Loading...
Logo TinLit
Read Story - When You Reach Me
MENU
About Us  

[ GIANA ]


KAKIKU KESEMUTAN.

Oke, mungkin kesannya aku agak hiperbolis, tapi aku merasa seakan-akan aku sudah duduk di sini selama dua jam. Nggak tahu deh kalau Malia, anak kelas sebelas yang juga sedang diceramahi Pak Danang, kayak gimana. Cewek tinggi berwajah jutek itu sedang diceramahi habis-habisan oleh Pak Danang, dan dia terus-menerus memandangku dengan tatapan nggak suka. Pipinya, yang habis dicakar-hasil maha karyaku, dikompres. 

"Udah berapa lama kita di sini?" bisikku pada Malia, walaupun hubunganku dan cewek itu nggak bisa dibilang bersahabat. Dan kami bahkan baru bertemu kurang dari satu jam yang lalu.

"Ck. Lebay kamu," Malia berbisik balik, walaupun bisikannya terlalu keras untuk bisa dibilang bisikan. "Baru juga, kayak, lima menit."

"Malia, Giana, bisa fokus ke perkataan Bapak tidak?" perintah kepala sekolahku itu dengan nada yang monoton namun autoritatif, mirip nada bicara guru IPA-ku waktu SMP dulu. Yang, notabene, jadi guru yang paling kubenci sepanjang kelas sembilan. 

Aku dan Malia langsung memfokuskan pandangan kami pada Pak Danang, walau kami berdua tahu betul kalau kami benci Pak Danang setengah mati. Well, se-enggaknya Malia benci Pak Danang setengah mati. Walaupun aku langsung memutuskan kalau aku nggak menyukai Pak Danang, aku-yang secara teknis baru satu hari menjadi murid di sekolah ini, kalau masa-masa MPLS yang bikin ngantuk itu nggak dihitung-nggak punya posisi untuk benar-benar membenci Pak Danang. 

Pak Danang menggeleng-gelengkan kepalanya. Tipikal orang tua yang nggak habis pikir sama perilaku "anak muda zaman sekarang"-whatever that means. "Bapak kecewa, lho, sama kamu. Seharusnya sebagai kakak kelas-apalagi kamu anggota OSIS-kamu bisa menjadi pembimbing yang baik buat adik-adik kamu." Mendengar Pak Danang secara nggak langsung menyebutku sebagai "adik"-nya, Malia meringis. "Dan Bapak kira, senioritas yang sudah lama berlangsung di sekolah ini udah nggak berlaku lagi. Bapak salah besar, ya, ternyata."

Nggak terima dengan perkataan Pak Danang barusan, Malia tahu-tahu bangkit berdiri sambil memukul meja. "Tapi dia-nya yang junioritas duluan, Pak!" Malia menunjukku. "Masa dia seenaknya aja gitu, kayak nggak ada hormat sama kakak kelas?"

Kenapa dan bagaimana aku dan Malia bisa berakhir di ruangan ini adalah sebuah cerita yang agak panjang. Sekolah baruku ternyata merupakan salah satu dari sekolah-sekolah yang menerapkan peraturan nggak tertulis kalau lorong tertentu hanya milik angkatan tertentu, dan apesnya aku secara nggak sengaja melalui lorong kelas sebelas saat sedang berusaha mencari lab komputer. Entah akunya yang belum terbiasa atau SMA baruku ini memang terlalu besar dan membingungkan. Waktu itu sedang jam istirahat, dan Malia beserta beberapa teman-teman sekelasnya sedang nongkrong di luar sambil membicarakan entah apa. Aku, yang sama sekali nggak tahu-menahu tentang peraturan lorong-tertentu-hanya-milik-angkatan-tertentu di sekolah ini, hanya berjalan melewati mereka santai, tanpa tahu bahaya apa yang sedang kupancing. 

Saat itulah, Malia menangkapku sedang berjalan melewati lorong yang ternyata merupakan lorong kekuasaan anak kelas sebelas tersebut. Malia beranjak dari tempat nongkrongnya, dan saat tahu-tahu dia sudah berada di depanku, cewek dengan tatapan mata tajam itu bertanya, "Eh, kamu kelas berapa emang?"

Aku, yang nggak mengerti kenapa aku tahu-tahu ditanya soal kelas, hanya menjawab singkat, "Emang kenapa harus nanyain kelas segala?"

