[ EVAN ]
KEESOKAN HARINYA, LANTARAN kemoterapi membuatku mual dan nggak enak badan, aku nggak masuk sekolah. Tadinya aku memaksakan diri karena hari ini ada ulangan Matematika IPA, namun kemudian aku muntah setelah sarapan sehingga Mama menyuruhku untuk mengambil ulangan susulan minggu depan.
"Evan udah ada dua susulan, Ma," kataku saat Mama sedang merapikan bekas muntahanku di toilet.
"No." Mama membawaku kembali ke kasur dan menyelimutiku seakan-akan aku ini anak berumur lima tahun yang nggak bisa tidur di malam hari. "Don't push yourself, lah," ucap beliau dengan logat Singlish-nya yang kadang-kadang muncul dengan nggak sengaja. (Walaupun Mama berasal dari Singapura, beliau bisa misuh-misuh dengan lancar seakan-akan beliau nggak pernah keluar dari Surabaya—dan beliau juga sudah biasa berbicara bahasa Indonesia di rumah.) Mama kemudian memberitahuku, dalam bahasa Indonesia, kalau beliau hari ini cuti dan dan mengecup keningku sebelum keluar dari kamar.
Aku meremas boneka gajahku, perasaanku campur aduk. Selama aku sakit, aku cuma bisa menyusahkan orang-orang di sekitarku. Mama, selain harus mengambil banyak cuti dari pekerjaan beliau sebagai guru bahasa Inggris, juga menghabiskan lebih banyak waktu merawat dan memanjakanku ketimbang Hana, yang dalam usianya masih sangat memerlukan perhatian penuh dari orang tua. Maggie harus mati-matian memaksakan diri menyelesaikan skripsinya saat dia mungkin masih perlu banyak waktu, semuanya hanya karena biaya pengobatanku yang membuatnya nggak bisa mendekam satu semester lagi di kampusnya. Aku bisa maklum kenapa Maggie belakangan ini nggak begitu menyukaiku.
Aku tidur sekitar lima jam sebelu Mama membangunkanku untuk makan siang. Menunya bubur ayam, yang nggak pernah kusukai. Sehabis itu aku main game, menonton channel olahraga di TV walaupun seringkali hal itu membuatku depresi, dan bahkan iseng membaca ulang novel Harry Potter and the Goblet of Fire yang kubeli waktu SD dulu—buku favoritku dari serial Harry Potter. Apa pun untuk mengisi kegabutan.
Saat aku mulai larut dalam adegan di mana Harry Potter menyelam ke danau dalam tantangan kedua Turnamen Triwizard, aku teringat Giana dan bagaimana cewek itu menulis di suratnya kalau dia nggak suka membaca buku namun suka menonton film yang diadaptasi dari buku. Aku memikirkan berapa banyak yang cewek itu lewatkan—Giana mungkin nggak pernah tahu betapa menegangkannya pertandingan Piala Dunia Quidditch yang entah kenapa nggak terlalu ditonjolkan di film.
Aku nggak ngerti kenapa membaca buku membuatnya ngantuk, saat membaca justru dapat membawa kamu ke dunia yang berbeda dari dunia membosankan yang kamu tinggali sekarang. Saat aku membaca Harry Potter, aku bukan lagi anak pincang yang sebentar lagi akan meninggal karena sel-sel mematikan yang bersemayam di tulang kakinya mulai menyebar dan menyerang anggota-anggota tubuhnya yang lain—instead, aku adalah seorang siswa Hogwarts yang sehat dan dapat berjalan dan berlari tanpa tongkat, kalau bisa ditempatkan di asrama Gryffindor walaupun menurut tes aku seorang Ravenclaw, yang hari-harinya dihabiskan dengan bermain Quidditch di atas sapu terbang dan menyelinap keluar asrama dengan jubah yang bisa membuat pemakainya nggak kelihatan.
Dalam hati, aku bertanya-tanya kenapa surat dari Hogwarts belum kunjung datang untukku.
Saat Harry baru akan memasuki labirin di mana dia akan melaksanakan tantangan Turnamen Triwizard yang terakhir, aku berhenti membaca dan mengambil kertas folio di kamar Maggie. Aku mulai menulis surat balasan untuk Giana. Aku tahu kalau nanti surat ini bakal berkali-kali direvisi oleh Pak Bima, namun aku nggak terlalu peduli.
Surabaya, 15 Agustus 2017
Untuk Giana,
Aku sudah baca surat yang kamu kirim, dan sejujurnya isinya nggak ada yang memalukan, kok. Malahan, aku dapat kesan kalau kamu sangat jujur sama dirimu sendiri—sesuatu yang selama ini nggak bisa kulakukan. Dan itu salah satu hal yang aku suka dari diri kamu, walaupun kita baru berkenalan.
Pertama, aku mau berterima kasih karena kamu mau jadi temanku. Sekarang, karena beberapa hal—
Aku berhenti menulis. Separuh dari diriku ingin menceritakan tentang penyakitku dan bagaimana itu membuatku nggak bisa lagi mengejar cita-citaku dan menjauhkanku dari orang-orang yang kucintai. Toh, saat orang-orang di sekitarku nggak bisa kuajak bercerita, Giana bisa menjadi semacam suaka bagiku. Namun di sisi lain, aku takut Giana akan melihatku sebagai Evan yang rapuh, penyakitan, dan harus dikasihani.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memberitahu Giana semuanya, kecuali bagian tentang penyakitku itu.
—aku merasa kesepian. Nggak, teman-temanku nggak menjauhiku atau apa. Namun, keadaan terpaksa membuatku menjauh dari mereka. Aku takut mereka akan tahu diriku yang sebenarnya kayak gimana.
Yah, mungkin kamu nggak bakalan mengerti. Tapi se-enggaknya aku paham perasaan kamu waktu kamu bilang—maksudku, nulis—kalau kamu merasa nggak punya teman. Di rumah, aku juga nggak punya siapa-siapa. Orang tuaku jelas nggak bisa diajak cerita karena jarak usia yang terlalu jauh. Aku anak kedua dari tiga bersaudara—adikku yang paling kecil masih PAUD, sementara hubunganku dengan kakakku, Kak Maggie, nggak terlalu baik. Yang sebagian juga merupakan salahku (aku nggak akan terlalu membeberkan seperti apa masalah kami di sini), walaupun aku masih belum tahu bagaimana meminta maaf ke dia.
Bahasannya kok jadi berat, ya?
Omong-omong, aku nggak mengerti kenapa kamu nggak suka membaca—padahal baca buku lebih seru, lho, dari nonton film. Kamu bisa lebih larut dalam dunia yang ada di buku. Kalau kamu suka film Harry Potter, coba sekali-kali baca bukunya, deh.
Asramaku Ravenclaw, omong-omong, walaupun sebenarnya aku mau masuk Gryffindor. Patronusku kucing. Umurku hampir enam belas tahun, yang berarti seharusnya sekarang aku masuk tahun kelima di Hogwarts walaupun sampai sekarang aku belum menerima surat dari sana. Aku rasa itu sudah cukup untuk memperkenalkan diriku, karena toh nantinya kita bakal mengenal satu sama lain lebih lanjut melalui korespondensi (?) kita nanti.
Kalau kamu bagaimana? Kira-kira, seandainya kamu masuk Hogwarts, kamu masuk asrama apa?
Dari sahabat penamu,
Evan
Astrid datang ke rumah jam setengah empat, nggak lama setelah jam pulang sekolah. Dia membawa buku cetak Sejarahku yang dia ambil dari loker—dia tahu kombinasi lokerku di sekolah—dan memberitahuku kalau besok ada PR membuat mind map tentang pembagian zaman prasejarah.
"Ngapain sih, kamu repot-repot ke rumahku buat bawa ini semua?" tanyaku pada Astrid yang sedang berbaring di kasurku sambil mengelus permukaan boneka gajahku. Pintu kamarku sengaja kubiarkan terbuka. Mama memang nggak pernah melarang cewek masuk ke kamarku, asalkan aku nggak menutup pintu. Beliau cukup percaya kalau aku nggak akan melakukan "apa-apa"—walaupun toh kalaupun pintu kamarku ditutup, aku juga nggak akan bisa melakukan "apa-apa" yang Mama maksud itu. Memegang tangan Astrid saja seringkali membuatku keringat dingin. "Kan kamu bisa tinggal fotoin tugasnya terus kirim di Line, atau apa."
"Mosok aku nggak boleh ketemu sama pacar sendiri?" tanya Astrid, yang kini tengkurap. "Aku tuh khawatir sama kamu, tahu ndak."
Jari-jemari Astrid yang hangat dan halus kemudian memegang pipiku dan kemudian mengarah ke dahiku, seakan-akan dia hendak mengecek temperatur tubuhku. (Aku nggak demam, omong-omong—efek samping kemo yang kuterima hanya perasaan mual dan nggak enak badan.) Normalnya, aku akan langsung deg-degan begitu merasakan tekstur tangan Astrid di atas kulitku, namun entah kenapa kali ini aku nggak merasakan apa-apa.
"Aku cuma nggak enak badan, Astrid. Kamu nggak usah khawatir."
Astrid bangkit dari kasurku dan membetulkan posisinya. Kini posisinya terduduk, tangannya memainkan kaos kakinya yang belum dia lepas. Untuk beberapa waktu, dia hanya terdiam tanpa mengatakan apa-apa, dan kami tetap terdiam sambil duduk berdua di atas kasur selama sekitar lima menit. Belakangan ini, kami memang lebih sering diam saat bersama satu sama lain.
"Sejak kecelakaan waktu itu," Astrid mulai membuka mulutnya, memecahkan keheningan di antara kami, "aku jadi takut kalau kamu sebenarnya ada kenapa-kenapa. I mean, orang cedera biasanya nggak sampai selama ini."
Saat itulah, aku mulai sadar akan sesuatu—Astrid tahu akan keadaanku yang sebenarnya, yang nggak pernah kuberitahu padanya lantaran aku nggak mau dia merasa iba padaku. Walaupun sebenarnya tanpa kuberi tahu pun dia sudah merasa iba.
"Tadinya aku sempat berpikir kalau mungkin kaki kamu memang jadi kayak gitu secara permanen gara-gara kecelakaan," lanjut Astrid, yang seakan mewakili apa yang aku ingin orang lain pikirkan tentangku. Se-enggaknya, orang yang jalannya pincang nggak akan mati dalam waktu dekat. "Tapi lama-lama kamu jadi tambah pucat, badan kamu jadi kurus. Kamu jadi gampang sakit, sampai waktu UN kemarin kamu ambil susulan gara-gara nggak bisa masuk. Itulah kenapa aku sengaja daftar ke SMA yang sama dengan kamu—supaya aku bisa jagain kamu."
Aku menggeleng. "Aku bukan anak playgroup yang perlu kamu jagain."
Astrid menghela napasnya. Cewek itu kemudian merogoh tas sekolahnya yang dia letakkan di bawah kasurku dan mengeluarkan sebuah tabung plastik berwarna oranye dari dalamnya.
"Aku ketemu ini kemarin di kolong meja kamu. Kayaknya kamu lupa bawa waktu kamu pulang duluan kemarin," ujar Astrid sebelum melempar tabung oranye itu ke tanganku. Tabung itu berisi sekumpulan tablet. Di permukaan tabung itu tertempel sebuah kertas dengan tulisan "APREPITANT[7]" di atasnya.
Yang sedang kupegang itu, omong-omong, adalah obat yang dokter berikan padaku supaya aku nggak mual setelah proses kemoterapi. Ini menjelaskan kenapa pagi ini aku muntah-muntah—gara-gara obat itu ketinggalan di sekolah, aku nggak mengonsumsinya kemarin sore. Dan sialnya, obat itu kini berada di tangan Astrid, yang berarti dia secara nggak langsung sudah tahu tentang semuanya.
"Aprepitant itu buat opo, toh, Van?"
[7] Salah satu jenis obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi efek mual pada pasien kemoterapi.
a/n; huhu maaf telat apdet akhir-akhir ini ya gaes :( kutenggelam dalam uts huhu