gilang sambil menahan gemelatukan gigiku yang tiba-tiba terbawa kesal dengannya. “Ya udah sih makan aja gak usah banyak bacot. Simpen aja tenaga lo buat latihan. Gue makan di kantin aja nanti pas istirahat.”
Gilang mengangguk, “Iya, makasih, ya, udah dikasih bekal. Nanti istirahat gue ke kantin nemenin lo makan,” ucapnya.
Pipiku bersemu namun ku sembunyikan. Aku mengangguk setuju sambil menepuk pelan lengannya dan menggoyangkan nya sedikit. “Ya udah, gue ke kelas ya, daahh.”
Kemudian aku meninggalkan Gilang dengan pipi yang menghangat masuk ke dalam kelas.
***
Napasku terasa sesak setelah menghabiskan semangkuk bakso dan segelas jus alpukat, beruntung tadi aku membawa inhaler dan menyimpannya di saku kemeja. Aku memakai inhaler, menarik napas perlahan kemudian menghembuskan nya. Begitu berulang kali sampai napasku terasa lebih lega. Akhir-akhir ini asmaku sering sekali kambuh, entah kenapa. Padahal Papa dan Mama sering membawaku ke rumah sakit untuk chek-up rutin.
“Sejak kapan lo punya asma, Li?” tanya Gilang yang memperhatikan aku sejak awal.
Aku menyimpan inhaler di meja. “Udah lama, gue gak cerita ya sama lo. Dari kelas 8 sih gue kayak gini, sering chek-up juga padahal. Tapi gak tahu juga kenapa gak sembuh-sembuh asma gue, repot Lang kalo gue mau napas enak harus pakai inhaler,” ujarku, menghela napas berat.
Gilang mengambil inhaler ku dan menelitinya, memperhatikan setiap sudut inhaler itu. “Mama juga dulu asma,” kata Gilang.
Aku mengangkat alis, terkejut. “Dulu? Berarti sekarang—eh, sorry, gue gak bermaksud,” tahanku. “Gue juga pengen sembuh.”
Gilang tersenyum sekilas, kembali meletakkan inhaler ku di tempat semula. “Mama gue udah gak ada. Mama meninggal pas umur gue tiga tahun.”
Aku menyadari raut wajah Gilang berubah, tatapan matanya berubah sendu. Aku jadi paham dengan apa yang dia rasakan. Kehilangan salah satu orang yang berarti di dalam hidupnya pasti membuat Gilang tertekan. Apalagi saat itu usia Gilang masih sangat kecil.
“Meninggal karena asma?” tanyaku.
Gilang mengangkat bahu. “Enggak tahu gue, Papa selalu nolak kalo gue nanya penyebab Mama pergi. Sampai sekarang gue gak tahu apa-apa tentang Mama,” tutur Gilang. Kepalanya terangkat menatapku. Aku tersenyum balas menatapnya, mengisyaratkan bahwa aku ada untuk Gilang. Di sini.
“Gue masih ingat saat umur gue dua tahun, masih terlalu kecil buat gue lihat orang tua gue berantem di hadapan mata. Mama yang marah-marah sama Papa dan Papa yang pergi bawa koper setelah kejadian itu. Bahkan sampai sekarang kejadian itu masih terngiang jelas diingatan gue,” ujar Gilang. Aku menahan napas, usia sekecil itu masalah kelaurga Gilang terpaksa dia ketahui dan pahami. Bahkan di usia Gilang yang masih dua tahun dia sudah bisa paham saat itu dan memori buruk yang pernah terjadi di keluarganya masih dia ingat sampai sekarang.
“Papa gak pernah tahu, bahwa sejak saat itu sampai sekarang gue masih benci Papa. Karena udah ninggalin Mama pergi sampai akhirnya Mama ninggalin gue buat selamanya.” Napas Gilang tertahan usai dia bercerita. Aku mengerti sesakit apa yang Gilang alami dulu meski aku tidak berada di sana. Aku bisa membayangkan bagaimana kacaunya keadaan keluarganya saat itu.
Aku menatap Gilang, selembut mungkin. Aku tidak menatapnya dengan tatapan prihatin, karena jika demikian aku akan semakin membuat Gilang merasa dijatuhkan. Aku tahu ego Gilang yang mudah terluka hanya karena tatapan yang dilempar oleh seseorang untuk nya.
“Kakak gue ikut Papa pergi, sementara gue gak bisa milih. Hidup gue ada di tangan Mama selama enam bulan setelah kejadian itu,” sambung Gilang. Minuman miliknya yang masih tersisa sedikit dia habiskan. “Enam bulan Papa Mama pisah, mereka rujuk lagi. Kakak gue bahagia bukan main. Gue yakin saat itu gue juga pasti bahagia.”
Aku menarik napas pelan tidak ingin menyinggung Gilang dengan helaan napasku. Aku meraih tangan Gilang dan dengan berani menggenggamnya. “Lo gak sendiri, Lang,” ucapku.
Dapat aku lihat Gilang tersenyum tulus, meski tak sebahagia biasanya. Senyum Gilang tidak menular sampai ke mata, tetapi dia tetap menawan. Gilang membalas genggaman tanganku dan ibu jarinya mengusap pelan tanganku.
Gilang diam, aku juga. Kami saling diam dengan tangan yang sama-sama menggenggam. Aku memberi ruang untuk Gilang kembali bercerita. Tetapi dia masih saja diam. Kini saatnya aku yang bertanya merespon ceritanya.
