Memang benar, realita tak seindah ekspektasi dan hidup tidak semanis drama Korea, pikir seorang gadis berambut kucir satu yang melangkah santai menuju kelasnya. Pikirannya menggerutu, tetapi wajahnya tampak datar seolah tak memiliki ekspresi.
Kenapa gue ngikutin saran Fadia dan nontonin sinetron Korea, sih. Pake baper segala lagi guenya.
Nama gadis itu Amira Zeanifa. Panggilannya Mira. Ia menggeleng keras berusaha menyingkirkan gambaran-gambaran romantis yang semalam ditontonnya. Bodo amat dengan adegan manis dan romantis mereka, Amira hanya khilaf karena terpancing saran Fadia, sahabatnya yang gila Korea.
Pintu kelas bercat biru muda dengan label XI MIPA 5 di atasnya menyambut gadis itu. Membuang segala gerutuan yang tadi memenuhi otak, tangannya pun meraih gagang pintu dan mendorongnya. Ia melangkah masuk dan menghela napas panjang, lagi-lagi ia first come.
Seperti biasanya pula, ia membuka satu persatu jendela agar udara pagi bebas masuk ke kelasnya. Berhubung hari Senin adalah jadwalnya piket, maka ia melanjutkan dengan membersihkan setiap meja. Setelah selesai, gadis itupun duduk di kursi guru dan mengisi jurnal kelas.
Fyi, Amira adalah Sekretaris. Satu-satunya Sekretaris di kelas ini.
“Enak banget kelas sepi gini.” Tubuhnya menyender pada kursi yang di dudukinya dan matanya terpejam.
B R A K !
“Amira! Gue udah datang, catet ya!” teriak cewek bertubuh gempal yang muncul dari balik pintu. Di belakangnya menyusul rombongan MIPA 5 dengan ocehan-ocehan pagi mereka.
Kelas ini mulai gaduh. Ketenangan yang tercipta sesingkat lirikan doi tadi telah menguap bagaikan air yang didihkan. Amira tersenyum singkat, saatnya bekerja.
“Bu Sek! Gue, Kayla, Nafa!” ucap Andra menyebut nama siswa yang datang bersama dirinya.
Amira mengulum bibir lalu memberi tanda titik di kolom nama ketiga temannya itu.
“Bu Sek, titiknya gue yang tebel biar Bu Jelita kelihatan!” Amira mengangguk saja mendengar ucapan Niko si ketua geng murid pemalas yang baru saja duduk di bangkunya.
Ya, mereka ini memang anak IPA. Namun, mereka tidak sekaku anak IPA 1, 2, 3, maupun 4. Mereka IPA 5, kelas yang isinya murid-murid sempak, Semangat dan komPakyang bilang si Ketua kelas. Jadi, tipekal murid pemalas pun pasti ada di kelas ini, seperti Niko.
Lagi pula, siapa sih yang tidak tahu tentang kasus Niko dan Bu Jelita? Anak kelas sebelah pun bahkan tahu kalau Niko dan Bu Jelita belum pernah akur. Entah si Niko yang sengaja memancing emosi atau memang Bu Jelita yang hobi berdebat dengan anak itu. Intinya, jika Bu Jelita yang perfeksionis digabungkan dengan Niko yang awkward, mungkin akan terjadi ledakan bom kedua di Hiroshima dan Nagasaki.
“Lo udah bawa air mineral kan?” Amira bertanya pada Niko.
Cowok itupun menunjukkan sebuah botol plastik berisi air. “Bawa, dong. Entar kalau gue ngantuk tinggal tuang dikit ke tangan, lalu usapin ke mata,” jawabnya nyengir.
“Ati-ati entar lo khilaf nyiram Bu Jelita,” timpal Andra. Niko hanya tertawa menanggapinya.
Ada alasan tersendiri mengapa Niko membawa air mineral. Selain untuk ia minum, mengusapkannya ke mata adalah salah satu cara ampuh mengatasi rasa kantukitu kalau menurut pemikiran Niko, karena cowok itu tidak tahan menguap jika kantuk menyerangnya.
Iya, Bu Jelita yang secantik namanya itu paling tidak suka jika ada murid menguap saat pelajarannya. Mungkin beliau adalah tipekal orang yang ingin murid-muridnya selalu tersenyum indah saat pelajarannya. Karena bukan cuma menguap, batuk dan bersin aja langsung mendapat komentar dari beliau.
“Bersinnya bisa dikecilin nggak suaranya?”
“Itu batuk apa teriak? Alay banget.”
Ya, rasanya hidup ini penuh dengan cobaan.
Amira menghela napas, kembali sibuk mengisi jurnal sambil sesekali mengamati pintu kelas. Hingga ia mengernyit begitu melihat siapa yang nongol selanjutnya.
Sepatu biru dongker, gelang tangan hitam, dan tas yang diselempangkan sebelah. Amira mendongak dan mendapati wajah itu dengan senyuman sok kerennya. “Buset, kudanil.”
“Pagi Amira,” sapa orang itu dengan senyuman manis.
Amira tidak merespon bahkan tidak melirik sedikitpun. Merasa diabaikan, orang itu berjalan menghampiri Amira di kursi guru dan langsung menarik ujung rambut gadis itu dengan penuh perasaan.
“Woy kudanil! Penganiayaan lo!” murka Amira sambil menggebrak meja.
“Heh anoa, nama bagus-bagus lo ubah seenak udel. Nama gue tuh Gilang. Gilang Raynaldi si cowok keren yang tidak ada tandingannya.”
“Kresek mana kresek? Ahh, Kay! Lo bawa kaca nggak? Pinjem, dong!”
Gilang sudah hampir mencekik leher Amira yang secara tidak langsung menyindir dan mengatainya tidak keren. Padahal, Gilang itu memang keren dan ganteng. Dia punya banyak fans. Nggak cuma teman seangkatan, tetapi adik kelas dan kakak kelas juga mengagumi sosok Gilang. Namun kembali lagi, Amira sudah berpikir matang-matang sebelum menyebut Gilang ganteng. Risikonya besar.
“Heh, gue udah dateng. Kasih tanda titik dong di kolom nama gue!” suruh Gilang ketika melirik jurnal kelasnya.
“Ogah, males.”
“Wah, punuk tikus ngajak ribut.”
SRUAK !
“Lang, balikin! Lo bukan sekretaris.”
Gilang semakin meninggikan jurnal itu dengan wajah tanpa dosanya. Amira sudah menahan agar dirinya tidak khilaf mengumpati cowok itu.
“Nggak sampe nggak sampe, pendek sih.”
“Bacot,” geram Amira. Ia mengipasi lehernya sendiri yang mendadak panas. Sepertinya suhu di ruang ini mulai naik karena kedatangan makhluk gila seperti Gilang.
Suara kekehan kecil membuat Amira mendongak. “Lo yang tambah menyusut atau gue yang makin tinggi sih?”
Amira mendelik, hendak menghujani Gilang dengan sumpah serapahnya.
“Seloo, nih gue balikin. Udah gue isi sendiri.” Cowok itu langsung nyelonong ke bangkunya yang berada paling belakang bersama deretan Niko dan Andra.
Melihat itu, Amira pun menelan kembali umpatan yang hendak dikeluarkannya tadi. Memasang wajah tenangnya, ia kembali duduk di kursi guru. Perlahan sudut bibirnya tertarik. Tangan kanannya merogoh isi saku dan mengambil sesuatu dari sana.
Tipe-x.
Dengan santai gadis itu memusnahkan tanda titik di kolom nama Gilang Raynaldi.
“Heh, kampret! Lo ngapain megang tipe-x?” Gilang bertanya dari bangkunya.
“Membasmi tanda titik di kolom nama lo.”
Gilang melotot sempurna kemudian berdiri dengan wajah siap tempur. “AMIRA! LET’S BATTLE WITH ME, NOW!”
Dan pertengkaran yang selalu menjadi sarapan pagi siswa 11 IPA 5 ini pun terjadi. Bukan hanya setiap pagi sih, tetapi hampir di setiap waktu mereka tidak pernah absen bertengkar.
Pernah juga suatu hari, menjelang jam istirahat ada sebuah panggilan mendadak. “PANGGILAN DITUJUKAN KEPADA SEKRETARIS KELAS 10, 11, DAN 12 HARAP SEGERA KE RUANG BK. SEKALI LAGI, PANGGILAN DITUJUKAN KEPADA SEKRETARIS KELAS 10, 11, DAN 12 HARAP SEGERA KE RUANG BK.”
Kedua manusia yang terlibat perang dunia ketiga itupun langsung rebutan untuk datang ke ruang BK.
Ini, nih. Kebanyakan murid merasa horor kalau disuruh masuk BK, tetapi Amira dan Gilang malah saling jambak-menjambak supaya bisa menginjakkan kaki di sana.
“Gue yang dipanggil.” Amira menarik rambut Gilang begitu pun Gilang yang mendorong-dorong bahu Amira.
“Gue aja yang dateng. Lo udah berkali-kali ke sana,” balas Gilang tak mau kalah.
“Enggak! Lepasin gue, kudanil!”
“Ogah! Lo yang lepasin jambakan lo dulu!”
Dan saat itu, penghuni kelas bukannya melerai malah jadi kompor. Ada yang siul-siul, memotret adegan tak etis tersebut sampai menabuh galon yang ada di samping lemari.
Ya, Gilang Raynaldi. Sosok manusia yang selalu mengusik dan memancing emosi Amira. Rival yang ingin mendapatkan jabatan sekretaris di kelas sekaligus tokoh utama dalam hidup Amira yang datang membawa sejuta ketengilannya.
“Kenapa sih lo gangguin gue mulu?”
“Kan itu hobi gue.”
Sangking kesalnya, Amira pernah menyarankan agar Gilang imigrasi saja ke Pluto dan berhenti mengganggu dirinya. Namun, gadis itu malah kena jitakan dari cowok ini.
Satu hal yang pasti, inti dari segala permasalahan, yaitu kehidupan Amira berbeda jauh dengan drama Korea yang ditontonnya semalam. Jauh!