"Karena ini daerahnya kelas sebelas." Alis kanan Malia, yang kayaknya dibentuk, terangkat. Oke, walaupun aku benci harus terdengar seperti sinetron-sinetron klise Indonesia tentang anak sekolahan, Malia benar-benar memiliki penampilan layaknya tokoh cewek antagonis-luar biasa cantik dan terawat, dengan wajah yang dipoles make up tipis dan aroma parfum Victoria's Secret yang menguar dari seragamnya. Cewek mana pun akan merasa rendah diri tiap kali berada di dekat Malia. 

Malia menunjuk badge nama yang ada di lengan seragamku dan melanjutkan, "Dan kamu, yang menurut badge ini anak kelas sepuluh, sama sekali nggak punya hak buat lewat sini."

Dahiku mengernyit. "Lah, hak aku dong, buat lewat sini," balasku dengan nada yang nggak kalah ketusnya. "Emangnya ini sekolah punya kamu atau angkatan kamu?"

Saat aku ingin lewat, Malia masih menghalangiku. "Heh. Kamu jadi adek kelas kok nggak hormat, sih?"

Ternyata, anak-anak kelas sebelas yang ada di sekitar situ melihat perselisihan antara aku dan Malia sebagai tontonan yang menghibur, dan mereka tahu-tahu bersorak, "LABRAK! LABRAK! LABRAK!"

Aku, yang merasa semakin panas, sudah nggak tahan lagi. Nggak lama kemudian, bogemku tahu-tahu melayang ke dagu Malia, cukup keras sehingga cewek itu tahu-tahu meludahkan darah. Kemudian aku mencakar pipinya yang dipoles bedak. Kesabaranku sudah di luar kendali. Saat itu, aku benar-benar nggak tahu apa yang kupikirkan. Malia hendak menyerang balik saat Pak Danang tahu-tahu melewati koridor yang katanya daerah kekuasaan kelas sebelas itu.

Anyway, you know the rest of the story.

"Pokoknya, kalian berdua mulai besok akan Bapak hukum membersihkan taman sekolah-berdua-selama sebulan ini," vonis Pak Danang, yang langsung membuyarkan lamunanku. "Bapak juga akan memanggil orang tua kalian. Dan khusus kamu, Malia," kali ini Pak Danang menunjuk Malia, "kamu sudah Bapak blacklist dari pendaftaran calon ketua OSIS."

Malia, yang rupanya sempat mencalonkan dirinya menjadi ketua OSIS itu, nampak shock. Aku ingin sekali mengatakan, Mampus lo, Mal, kepadanya, namun aku benar-benar nggak ingin dilabrak Malia lagi. Di depan Pak Danang.

?

"Mama disuruh menghadap Kepala Sekolah besok," sapaku begitu aku pulang sekolah. Aku menyerahkan surat cinta yang diberikan Pak Danang tadi pada Mama, yang saat itu sedang sibuk mengurusi tanaman-tanaman hidroponik milik beliau. Sebagai alumni IPB yang malah berakhir sebagai rentenir bank sebelum akhirnya keluar dari pekerjaannya, passion Mama yang sebenarnya terletak di bidang pertanian. Yang menjadi alasan utama kenapa Mama keluar dari bank tempat beliau bekerja untuk menjadi herbalis freelance.

Rumah kami, alhasil, dipenuhi berbagai macam tanaman obat. 

Mama mengambil kacamata bacanya dan melihat isi surat itu sekilas sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya ampun, Giana, di hari pertama," komentar beliau, yang nampaknya sama sekali nggak kaget. 

Aku, yang kini duduk di kursi teras dimana Mama biasa menikmati teh di sore hari, menaikkan setengah alisku. "Wait. Mama nggak marah?" 

"Mama udah terlalu sering dipanggil gara-gara masalah kamu di sekolah, Nak," jawab Mama datar. Aku nggak tahu apakah itu lebih parah dari amarah yang biasanya beliau lontarkan atau nggak. Mama kemudian melepas sarung tangan dan kacamata baca beliau, meletakkannya di atas meja patio, dan menghela napas panjang. "Mama teh udah capek, tau nggak. Udah, daripada kamu gangguin Mama terus, mendingan kamu mandi sana. Habis itu pake dress hitam yang waktu itu Mama beliin buat kamu pas kita ke Hong Kong. Kita sore ini mau nonton resital kakakmu."