“Diusia lo yang masih dua tahun, lo bisa tahu cerita keluarga lo se-detail itu, Lang. Gue takjub,” ucapku gamang. Ragu antara langsung menanyakan nya atau tidak. Karena aku baru juga baru tahu bahwa Gilang punya Kakak.
“Gue punya Kakak, Li. Cewek,” ujar Gilang. Aku mengangkat alis. “Gue baru tahu. Seumuran sama kita?”
Gilang terkekeh, itu membuatku sedikit kesal karena dia yang seperti menertawakan pertanyaannya. Padahal apa salahnya?
“Namanya juga Kakak, masa iya seumuran? Pasti beda lah, kayak lo sama Kak Rigel aja gak seumuran kan? Gitu juga gue sama Kakak gue,” interupsi Gilang seakan paham dengan apa yang ada dalam kepalaku.
“Jadi Kakak lo umurnya berapa sekarang?”
“Kakak gue kuliah, fakultas hukum. Dia tinggal sama Papa,” tutur cowok yang menggenggam tanganku erat itu.
“Kakak gue juga kuliah tuh, Kak Rigel,” sindirku. Menaik turunkan kedua alisku menggodanya.
Genggaman tangan kami dilepaskan oleh Gilang, tangannya yang tadi menganggur kini terangkat menyentil dahiku. “Kak Rigel itu udah punya pacar ya, Li. Dan pacarnya dia itu sahabat lo sendiri. Jadi jangan mikir macem-macem Kakak lo bakal mau gue kenalin sama Kakak gue!”
Aku terbahak keras, ya, aku hanya bercanda. Mana mungkin Kak Rigel mau berkenalan dengan seorang cewek sementara dia dibuat se-jatuh cinta itu oleh Retna? Dan juga...
“Lagian ya... kalo pun Kakak lo dikenalin sama Kakak gue terus klop, apa lo gak takut lo gak bakal bisa deket lagi sama gue?” godanya. Gilang menyeringai jahil.
Aku tidak terpengaruh dengan tatapannya, keningku berkerut dalam memikirkan dan mencerna kalimat terakhir Gilang. Kenapa sesuatu yang ada dalam pikiranku tadi bisa sama dengan kata-kata terkahir Gilang. Ah, sial! Aku terlalu berharap. Pada kenyataan nya apa yang ada dalam ekspektasi ku hanya akan menjadi pesakitan untuk ku sendiri.
“Hubungannya sama kita apa?” tanyaku bingung.
“Gue heran, lo bisa-bisanya gak bahas lagi kejujuran lo pas ulang tahun gue itu,” gumam Gilang. Pelan. Kepalanya menoleh ke arah lain tepatnya pada meja yang di tempati oleh Dani dan Rudi. “Lo bertindak seakan-akan lo gak ngelakuin hal yang mengejutkan terhadap gue.”
Kini Gilang kembali menatapku. Tatapannya sayu. Termasuk tatapan yang jarang sekali Gilang lempar untuk lawan bicaranya.
Desiran aneh menjalar di dalam dadaku saat Gilang menautkan jari-jari kami kali ini, genggamannya lebih hangat dari sebelumnya. “Sebenarnya tujuan lo berlaku kayak gini apa?”
Aku diam. Tak bisa menjawab. Bahkan aku tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Gilang. Saat itu aku melakukan kesalahan, tetapi ada juga benarnya. Dan sekarang, ah, tepatnya sebelum saat ini aku sempat menjaga jarak dari Gilang, alasannya karena aku ingin berusaha menjaga hati. Menata perasaanku agar tidak sebesar dulu.
Aku berusaha bersikap santai dan merespon seadanya, menyambut genggaman tangan Gilang dengan genggaman hampa. Tiba-tiba rasa gugupku hadir ketika tatapan Gilang masih saja sama. Tidak mengintimidasi tetapi menuntunku untuk berkata jujur.
“Aaa ... kenapa kita jadi bahas ini? Tadi kan bahas Mama lo, Kakak lo dan Kakak gue. Kok sekarang malah lompat, ya?” aku nyengir dengan ragu. Persetan dengan telapak tanganku yang berkeringat sekarang.
“Siapa tahu aja kan lo nunggu gue bahas ini dulu baru lo mau jujur. Gue salah, ya?” terka Gilang.
Aku memutar bola mata, sudah cukup sesi saling menggenggam tangan yang kami lakukan sekarang. Aku agak terganggu dengan pertanyaan Gilang yang menjebak. Jika dulu aku suka terang-terangan maka berbeda dengan sekarang, entah kenapa setelah 19 September aku lebih tertutup dengan perasaanku.
“Ngapain bahas-bahas yang udah lewat, gak penting,” tukasku. Alisku menukik tajam ketika Gilang terkekeh pelan. Lelaki ini!
“Apa lo?!” sergahku. Kekehan nya berubah menjadi tawa terbahak. Matanya menyipit karena tertawa dan aku melihat kebahagian terpancar dari matanya saat dia menatapku sepintas.
“Udah ah. Gak usah dibahas lagi. Lo juga gak mau ngomong jujur sama gue,” pasrah Gilang akhirnya.
Aku mendesah lega.
“Mau kenalan gak sama Kakak gue?”
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog