Kamu terlalu sempurna untuk bersamaku yang hanya mengusai satu keahlian, mencintai dalam kesendirian. Aku tidak pantas.
***
Aku menoleh pada Tata, dia hanya mengedikkan bahu. Kak Rigel menatapku dengan santai lalu duduk di sofa, aku beralih pada Retna.
“Bilang sama gue, Ret!” suaraku meninggi. Letupan di dalam dadaku serasa nyata. Rasa kaget dan tak percaya bercampur aduk mendominasi kepalaku sekarang saat melihat Kak Rigel mengusap sayang kepala Retna dan duduk di samping cewek itu.
“Li ... gue bisa jelasin—”
“Kak? Dia siapa?” Aku menatap Kak Rigel dengan tatapan tak percaya. Kepala ku menggeleng pelan, mataku memanas tapi aku tak bisa menangis. Aku meringis menahan sesak dadaku yang benar-benar menyiksa disaat yang tidak tepat.
Kedua alis Kak Rigel bertaut, “Kalian ini kenapa sih?”
“Kalian yang kenapa?!” sentakku nyaring. Dadaku naik turun menahan amarah. Jadi ini alasan Retna menolak Gilang? Retna menikamku dua kali lipat lebih sakit dari sebelumnya.
“Li ... udah. Lo tenang dulu ya, duduk dulu,” bujuk Tata kepadaku. Aku mengusap wajah kasar, “Tapi Retna Ta...”
“Iya gue ngerti. Kita ke kamar lo yuk, lo butuh istirahat, Li.” Tata meletakkan kedua tangannya di bahuku, menuntun aku untuk berjalan menuju kamar. Kak Rigel dengan wajah paniknya bangkit dari posisi semula, dia berusaha mengikuti kami namun Tata mencegahnya.
“Lika butuh istirahat, Kak,” ujar Tata.
“Gue lebih tahu apa yang adik gue butuhin!”
Menghela napasku yang semakin sesak sambil meremas tangan Tata, aku memintanya untuk cepat membawaku ke kamar dan tidak meladeni Kak Rigel.
Sampai di kamar, aku naik ke atas ranjang dan bersandar di sandarannya sementara Tata meninggalkan aku ke dapur untuk mengambil minum. Aku membuka laci nakas, mengambil inhaler sebagai pertolongan pertama untuk sesak napasku. Aku memakai inhaler di dalam mulutku, menghirup obatnya hingga sampai ke paru-paru dan perlahan napasku sedikit lebih lega. Aku memejamkan mata untuk sesaat dan bangkit saat Tata tiba.
“Mimum dulu, Li.” Aku mengambil alih gelas air putih yang diberikan Tata lalu memimumnya kemudian meletakkannya di atas nakas.
“Inhaler ada kan?” tanya Tata. Dia menatapku khawatir, aku tersenyum meyakinkan. “Udah tadi. Gue gak papa kok, Ta. Ini gak parah,” kataku.
Tata menghela napasnya. Tata memang yang paling tahu dan sigap mengangani disaat serangan asmaku datang. Ya, aku menderita penyakit asma sejak aku duduk di bangku kelas 8 SMP. Sekarang asmaku memang jarang sekali kambuh, aku bersyukur karena penyakitku tak separah dulu. Ini berkat Papa yang menyediakan dokter dan rumah sakit terbaik setiap kali asmaku kambuh.
Tata berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang, dia menatapku sayu. “Li... jangan lagi nyiksa diri lo kayak gini,” ucapnya.
“Gue cuma kaget aja, Ta,” ujarku. “Sekarang yang ada dipikiran gue justru Gilang, bukan lagi Retna.”
“Gue juga kaget. Tapi kita gak bisa apa-apa, seharusnya sih tadi lo dengerin dulu penjelasan mereka,” saran Tata.
“Gue udah paham tanpa mereka jelasin pun, gue ngerti gimana perasaan Retna. Tapi seharusnya dia gak perlu menggantung perasaan Gilang kayak yang dia lakukan,” ungkapku. Napasku kembali terasa sesak namun tidak separah tadi.
“Iya, terserah lo aja Li.” Tata bangkit dari duduknya, “Gue keluar ya, lo istirahat dan jangan mikirin hal yang aneh-aneh.” kemudian dia keluar menuju ruang tamu.
Aku kembali memakai inhaler. Setelah merasa lebih baik aku menyimpannya di dalam nakas. Aku berjalan ke arah balkon kamar. Pintu balkon masih tertutup, aku menyibak horden jendela, berdiri bersidekap menghadap ke arahnya aku memejamkan mata. Setetes air yang tak memiliki rasa mengalir dari pelupuk mataku.
Bibirku bergetar kaku menahan isak tangis yang ingin keluar. Rumit. Kenapa permasalahan yang ada sekarang terasa begitu rumit? Aku mencintai Gilang, menyukainya. Tetapi Gilang hanya menganggapku sebagai teman, tidak lebih. Atas penolakan Gilang aku bisa terima karena sadar cinta adalah masalah hati, bukan sebuah keharusan apalagi paksaan. Aku tidak pernah memaksa Gilang untuk membalas perasaanku, aku ikhlas dan terima kenyataan bahwa yang disukai Gilang adalah Retna, bukan aku.
Tetapi kenapa Gilang tidak seberuntung yang aku pikirkan? Jika saja Gilang tahu yang sebenarnya dia pasti akan kesakitan sama sepertiku, dan kesakitanku akan bertambah berkali-kali lipat jika Gilang juga sakit. Tuhan ... kenapa cinta yang sederhana menjadi serumit ini?
Aku pikir dengan aku merelakan perasaanku untuk kebahagiaan Gilang yang ada pada Retna, aku bisa menciptakan kebahagiaan untuk diriku sendiri. Tetapi ternyata sebaliknya, ini justru lebih sakit saat aku terlanjur merelakan seseorang yang berarti dan membiarkan perasaanku menjadi tidak bermakna dan ternyata langkah yang aku ambil keliru. Aku ingin bahagia bersama Gilang tetapi tak bisa, aku ingin bahagia dengan melihat kebahagiaan Gilang juga tidak bisa. Lantas, apalagi hakku atas perasaan yang terluntang-lantung ini?
Menyalahkan Kak Rigel? Walaupun aku kecewa dengan Retna, tetapi aku masih cukup waras untuk tidak melibatkan seseorang yang tidak tahu apa-apa dalam permasalahan kami. Kak Rigel tidak tahu apa-apa atas semuanya. Lalu pantaskah aku menyalahkan Retna atas perasaannya? Tidak. Itu bukan tindakan yang bijak, aku tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang dan terpaksa tidak berbalas. Aku mencoba mengerti posisi Retna meski sulit. Retna mencintai Kak Rigel, itu keputusannya.
Tetapi bagaimana dengan Gilang? Kesakitannya akan berubah nyata jika dia tahu yang sebenarnya nanti. Bolehkah aku bertindak egois untuk kali ini saja? Ingin merebut kembali Gilang, apa boleh?
Sekarang pukul lima sore, aku membuka pintu balkon dan lalu menghempaskan tubuhku di atas kasur. Menenggelamkan kepalaku dibantal. Aku tidak lagi menangis tetapi rasanya masih sesak. Ponselku yang ada di dalam saku berbunyi, satu panggilan telepon dari Kak Felix dan 10 pesan WhatsApp tidak terbaca.
“Halo,” sapaku dengan suara serak.
“Kenapa suara lo?” tanyanya langsung.
“Enggak papa. Aku cuma flu, Kak.”
“Emangnya lo habis ujan-ujanan kok bisa flu?”
Aku hanya diam tak menjawab selama beberapa saat sampai Kak Felix kembali bersuara. “Li ... kenapa sih?”
“Kakak lagi ngapain?” tanyaku.
“Lagi dimobil nganter Mama ke dokter. Lo udah makan?”
“Belum,” jawabku. “Mama Kakak sakit apa?”
“Mama gak sakit, cuma periksa kesehatan aja. Habis nganter Mama gue ke rumah lo deh, lo mau makan apa? Sekalian gue bawain nanti.”
“Eh? Gak usah. Aku lagi gak nafsu makan. Lagian udah sore nanti ngerepotin akunya. Gak usah Kak, gak apa-apa kok.”
“Ok. Udah mau nyampe RS nih, gue tutup dulu ya, Li.”
“Iya.”
Kak Felix memutuskan sambungan telepon kami, aku men-charge ponselku yang sudah low-batre. Aku butuh mandi sekarang, tubuhku terasa lengket dan kepalaku rasanya berat. Mungkin mandi dengan air hangat akan membuat tubuhku rileks dan pikiranku lebih tenang dari ini.
Selesai mandi aku menunaikan salat magrib, kekuatan solat memang luar biasa. Saat hati terasa begitu kacau, perasaan terasa tertekan dengan solat semua perasaan serasa terangkat. Tak lagi mengganggu pikiran. Sekarang aku sudah sedikit lebih tenang, jika memang Retna dan Kak Rigel harus bersama tidak apa-apa. Lagipula aku juga tidak menyalahkan Retna, perasaan seseorang adalah hal manusiawi. Retna juga berhak mencintai dan dicintai oleh Kak Rigel.
Selesai salat aku duduk di balkon kamar, mengambil ponselku yang dayanya sudah terisi 50%, aku memakai piyama tidur motif flower.
Aku membuka ponsel, ada beberapa chat Retna yang tidak terbaca.
Retna
Li... Sori
Gue gak tahu sama semuanya Li. Sumpah
Maaf...
Lika Hirata
Iya, Ret
Rerna
Lo marah sama gue?
Tidak, aku tidak marah kepada Retna. Sedikit kecewa mungkin saja. Tetapi aku akan membiasakan hati dengan kenyataan baru-baru ini.