"Heeeurgh." Yang barusan menggeram itu aku, yang paling nggak suka kalau harus menghadiri salah satu dari resital-resital nggak jelas kakakku. Atau yang mungkin lebih kalian kenal sebagai Genta Tampubolon-piano prodigy, yang telah ikut tur bersama komposer-komposer ternama dunia sejak usianya sepuluh tahun dan sudah banyak merilis album-album instrumental yang banyak diakui kritikus musik internasional. Yang nggak lama ini baru saja memperoleh beasiswa masuk Juilliard[2] di usianya yang baru menginjak enam belas tahun. 

Saat kakakmu sehebat itu, sulit bagimu untuk nggak merasa kecil dan nggak berguna jika dibandingkan dengan dia. 

"Lah, bukannya dia masih tur di Eropa?" Salah satu hal tentang memiliki kakak yang merupakan seorang pianis terkenal adalah bahwa kamu nggak terlalu sering bertemu dengannya. Sepanjang libur kenaikan kelas kemarin, Genta sibuk tur keliling Eropa dengan sebuah rombongan orkestra musik klasik asal Austria yang dari namanya saja susah untuk disebutkan. 

"Udah pulang dari kemarin, Gi," jawab Mama singkat sambil merapikan alat berkebunnya. "Dia baru pulang udah diundang main di Sabuga aja. Nggak capek apa tuh jari?" Walaupun Mama menggeleng-gelengkan kepalanya heran, aku tahu kalau sebenarnya beliau merasa bangga terhadap Genta. 

Sesuatu yang nggak pernah beliau rasakan terhadapku.

?

Resital Genta malam itu, seperti biasa, merupakan dua jam neraka yang mau nggak mau harus kulalui karena Mama dan Papa nggak akan pernah memperbolehkanku melewatkan satu pun pertunjukannya. Kamu harus jadi adik yang suportif, dong, kata Papa waktu aku berbohong pada beliau kalau aku punya banyak PR yang harus dikerjakan walaupun ini baru hari pertama sekolah. 

Masalahnya, sangat susah untuk menjadi adik yang suportif saat satu-satunya hal yang terlintas di pikiranmu saat menonton kakakmu tampil adalah bagaimana kamu nggak akan pernah bisa melakukan apa yang bisa dia lakukan. Genta dan aku dulu sengaja dimasukkan kursus piano oleh Papa agar kami dapat "belajar mencintai musik sejak dini"-Papa merupakan seorang dosen jurusan teknik informatika ITB yang entah kenapa memiliki jiwa seni yang kelewat tinggi dan nggak nyambung dengan profesi beliau, dan sementara Genta lambat laun menjadi sosok seperti yang kita kenal sekarang, aku nggak pernah benar-benar berkembang. Dan karena kami hampir selalu duduk di tempat VIP bersama dengan orang-orang yang kayaknya termasuk penting di bidang musik, aku kerap kali diingatkan akan fakta yang nggak mengenakkan itu. 

Begitu orang-orang itu mengenalku sebagai adik dari Genta Tampubolon yang tampil dengan sungguh memukau di hadapan ribuan penonton itu, mereka hampir selalu bertanya, "Ini adeknya bisa main piano juga, nggak?"

Dan aku hampir selalu menjawab, "Nggak sejago Bang Genta," lengkap dengan tawa kecil dan senyuman malu-malu. Yang semoga saja mampu menutupi dua kebohongan besar yang baru saja kukatakan, yakni 1.) boro-boro nggak sejago Bang Genta, untuk mencapai sepersepuluh skill-nya saja aku nggak mampu, dan 2.) aku nggak pernah memanggil Genta abang di rumah.

Pada akhirnya, aku hanya bisa duduk di sana, di antara Mama, Papa, dan orang-orang penting tadi, berusaha untuk menikmati musik gubahan kakakku tanpa merasa inferior. Dan juga membayangkan rasa steak medium-rare yang akan kunikmati nanti, karena seusai pertunjukan Genta orangtua kami hampir selalu mentraktir kami makan steak. 

Seusai resital, Papa dan Mama datang menghampiri Genta di belakang panggung untuk memberinya buket bunga seperti biasa. Aku mau nggak mau ikut dengan mereka, walaupun itu berarti aku harus lagi-lagi melihat Genta dipuja-puja habis-habiskan sementara aku dilupakan seolah-olah aku nggak ada. Di belakang panggung, Genta sudah menunggu kami, dengan seorang cewek yang nggak asing dalam rangkulannya. 

