[ EVAN ]
MALAM ITU, SETELAH makan malam, aku menemukan Maggie berdiri di balkon rumah, menghisap vape sambil memandang jalanan yang masih agak ramai di bawah-kami tinggal di salah satu jalan yang lumayan ramai di pusat kota Surabaya-sendirian. Aku dapat mendengar dia menggerutu di sela-sela helaan napasnya. Tangan kirinya memegang sekaleng Pepsi yang sepertinya diambil dari minibar di ruang TV lantai dua.
Dalam hati, aku merasa agak bersalah. Aku ingin menghampiri Kak Maggie dan bilang minta maaf, namun di sisi lain aku agak ragu. Kata-kata ngorbanin masa depan buat anak yang nggak punya masa depan masih terngiang jelas di kepalaku.
Sadar kalau aku ada di belakangnya, Maggie menoleh ke arahku. "Kamu ngapain di sini? Pergi," perintahnya dengan nada kesal sebelum kembali menatap jalanan di bawah.
Aku menelan ludah. "Soal tadi," kataku sambil berjalan mendekati Maggie dan bukannya pergi seperti yang dia mau, "aku minta maaf, Kak."
Maggie menggeleng. "Nggak perlu," balasnya pelan sebelum kembali mengisap vape-nya. Nampaknya kakakku itu sama sekali nggak peduli terhadap fakta kalau dia sedang merokok-aku sendiri nggak tahu vape itu termasuk rokok atau bukan-di depan adiknya yang menderita kanker. Kebiasaan Maggie merokok tiap kali dia merasa tertekan ini dimulai dari masa-masa persiapan ujian A-Levels[3] lima tahun lalu, dan Maggie sudah lama mewanti-wanti agar aku nggak memberitahu Mama dan/atau Papa. Yang sejauh ini nggak pernah kulakukan. "Lagian, kamu toh nggak pernah minta buat jadi kayak gini, kan?" Maggie mengembuskan napas, membiarkan uap vape keluar dari mulutnya, dan aku menutup hidung dan mulutku dengan kerah bajuku. "Sama kayak aku nggak pernah minta punya adik penyakitan."
Kini, aku dan Maggie berdiri bersebelahan, tubuh kami bersandar di pembatas balkon. Udara Surabaya di malam hari yang pengap menerpa kami. "Kalo gitu, aku minta maaf karena aku penyakitan," ucapku pelan, sampai-sampai hampir terdengar seperti bisikan. Kemudian aku keluar dari balkon, meninggalkan Maggie sendirian, dan masuk ke dalam kamarku. Sepanjang malam itu aku habiskan dengan memandangi langit-langit kamarku, memikirkan segala sesuatu yang mungkin bisa terjadi kalau saja aku nggak sakit.
Kalau aku nggak pernah sakit, mungkin aku masih bisa aktif main bola sampai sekarang. Kalau aku nggak pernah sakit, mungkin aku masih bisa berjalan normal. Kalau aku nggak pernah sakit, keluarga kami nggak akan menghadapi kesulitan keuangan kayak sekarang, yang berarti Maggie nggak harus khawatir akan biaya kuliahnya di Singapura sana. Hubunganku dengan Maggie mungkin nggak akan menjadi seperti sekarang.
Keesokan paginya, Maggie mengantarku ke SMA Adiwiyata untuk pengambilan buku, seragam, dan segala macam tetek bengeknya, dan sepanjang perjalanan kami berdua diam-diaman di dalam mobil, dengan album terbaru Ed Sheeran yang mengalun dari stereo mobil sebagai satu-satunya suara di antara kami.
Semuanya berawal dari seleksi sekolah bola tingkat daerah Jawa Timur yang diadakan hampir setahun yang lalu.
Sebenarnya, gejala-gejalanya sudah muncul lumayan lama sebelum audisi itu-misalnya, aku sering merasa nyeri di bagian kaki kiriku setelah latihan, namun aku nggak pernah terlalu menganggap itu masalah yang serius. That is, hingga rasa sakit itu lama-kelamaaan mulai kurasakan secara konstan. Nggak berhenti-berhenti.
Sialnya, saat rasa sakit yang nggak henti-henti itu mulai kualami pada detik-detik menjelang seleksi. Saat aku seharusnya latihan dengan intens. Maka aku memutuskan untuk memaksakan diri, tetap latihan, dan nggak memberitahu siapa-siapa tentang rasa nyeri di kakiku. Walaupun berjalan dan berlari rasanya sakit banget, aku berusaha keras unuk nggak terlihat pincang di depan Coach Putra-pelatih yang merekomendasikanku ikut seleksi-selama latihan. (Padahal, kalau dipikir-pikir, sebenarnya waktu itu jelas sekali terlihat kalau jalanku pincang.)
Hingga hari seleksi, yang merupakan awal dari akhir dari segalanya, tiba. Aku sedang duduk-duduk di bangku penonton Stadion Gelora Bung Tomo, menenggak Pocari Sweat sambil menonton anak-anak lain maju satu per satu untuk melakukan tes-tes yang diperlukan untuk lolos-kayak menggiring bola melewati barisan cone, mengoper bola ke pelatih di seberang kami, atau menendang bola ke arah gawang. Bahkan kalaupun kakiku nggak merasa sakit, aku bakalan tetap merasa gugup. Waktu itu, umurku baru 14 tahun, yang secara efektif membuatku menjadi salah satu anak paling muda di situ. Dan semua anak sebelum aku pada jago-jago. Kayak, beberapa dari mereka bahkan bisa jadi the next Evan Dimas.
"Kamu kenapa?" tanya Astrid, yang melihatku memijit pelan tungkai kaki kiriku. (Entah kenapa, waktu itu aku lolos tes kekuatan kaki-yang membuat nyeri di kakiku semakin nggak tertahankan.) Dia memang sengaja bolos hari itu untuk menjadi suporter, walaupun dia bahkan nggak tertarik dengan olahraga dalam bentuk apa pun.
"Cuma pegel dikit," jawabku, yang nggak sepenuhnya bohong. After all, pegal adalah salah satu bentuk dari rasa sakit, walaupun yang aku rasakan lebih mendekati nyeri (yang amat sangat) daripada pegal. "Ndak papa, kok."
Astrid masih menatapku khawatir-tatapan yang nggak pernah kusukai dari siapa pun, bahkan dari keluargaku sendiri. Walaupun secara teknis mereka memang harus mengkhawatirkanku. Tiap kali aku terkena demam, sering kali aku memaksakan diri masuk sekolah hanya karena aku nggak mau melihat Mama repot-repot merawatku di rumah. Sejak Hana lahir, beban Mama sudah cukup berat setiap harinya.
Nggak lama kemudian, namaku dipanggil. Aku pun maju sambil dalam hati berdoa semoga nyeri di kakiku nggak terlalu berpengaruh ke performaku nantinya. Dan aku melalui semuanya dengan baik. Aku menggiring bola melewati cone-cone. Aku mengoper bola ke pelatih di depanku. Segala sesuatu berjalan lancar. Or so I thought.
Hingga aku berdiri di depan gawang, hendak melakukan tahap terakhir dalam seleksi-menendang bola sekuat tenaga ke dalam gawang. Kaki kiriku berdenyut-denyut karena tadi diforsir melakukan hal-hal kayak berlari dan melompat, dan aku nggak yakin kalau kakiku cukup kuat untuk menendang. Yang sebenarnya nggak akan jadi masalah besar kalau aku biasa menendang dengan kaki kanan, tapi masalahnya aku kidal. Alhasil, aku juga biasa menendang dengan kaki kiri.
Dan walaupun bisa saja waktu itu aku terima saja keadaan dan memakai kaki kanan, entah kenapa waktu itu aku refleks menendang dengan kaki kiriku.
The last thing I know, aku jatuh di saat bersamaan dengan masuknya bola ke dalam gawang, dan proses seleksi terpaksa ditunda berjam-jam karena mereka harus mengantarku ke rumah sakit.
Aku ingat merasa campur aduk-antara shock, takut, dan kecewa karena nggak bisa melakukan yang terbaik di lapangan-selama perjalanan ke rumah sakit. Kaki kiriku bengkak dan sama sekali nggak bisa digerakkan, yang berarti kemungkinan besar aku mengalami patah tulang.
"Coach," aku memanggil Coach Putra, yang menemaniku waktu itu, lirih. Suaraku gemetaran. "Kira-kira saya isih bisa lulus, nggak?"
Satu-satunya jawaban yang masuk akal dari pertanyaan itu adalah nggak, kayaknya dengan keadaan kamu yang kayak gitu udah nggak bisa lagi, deh, Van-kecuali Coach Putra cuma diam sambil membalas pesan seseorang di WA. Mungkin karena beliau nggak sampai hati. Aku sendiri nggak mau membayangkan bagaimana semua yang telah kuperjuangkan selama bertahun-tahun harus kandas karena insiden patah kaki. Bagaimana aku harus menyerah akan cita-citaku menjadi pemain bola dan menghabiskan tiga tahun ke depan belajar di sebuah SMA biasa yang membosankan bersama anak-anak lain, hanya untuk lulus dan mengambil sebuah jurusan yang membosankan kayak akuntansi saat kuliah agar aku dapat menjadi (mengutip istilah Maggie) "budak korporat" kelak. Menjadi sama kayak orang-orang lain, tanpa ada sesatu yang bikin aku mudah diingat.
Kecuali aku bahkan nggak perlu memikirkan masa depan, karena nggak lama kemudian aku didiagnosis menderita kanker tulang. Osteosarkoma[4] stadium tiga. Hasil rontgen menunjukkan hal-hal yang nggak biasa, dan aku harus melalui serangkaian tes untuk mengetahui aku ini kenapa. Dan benar saja.
Sejak insiden patah tulang itu, hari-hariku dipenuhi dengan operasi, obat-obatan, dan konsultasi dengan berbagai jenis dokter-apa pun agar aku bisa bertahan hidup.
Sejak insiden patah tulang itu, padahal, hidupku bisa dibilang sudah berakhir.
Di SMA baruku, rupanya, aku nggak sepenuhnya menjadi sama dengan anak-anak lain. Aku tetap mendapat perhatian-walaupun bukan tipe perhatian yang aku inginkan-karena aku berjalan dengan tongkat. Teman-teman sekelasku yang baru memanggilku "Mbah Evan".
Nggak, aku nggak di-bully atau apa. Instead, aku dikasihani-sesuatu yang bahkan lebih nggak enak rasanya daripada di-bully, if you ask me. Kakak-kakak kelas, yang nggak jarang menatapku iba, mengenalku sebagai "anak yang jalannya pake tongkat itu". Mereka memberiku pengecualian tiap kali teman-teman kelompokku dihukum saat MPLS (yang di sekolahku masih sama saja kayak MOS, dengan perpeloncoan dan segalanya).
"Kasihan, ya," bisik salah satu senior-kalau nggak salah dia kelas 12-ke temannya saat aku keluar kelas untuk mengisi air di dispenser koridor dua hari lalu. "Kok bisa, ya, iso dadi kayak gitu?"
Dan saat aku ditanyakan hal yang serupa, aku nggak pernah menjawab. Diperlakukan kayak orang cacat yang perlu bantuan setiap saat-teman-teman sekelasku nggak jarang menawarkan diri untuk membawakan tasku, menuntunku turun tangga, dan sebagainya-sudah cukup menyedihkan. Mereka nggak perlu tahu kalau aku sekarat.
"Evan." Astrid menepuk tangannya di depan mataku, membuyarkan lamunanku. Aku, yang dari tadi sibuk menonton anak-anak bermain bola di lapangan lewat jendela kelas, sedikit terkejut.
Sejak aku menerima surat yang menyatakan kalau aku nggak diterima di sekolah bola incaranku itu, aku dan Astrid memang sudah sepakat masuk SMA yang sama. Lebih tepatnya, Astrid yang bersikeras ingin masuk SMA yang sama denganku. Bahkan tanpa diberitahu tentang diagnosisku, Astrid sudah cukup khawatir kalau-kalau aku "kenapa-kenapa" sejak insiden patah kaki waktu itu.
Sialnya, kami rupanya sekelas, yang bikin Astrid semakin memperlakukanku seolah-olah aku ini anaknya alih-alih pacarnya.
"Kenapa?" tanyaku. Astrid, yang memang duduk di depanku, memberikanku setumpuk lembaran kertas.
"Oper ke belakang," kata Astrid, dan saat itulah aku sadar apa yang sedang terjadi. Pak Bima, guru Bahasa Indonesia kami, sedang membagikan sesuatu yang kayaknya formulir. Tapi apa yang sebelumnya dibahas, aku nggak tahu. Maka, dalam kebingungan, aku mengambil salah satu kertas formulir dan mengopernya ke Gayatri, cewek berkacamata yang duduk di belakangku.
"Ini formulir buat apa, toh?" tanyaku sambil membaca kertas itu sekilas. Di dalamnya, kami diharuskan menulis biodata standar-you know, nama, kelas, tempat/tanggal lahir, dan semacamnya. Kayaknya salah satu cara bagi Pak Bima untuk mengenal kami sebagai murid baru beliau.
"Buat dikasih ke anak-anak Bandung." Melihat raut wajahku yang bingung, Astrid buru-buru menjelaskan, "Jadi, nanti kita ada semacam program sahabat pena buat nilai BI semester ini. Nah, sahabat pena kita ini anak-anak dari sekolah satu yayasan kita di sana, makanya kita perlu ngasih data kita ke mereka." Tahu kalau aku masih belum terlalu paham bahkan setelah mendengar penjelasan panjang lebar, Astrid bertanya, "Kamu sih, ngelamun terus dari tadi. Sampe ndak merhatiin di depan. Emangnya ada apa di luar jendela?"
"Anu-eh, kakak kelas. Main bola. Di lapangan," jawabku terbata-bata kayak orang bodoh. Aku sama sekali nggak memberitahu Astrid tentang bagaimana aku kangen berlari-lari di lapangan, merasakan rumput menggelitik kakiku dan angin meniup rambutku. Sesuatu yang lebih suka kulakukan daripada duduk diam sambil dikemo.
Astrid nggak perlu tahu tentang hal ini. Yang dia tahu, aku jadi kayak gini-pincang dan memakai tongkat kayak kakek-kakek-karena efek samping berkepanjangan dari insiden patah kaki tahun lalu. Dan alasan itu sudah cukup bagi Astrid untuk memperlakukanku kayak orang sakit, sesuatu yang sebenarnya sangat nggak kusukai. Aku ingin menjadi pacar Astrid; bukan orang yang diasuhnya.
"Kadang-kadang, aku khawatir sama kamu, Van. Sejak kita masuk SMA, kamu...berubah," komentar Astrid saat aku mulai mengisi formulir tadi. Nama panggilan Evan (anehnya, kami cuma disuruh mengisi nama panggilan alih-alih nama lengkap), kelas 10 IPA-B, tempat dan tanggal lahir Singapura, 28 April 2002. "Kamu jadi lebih pendiam-suka tahu-tahu ngelamun sendiri, kayak larut di dunia kamu sendiri. Ndak pernah cerita apa-apa lagi sama aku."
Aku nggak meladeni perkataan Astrid. Mataku terpaku pada poin terakhir yang ada di formulir, yang berbunyi Aku suka ____ . Bentuknya kayak soal isian, seolah-olah kalimat itu adalah sebuah pertanyaan dan kami harus menjawabnya dengan mengisi space yang kosong.
"Astrid," tanyaku, menunjuk ke poin itu. "Iki maksudnya opo, toh?"
"Hal-hal yang kamu suka," Astrid menjawab yakin. "You know, kayak hobi, serial TV favorit-apa aja yang jadi kesukaan kamu. Kayak aku suka fotografi sama musik indie; kamu suka bola."
"Not anymore." Aku kembali memandang ke luar jendela, ke kakak-kakak kelas yang sedang berselebrasi karena gol yang baru dicetak, kemudian ke tongkat yang terletak di samping bangkuku. Aku menghela napas.
Pada akhirnya, space setelah kalimat Aku suka ____ tadi kubiarkan kosong.
[3] Ujian yang menjadi syarat untuk memasuki universitas di negara-negara seperti Inggris dan Singapura; biasa dilakukan di akhir jenjang sixth form (setara kelas 11/12 di Indonesia).
[4] Singkatan dari osteogenic sarcoma, alah satu jenis kanker yang terbentuk pada sel-sel tulang. Paling sering ditemui pada orang-orang dalam rentang usia 10-30 tahun.
a/n; jika kalian pernah melihat cerita ini di platform lain kayak wattpad ata apa itu karena aku juga posting cerita ini disana gengs. nama akunnya sama--sweatertowns juga. jadi, ini bukan plagiat ya ehe. kalo kalian nemu cerita ini di luar tinlit sama wattpad berarti dianya yang plagiat (?)