Lika Hirata
Gue ngerti kok, Ret. Gue gak marah sama lo. Lagian perasaan juga gak bisa dipaksa kan?
Retna
Sekali lagi maafin gue, gue beneran gak bisa sama Gilang.
Lika Hirata
Iya, Ret
Ponselku berbunyi, panggilan telepon dari Kak Felix.
“Gue di depan rumah lo, Li. Keluar dong.”
Aku berdiri dan melihat ke bawah, benar. Motor sport putih milik Kak Felix terparkir di halaman rumahku.
“Iya, aku turun. Tunggu ya Kak.”
“Iya. Jangan lari-lari nanti jatuh.
Aku terkekeh, “Iya, Kak,” jawabku.
Aku sampai di halaman rumah, ternyata Kak Rigel tak ada di rumah. Entahlah, mungkin dia mengantar Retna pulang. Kak Felix hanya memakai baju kaos oblong dan celana training selutut dan jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya. Aku mengajak Kak Felix untuk duduk di halaman belakang rumah, ada kursi panjang yang tersedia di samping lampu remang-remang yang ada di taman. Aku selalu suka duduk di sini, tetapi hanya siang hari atau bersama dengan Kak Rigel jika malam.
“Kakak bawa apa?” pandanganku tertuju pada plastik yang di tenteng oleh Kak Felix.
“Sate buat lo, nih,” Kak Felix menyodorkan plastik itu kepadaku. Aku mengulum senyum senang, membuka bungkus sate dan mengambil satu tusuk kemudian memakannya. “Aku udah lama gak makan sate, Kak. Dilarang sama Kak Rigel soalnya,” kataku.
“Kenapa?” tanya Kak Felix heran.
“Katanya nanti aku jerawatan karena sate kan terbuat dari sambel kacang. Kak Rigel itu emang aneh, yang makan sate aku yang jerawatan aku tapi yang heboh dia. Enggak tahu juga lah,” ujarku. Sekarang aku menyantap tusuk kedua. Sementara Kan Felix hanya diam memperhatikan aku.
“Kakak kok gak makan juga? Mau aku suapin?” kekehku, aku menahan tawa saat Kak Felix menggeleng kaku. “Aak...”
Ekspresi Kak Felix lucu sekali saat dia kaget seperti ini, dia salah tingkah dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menutup mulutnya dengan tangan menolak aku suapi.
“Kakk... Kakak juga harus makan, aku gak enak kalo cuma aku aja yang habisin tapi Kakak gak nyentuh makanannya sedikit aja. Ayo makan, Kak...” rengekku. Sebelah alis Kak Felix terangkat namun akhirnya bersedia membuka mulut nya.
Aku tersenyum dan menyuapi Kak Felix sate beserta dengan lontongnya. Aku mencuci tangan dengan air kemasan yang dibawakan oleh Kak Felix lalu menyapu mulutku dengan tangan yang sudah bersih. Sate yang belum habis aku dorong sedikit ke arah Kak Felix, menyuruhnya dengan isyarat untuk menghabiskan sate itu sendiri.
“Udah kenyang?” aku mengangguk. “Cepet banget, sih. Pantesan badan kecil, makan sih gak banyak,” kata Kak Felix. Aku hanya tersenyum tipis.
“Rigel gak ada di rumah. Ke mana dia, Li?” tanya Kak Felix.
“Aku gak tahu. Nganter Retna mungkin,” jawabku.
“Kok Retna?” Kak Felix bertanya heran.
“Emang kenapa Kakak nyari Kak Rigel?” aku mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.
“Mau Mabar aja sih, sekalian modus mau ketemu lo juga, haha.” Kak Felix tertawa keras. Aku memukul lengannya guna menyadarkan dia bahwa sekarang sudah sore, takutnya nanti tetangga salah paham dan mengira Kak Felix adalah penunggu halaman belakang rumahku. Kan ngeri.
Kak Felix tak lagi tertawa dan justru menatapku lekat. “Kamu kenapa sih, Li?”
Alisku terangkat membalas tatapannya. “Emang aku kenapa?”
“Beda aja dari biasanya.”
“Enggak ah.”
“Kalo ada masalah cerita aja, Li. Aku dengerin kok,” kata Kak Felix. Keningku berkerut dalam, “Kakak kok ngomongnya aneh?” tanyaku bingung.
Mata sipitnya tenggelam karena tertawa, Kak Felix menarik napas dan menatap ke depan. “Gak papa kan aku ngomong gitu kalo kita lagi berdua?”
Tatapan ku dan Kak Felix bertemu saat dia kembali menoleh padaku. Alisku menukik menatapnya, jujur aku cukup terganggu dengan panggilan baru Kak Felix untukku.
“Jangan, Kak. Gak usah aku-kamuan sama aku. Lagian Kakak lebih tua dari aku, aku nanti jadi gak enak. Aku suka kita yang kayak gini aja,” kilahku sepelan mungkin agar dia mengerti.
“Oke.”
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog