LXI
Las Badass,
Sebuah distrik paling populer yang berada di kerajaan Tamora.
Gemerlap, sekaligus mempesona.
Pada malam hari orang – orang disuguhi minuman keras dan berahi. Sedangkan siang harinya mereka akan dimanjakan oleh keindahan alam.
Jika orang – orang itu bosan dan ingin mendapatkan koin emas secara instan, juga dalam jumlah banyak mereka bisa mengunjungi kasino – kasino yang tersedia.
Tapi jika hendak menjelajahi Las Badass mereka harus bergelar bangsawan karena koin emas untuk masuk ke tempat itu adalah 20 keping emas.
Otomatis rakyat jelata tidak bisa masuk.
Setelah mereka melewati pintu penjagaan distrik,
“Astagaa, Mahal banget ya tuan masuknya,”
“Iya, saya juga nggak ngira masuk saja bayar segitu banyaknya.”
“Kalo Banadis dikenai tarif sebanyak itu bisa apa tidak ya, Tuan Rakat?”
“Haha,, kayaknya kalo sekarang belum bisa, Banadis nggak semenarik ini,” Sambil sepasang mata Tuan Rakat berkeliling tempat itu.
“Ohh,, Habis berapa banyak ya kalo Banadis dijadikan kayak gini?”
“Kalo cuma dekorasi kayak gini kita bisa bikin, tapi sarananya yang utama kayak itu kita belum tentu bisa beli.” Sambil beliau menunjuk salah kasino di ujung jalan.
“?? Kalo cuma tempat untuk berjudi, di Banadis kan ada banyak, tuan.”
“Itu beda, Jedeng,, Ini tu omzetnya ratusan koin emas. Kalo sabung ayam, sama judi panahan paling cuma puluhan karung saja.”
“Eh, tuan,, kita kan punya judi dadu, Kenapa kita tidak mempopulerkan itu saja?”
“Maka dari itu kita datang ke tempat ini.”, ucap Tuan Rakat.
“?? Jadi tuan sebenarnya sudah tau kalo di dekat – dekat Jegrek ada tempat seperti ini?”
“Haha,,” Tuan Rakat melangkah menuju salah satu tempat penginapan.
LXII
Enyak Enyak Asoi Club,
Sepasang mata Jedeng membelalak.
Kesadarannya seolah – olah ada di dunia lain.
Laki – laki itu tidak menyangka, apa yang dilihatnya sungguh menggiurkan.
Batinnya bergumam, “Astaga, Aku ada dimana ini? Seksi – seksi semua cewek – ceweknya.”
“Ati – ati kalo ngiler lo, Deng.”, ejek Tuan Rakat.
“??, Tuan, tuan,, itu beneran cewek – cewek asli kan?”
“? Maksud kamu?”
“Itu nggak banci – banci didandani kan?”
“Huuhh,, Ya iyalah,, itu cewek – cewek asli.”
“Ya ampun, tuan,, tiba – tiba kepala saya kok berkunang – kunang.”, keluh Jedeng.
“Halah, Deng,, kamu itu lihat cewek seksi aja mabuk.”
“Bukan begitu, tuan. Tapi cewek – cewek itu tu amazing banget, beda sama di Banadis.”
“Ntar kalo Happy Happy Hour tak bikin kayak gitu, kamu nggak fokus kerja lagi,”
“Ya ampun, tuan,, Sumpah, saya akan tetep fokus kerja.”
“Haha,, sumpah kamu itu bakalan nggak sesuai kenyataannya.”
“Halahh,, tuann,,”, sahut Jedeng.
“Perhatikan baik – baik Deng yang ada di sekitar sini.”
“Oh ya,, Siap, tuan,” Sesegera mungkin sepasang mata laki – laki konyol itu menyapu seluruh bagian ruangan belly dance club.
LXIII
Esok harinya,
Tuan Rakat dan Jedeng jalan – jalan di sebuah perbukitan.
Sungguh mempesona perbukitan itu dengan jajaran tanah yang meliuk – liuk.
Walaupun melelahkan,
Tapi perjalanan itu sepadan dengan yang dirasakan.
Udara nan segar.
Hembusan – hembusan angin nan menyejukkan.
Juga suara – suara serangga hutan.
Itu semua membuat kesadaran ini seolah – olah kembali pada Yang Maha Agung.
Keserakahan dan berahi yang menggelora mendadak sirna,
Berganti dengan ketakjuban dan pernyataan keyakinan jika manusia hanyalah salah satu makhluk yang eksis di muka bumi ini.
Duduk pada bebatuan, sambil merasakan angin yang menderu – deru,
Mendekat dengan membawa serta aura hangat.
Seolah – olah aura nan hangat itu merasuk ke dalam kalbu.
Dan perlahan – lahan meregangkan kegamangan.
Sungguh batin meloncat – loncat kegirangan,
Menemukan teman kedamaian itu.
Melihat anak buahnya terlelap. “Hmmm,, malah tidur,,”
“Bangun, bangun,”
Terkesiap. “Ya, tuan,, ada apa?”
“Kamu itu kok malah tidur?”
Sambil Jedeng memenuhkan kesadarannya,
“Habis suasananya enak dibuat tidur kok, tuan.”
Bertanya, “Udah sampai mana kamu tadi mimpinya?”
“Belum kemana – mana, tuan? Masih di sini, Saya nggak mau balik ke Banadis.”
“Oh, benerr,? Kamu nggak mau balik ke Banadis?”
“Eh, mau – mau, tuan. Bercanda saja kok,”
“Kalo nggak mau balik nggak pa – pa, Ntar saya bilangkan ke bos nya distrik sini biar kamu dipekerjakan jadi pelayan.”
“Jangan,, Jangan, tuan,, Udah enak – enak jadi bos kok turun pangkat jadi pelayan?”
“Haha,, Lha katanya tadi nggak mau balik ke Banadis?”
“Mau, tuan,, Mau,, Bercanda saja tadi,”
“Ohh, saya kira mau beneran.”
“Ampun, tuan,,”
Setelah mereka puas berteduh di bawah pohon, Tuan Rakat dan Jedeng melanjutkan perjalanan.
Sungguh, berjalan di hamparan batu – batu kali yang bercingkrak – cingkrak itu membuat pendengaran selalu mawas diri.
Karena itulah Hembusan Yang Berbisik cocok sebagai tempat bermeditasi bagi orang – orang yang sedang melakukan perjalanan spiritual.
LXIV
Pondok Great Wave,
Seperti namanya, gelombang nan besar.
Gubuk – gubuk kecil yang berjajar di tepian tebing itu mempertunjukkan kuasa alam.
Cakrawala nan terbentang luas,
Dengan hembusan – hembusan angin yang bergulung – gulung.
Selalu datang dan pergi, layaknya ombak lautan.
Sungguh senja itu sang surya terlihat syahdu,
Warna kejingga – jinggaannya seolah – olah memberikan suatu keintiman batin.
Orang – orang yang duduk memandang keindahan alam itu seolah – olah sedang sangat dekat dengan Yang Maha Kuasa.
Menjadi luruh semua kebatilan batin,
Termasuk keinginan untuk mengumbar berahi.
Orang – orang itu menjadi ingin dekat dengan tuhan.
Sungguh tak ada lagi keinginan yang lebih besar dari gemerlap dunia kecuali bisa selalu dekat dengan Dzat nan Agung.
Tuan Rakat tampak gamang.
“Kayaknya aku salah datang ke tempat ini.”
“Aku jadi ngerasa kalo aku ini busuk banget.”, gumam beliau.
Tiba – tiba Tuan Rakat teringat dengan seseorang.
“Kabarnya penghiburku satu itu gimana ya,?”
“Aku kok jadi kangen pingin deket sama Yoslin.”
Menghela nafas. Tuan Rakat kembali rebahan.
LXV
Ketika keinginan itu tidak ada lagi,
Sambil Jedeng mengemasi barang – barang Tuan Rakat,
“Kita mau kemana lagi, Tuan Rakat?”
“Kita balik ke Banadis.”, sahut beliau.
Sambil raja Banadis itu mengenakan jubahnya.
“Hah?? Balik ke Banadis?”
“Iya, Balik ke Banadis.”
“Bukannya tempo hari tuan bilang kita mengeksplornya satu bulanan begitu?”
“Iya, tapi kayaknya saya kok pingin kembali ke Banadis saja.”
“?? Baiklah, Saya akan beritahu pasukan tuan.”
Setelah berpayah – payah mendaki perbukitan,
Tuan Rakat dan Jedeng tiba di Banadis.
Kedatangan raja Banadis itu langsung disambut Tayar di halaman markas.
“Selamat datang, Tuan Rakat,, Selamat datang,,”
“Iya, Tayar,, Iya,, Terima kasih,,”
“Maaf, Tuan Rakat,, Kok sudah kembali? Kata tuan perginya masih lama?”
“Iya, Tayar,, setelah sampai di kerajaan Tamora, saya kok hawanya pingin pulang.”
“Apakah ada yang membuat tuan kurang berkenan, tuan?”
“Oh, enggak,, Enggak kok, Semua baik – baik saja, Semua aman terkendali.”
“Oh iya, tuan,,”, sahut Tayar, mendampingi raja Banadis itu menuju dalam markas.
“Apa semua baik – baik saja, Tayar?”
“Iya, tuan,, semua baik – baik saja, Masih sama seperti saat tuan mulai melakukan perjalanan.”
“Haha,, mungkin karena saya pulang terlalu awal.”
“Iya, mungkin juga, tuan.”
“O iya, Kemarin saya sempat menulis beberapa hasil eksplorasi, nanti silakan ditanyakan lebih lanjut ke Jedeng.”
“?? Oh ya,, Iya, tuan.”, sahut Tayar.
“Sekarang saya mau istirahat dulu. Tolong nanti kamu urus dulu kalo ada pesanan – pesanan atau apapun itu.”
“Oh ya,, Siap, tuan.”
Tuan Rakat melangkah menuju ruangan besar di sebelah kanan markas.