XLIII
Tuwang tampak termenung di depan gubuk.
Beliau duduk, sambil pikirannya terbang ke fenomena alam semalam.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Apa yang sudah dilakukan Tuan Rakat?”
“Apakah Tuan Rakat meminta para penyihir itu untuk turun gunung?”
Tuwang menyadari bahwa akan banyak jiwa ditumbalkan karena ritual sihir itu.
Beliau menjadi ngeri sendiri mengingat kekejian itu sewaktu beliau kanak – kanak.
Tiba – tiba langit menggelegar hebat.
“Astaga,! Ya tuhan, aku mohon perlindungan Mu,”
Kontan Dona keluar dari dalam gubuk.
Menghampiri seseorang. “Apa yang terjadi, pak Tuwang?”
“Lihatlah ke langit yang berwarna merah itu,”, pinta laki – laki itu, berkaca – kaca.
Seketika Dona menjadi gemetaran.
Kesadaran dirinya tidak mampu menahan kesedihan itu.
Jerit pilu jiwa – jiwa yang ditumbalkan karena ritual itu sungguh menyayat hati.
Dona menjadi berkaca – kaca.
“Apa sebenarnya itu, pak Tuwang?”
“Itu kutukan yang dimiliki kerajaan Banadis.”
Dona masih belum mengerti maksud laki – laki tua itu.
Tuwang pun menceritakan rahasia kerajaan Banadis di masa lalu.
XLIV
Ketika Nusantara mengalami pergolakan,
“Bunuh saja, Fokat! Bunuh saja, makhluk terkutuk itu,!”, desak Yongwang.
Entah apa yang menghalangi laki – laki itu melesakkan pedangnya ke jantung Darkbitter, padahal makhluk kegelapan itu sudah tergolek tak berdaya.
“Bunuh saja, Fokat!, Bunuh saja,!”
Seolah – olah sepasang mata Darkbitter memohon pengampunan pada Fokat.
“Huuhhh,,!!” Pedang itu diangkat Tuan Fokat, hendak dimaksimalkan lesakkannya.
Lalu, “Creekk,,!” Ujung benda mematikan itu hanya ditancapkan di samping kepala Darkbitter.
Tuan Fokat tersengal – sengal.
Adrenalinnya diluapkan pada tanah yang berlapis – lapis.
“Cepat, enyah kamu,! Enyah kamu dari hadapanku,!”, seru Tuan Fokat, tampak marah.
Dengan segera Darkbitter beranjak dari permukaan tanah.
“Hahaha,, Hahaha,, Aku abadii,, Aku tak terkalahkan,, Hahaha,,”
Tampak wajah sombong nan menyeramkan. “Fokaatt,, Hahaha,, Datanglah padaku, saat kau membutuhkan bantuanku, Hahaha,, Hahaha,,”
Tiba – tiba makhluk kegelapan itu menghilang.
“Fokat, kenapa tidak kau bunuh saja makhluk terkutuk itu?”
“Biarkan saja,, Ayo, cepat kita kembali ke kerajaan.”
Yongwang mengikuti langkah teman karibnya.
XLV
Berbulan – bulan Nusantara terjebak dalam perang tak berkesudahan.
Tak terhitung lagi nyawa yang lepas.
Tak terdata lagi properti yang hancur.
Isak tangis ada di sekeliling.
Kelaparan ada di depan mata.
Menghampiri seseorang di ruang kerja. “Tuan Fokat, pasukan Boralisa mendekat dengan cepat dari arah timur.”
“??, Bagaimana pasukan kita yang ada di Gebyah?”
“Mereka masih terjebak oleh pasukan Polepolis, tuanku.”
Tuan Fokat tampak gusar. “Bagaimana ini? Kita sudah kehabisan pasukan cadangan.”
“Tuan,, sebaiknya tuan mulai mengungsi saja. Mungkin kerajaan ini tidak akan bertahan lama.”
“Tidak, Yong,, Kita akan bertempur hingga mati menjemput.”
“Tapi, tuan,, Siapa yang akan melanjutkan kerajaan ini nantinya?”
“Berpikir akan hidup saja aku tidak mampu, apalagi memikirkan tahtaku.”
“Tuan,,”
“Mari kita temui mereka,!”
“Siap,!!”, sahut Yongwang, menjadi berapi – api.
XLVI
Beberapa jam kemudian,
Pasukan Boralisa mulai menapak di dalam benteng.
Satu per satu pasukan itu mulai menghabisi defender Banadis.
Kehancuran kerajaan Banadis sudah sangat jelas terlihat di depan mata.
“Tuan Fokat, benteng kita mulai dimasuki pasukan Boralisa.”
“Sial,! Kita akan hancur kali ini.”
“Tuan, sebaiknya tuan mulai mengungsi,, Cepat, tuan,!”
Laki – laki itu teringat oleh Darkbitter.
“Yong, bantu pertahankan benteng ini, Aku akan menemui seseorang.”
“Tidak, tuan! Jangan berpikir tuan akan menemui makhluk terkutuk itu.”
“Iya, Yong,, Aku akan menemui Darkbitter.”
“Tuan,, mati kita lebih terhormat daripada menjadi hambanya.”
“Mengertilah, Yong,, Jika kita memenangkan perang ini, perdamaian akan menjadi langkah kita selanjutnya.”
“Tapi, tuan,,”
“Percayalah,, Ini yang terakhir kalinya,”
“Baiklah, tuanku,,”
“Aku permisi dulu, Yong.”, ucap Tuan Fokat, berlalu.
“Iya, tuanku,,”
XLVII
Perbukitan Berau,
Tandus, dan menakutkan.
Hawa kematian mengabuti tempat itu.
Suatu tempat yang mampu mengubah mental.
Tuan Fokat masuk lebih dalam ke tengah – tengah bukit itu.
“Darkbitter,, Darkbitter,,”
Sontak hawa kematian membuncah di sekeliling Tuan Fokat.
Laki – laki itu menjadi waspada.
“Hahaha,, Hahaha,, Fokaatt,,”
“Kemarilahh,, Kemarilah, Fokat,,”
“Aku sudah lama menantimu, Fokatt,”
Sambil tetap waspada laki – laki itu mendekati sebuah tahta batu.
“Haha,, Fokaatt,, Aku tahu maksud tujuanmu kemari.”
“Mintalahh, Mintalah, Fokat,, Mintalahh,,”
Tuan Fokat berlutut di hadapan sebuah tahta batu.
“Aku mohon bantulah aku memerangi musuh – musuhku,”
“Hahaha,, Terkabul,, Terkabul,, Hahaha,, Hahaha,,”
“Kembalilah sekarang dan nikmati kemenangan besarmu. Hahaha,,”
“Terima kasih, Darkbitter,, Terima kasih,,”
“Hahaha,, Hahaha,, Berjayalahh,, Berjayalah,,”
Seketika langit berubah warna menjadi merah darah.
Kilat menyambar – nyambar layaknya cambukan kematian.
Angin pun berhembus seolah – olah membawa serta panasnya neraka.
XLVIII
Sepasang mata laki – laki tua itu masih menerawang.
Berucap, “Sejak saat itulah kerajaan Banadis sangat ditakuti oleh kerajaan – kerajaan yang lain.”
“Bahkan saking takutnya mereka yang pernah berperang dengan Banadis mengelompok dan membuat sebuah persekutuan.”
“Jadi cerita mengenai pasukan elit itu benar ada, pak Tuwang?”
“Iya, itu memang benar – benar ada. Tapi raja Banadis sebelumnya sepakat tidak akan menggunakan kekuatan itu lagi.”
“Karena menghilangkan trauma kerajaan – kerajaan lain mengenai misteri kekuatan Banadis butuh waktu bertahun – tahun untuk melupakannya.”
“Tapi kenapa kekuatan mengerikan itu muncul lagi, pak Tuwang?”
“Mungkin Tuan Rakat telah mengetahuinya dan menggunakan kekuatan itu.”
“Apa tidak ada cara untuk menghentikannya, pak?”
“Tidak ada, selama perjanjian masih dijalankan., Tapi ada mantra penangkal untuk meluruhkan sihir anak panah itu.”
“Apa pak Tuwang masih mengingatnya?”
Tiba – tiba, “Hah?? Tuan Ibeng,?”
Membantu laki – laki tua itu berdiri. “Siapa, pak?”
“Itu,, raja Darmasih, Tuan Ibeng,”
“Untuk apa raja Darmasih berkunjung ke sini?”, tanya Dona.
“Pasti untuk sesuatu yang sangat penting.”
Tuwang menghampiri orang nomor satu di persekutuan kuno itu.
XLIX
Tuwang menghela nafas.
Beliau merasa sedih kejadian itu terjadi lagi.
“Saya atas nama Banadis minta maaf Tuan Ibeng atas terjadinya kengerian itu.” Sepasang mata beliau berkaca – kaca.
“Ohh, tidakk,, Tidak, pak Tuwang,, Bapak tidak bertanggung jawab atas apapun. Kejadian ini murni karena sikap Tuan Rakat yang mungkin emosi dengan tindakan yang kami lakukan sebelumnya.”
Tuwang beranjak dari duduknya.
Melangkah menuju sudut kiri ruangan.
“Syukurlahh, buku ini ikut aku bawa.” Lalu Tuwang kembali duduk.
Dengan gamblang dirinya memberitahukan segala hal mengenai sihir itu.
“Puji syukur, pak Tuwang,, Saya sangat berterima kasih sekali.”
“Iya, Tuan Ibeng,, ini juga merupakan tanggung jawab moral saya, atas kekurangajaran anak teman karib saya itu.”
“Kalo begitu saya langsung permisi saja, pak Tuwang.”
“Oh, Ya, ya,, Semoga berhasil Tuan Ibeng atas usahanya ini.”
“Iya, pak Tuwang,, mari sama – sama mendoakan saja.”, sahut raja Darmasih.