Begitu melihat cewek itu, dahiku mengernyit. Aku memberinya tatapan nggak suka, yang dia balas. 

Papa dan Mama memberikan buket bunga-kali ini, mereka membelikan Genta tulip putih-tadi pada Genta, sementara aku dan cewek itu masih saling menatap satu sama lain sinis. Cewek itulah yang pertama kali memecahkan keheningan di antara kami. Setelah melepaskan dirinya dari rangkulan Genta, dia berjalan menghampiriku dan bertanya, "Lo ngapain disini?"

"Gue yang harusnya nanyain itu ke lo."

Percakapan kami barusan mungkin bakal berkembang menjadi tubir kalau saja Genta nggak datang menghampiri cewek itu, merangkulnya kembali, dan tersenyum lebar sambil berkata ke Mama dan Papa, "Ma, Pa, kenalin, ini Malia. Pacarku. Malam ini, dia mau ikut makan steak bareng kita."

[2] The Juilliard School adalah sebuah sekolah seni pertunjukan di New York yang kerap didaulatkan sebagai salah satu sekolah seni pertunjukan terbaik di dunia. 

 

a/n; i'll try to update everyday guys--meskipun jadwal kuliah gue sebenernya sangat sibuk huhu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Hidden Kindness
381      264     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
102
2203      891     3     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
THE LIGHT OF TEARS
19185      4108     61     
Romance
Jika mencintai Sari adalah sebuah Racun, Sari adalah racun termanis yang pernah Adam rasakan. Racun yang tak butuh penawar. Jika merindukan Sari adalah sebuah kesalahan, Sari adalah kesalahan terindah yang pernah Adam lakukan. Kesalahan yang tak perlu pembenaran. Jika menyayangi Sari adalah sebuah kegelapan, Sari adalah kegelapan yang hakiki yang pernah Adam nikmati. Kegelapan yang tak butuh pene...
(L)OVERTONE
2224      774     1     
Romance
Sang Dewa Gitar--Arga--tidak mau lagi memainkan ritme indah serta alunan melodi gitarnya yang terkenal membuat setiap pendengarnya melayang-layang. Ia menganggap alunan melodinya sebagai nada kutukan yang telah menyebabkan orang yang dicintainya meregang nyawa. Sampai suatu ketika, Melani hadir untuk mengembalikan feel pada permainan gitar Arga. Dapatkah Melani meluluhkan hati Arga sampai lela...
Wait! This's Fifty-Fifty, but...
115      103     0     
Romance
Is he coming? Of course, I'm a good girl and a perfect woman. No, all possibilities have the same opportunity.
MERAH MUDA
496      356     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Mermaid My Love
1048      599     3     
Fantasy
Marrinette dan Alya, dua duyung yang melarikan diri dari Kerajaan laut Antlantis yang sudah diluluhlantakkan oleh siluman piranha. Mereka terus berenang hingga terdampar disebuah pantai. Kemudian mereka menyamar dan menjalani kehidupan seperti manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Marrinette bekerja di sebuah kafe sedangkan Alya direstorant. Ditempat Marrinette bekerja malah bertemu dengan ...
Past Infinity
218      184     0     
Romance
Ara membutuhkan uang, lebih tepatnya tiket ke Irak untuk menemui ibunya yang menjadi relawan di sana, maka ketika Om Muh berkata akan memenuhi semua logistik Ara untuk pergi ke Irak dengan syarat harus menjaga putra semata wayangnya Ara langsung menyetujui hal tersebut. Tanpa Ara ketahui putra om Muh, Dewa Syailendra, adalah lelaki dingin, pemarah, dan sinis yang sangat membenci keberadaan Ara. ...
She's (Not) Afraid
1836      813     3     
Romance
Ada banyak alasan kecil mengapa hal-hal besar terjadi. Tidak semua dapat dijelaskan. Hidup mengajari Kyla untuk tidak mengharapkan apa pun dari siapa pun. Lalu, kehadiran Val membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Kyla dan Val dipertemukan ketika luka terjarak oleh waktu. Namun, kehadiran Sega mengembalikan semua masalah yang tak terselesaikan ke tempat semula. Dan ketika kebohongan ikut b...
Secret Room
455      336     4     
Short Story
Siapa yang gak risik kalau kamu selalu diikutin sama orang asing? Pasti risihkan. Bagaimana kalau kamu menemukan sebuah ruang rahasia dan didalam ruang itu ada buku yang berisi tentang orang asing itu?