Tangan Amira gatal ingin menampol Rama.
Bayangin aja kalau sekarang kalian ada di posisi gadis itu. Duduk di dalam mobil berdua dengan Rama dan tuh cowok terus-terusan ngebahas persiapan jalan-jalan mereka.
“Jangan nyebelin deh Ram,” ucap Amira tiba-tiba.
“Lah, gue salah?” Rama mengernyit.
“Bukan gitu. Gue tuh masih sedih banget, gue belum tenang. Kepala gue isinya Gilang semua, gue khawatir sama dia. Dan lo masih bahas kita mau ngapain aja di bukit besok?” Amira menyisir rambutnya ke belakang.
“Gue cuma ingin ngehibur lo, Mir. Otak lo harus di-refresh agar tidak kepikiran Gilang terus. Lo juga harus jaga kesehatan dong, gue nggak tega ngelihat lo kayak orang gila gini,” balas Rama.
Amira menyenderkan tubuhnya ke belakang. “Gue bingung. Nggak tahu mesti gimana lagi.”
Rama meminggirkan mobilnya di pinggir jalan kemudian berhenti. Ia menghela napas lalu memandang Amira yang rambutnya acak-acakan serta kedua mata sembab.
Tiba-tiba tangan Rama terulur dan merapikan rambut Amira. Badan gadis itu menegang, ia menatap balik Rama.
“Mir, apa gue salah? Gue salah kembali lagi ke Indonesia? Answer me!”
Amira mendongak cepat. “Kok lo ngomong gitu? Gue seneng Ram lo ada disini. Gue kangen sama lo,” ucap Amira meneteskan air mata.
“Tapi lo kayak keganggu sama kehadiran gue. Lo nggak kayak dulu lagi.” Rama ganti menyenderkan tubuh ke belakang.
“Haha, bukannya lo bilang gue masih sama dan nggak berubah ya?” Amira menyindir.
Rama melirik sekilas. “Hati lo yang berubah Mir. Sikap lo ke gue dulu sama sekarang beda,” jelas cowok itu.
“Ram, pliss deh jangan nambahin beban di otak gue.” Amira mengalihkan perhatiannya pada kaca mobil.
Hening cukup lama.
“Lo suka kan sama Gilang? Jujur lo,” tanya Rama dengan datar.
“Sok tau. Lo kenapa jadi bahas ini sih?! Gue mau pulang!”
Rama mencibir. “Kenapa nggak jawab aja. Lo diem berarti bener.”
“RAM! KATANYA LO PENGEN GUE NENANGIN PIKIRAN, LAH INI LO NGOCEH MULU KAYAK BURUNG TETANGGA!” omel Amira udah teriak-teriak emosi.
“Ya sori. Yaudah kita pulang.” Rama pun kembali melajukan mobilnya ke rumah Amira.
***
Malam ini Amira sudah siap dengan kaos lengan panjang dan celana jeans hitam. Rambutnya ia kucir di belakang seperti saat sekolah.
Suara klakson mobil terdengar dari luar rumahnya. Gadis itu langsung keluar dari kamar dengan wajah tidak bersemangat.
“Sayang, kok lesu gitu?” tanya Dira menghampiri.
“Enggak kok, Ma.”
“Assalamualaikum Tante, Mir.” Rama mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam, masuk Ram,” balas Dira.
Rama melangkah masuk dan melempar senyum ke Amira yang dibalas dengan senyuman tipis.
Sebenarnya Amira ingin bertemu Gilang. Ia ingin berbicara dengan cowok itu, ia ingin berdebat lagi dengannya. Sekarang juga! Tetapi, Rama adalah sahabatnya. Cowok di depannya ini juga sama berartinya bagi Amira.
Tunggu. Apakah barusan secara tidak langsung gue ngomong kalau Gilang itu berarti buat gue?? Amira menggelengkan kepalanya.
“Kamu kenapa Mir?” tanya Dira menepuk pundak Amira.
“Nggak papa, Ma.”
Tiba-tiba Amira merasakan sesuatu. Ia teringat oleh ucapan Gilang beberapa minggu yang lalu.
“Ya? Nontonin gue ya? Kasih semangat gitu kayak di novel-novel remaja yang lo bilang itu.”
Amira tidak mungkin lupa dengan jawabannya saat itu. Ia ingat sekali kalau jawabannya adalah ‘iya’. Dan kini, apakah dirinya akan menjadi tokoh antagonis yang mengingkari janjinya kepada Gilang? Cowok tengil itu bahkan sudah mengajarinya tentang materi bola besar. Apakah ini ucapan terima kasih Amira untuknya?
Tidak. Sepertinya ini salah. Ini tidak benar. Amira tidak mau jadi antagonis dalam cerita manapun, biarlah dia jadi antagonis di hidup Gilang yang setiap harinya melempari tuh cowok dengan umpatan-umpatan. Dan biarlah juga Gilang tetap menjadi antagonis dalam hidupnya, yang setiap waktu tidak pernah kehabisan akal untuk menjahilinya.
“Ram, gue...” Amira berhenti saat Rama menggandengnya pergi dari ruang tamu.
“Kenapa sayang?” tanya Dira.
“Kenapa Mir?”
Amira bingung mau menjawab apa. Dirinya dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Ayolah, siapapun bantu dirinya agar tidak menjadi antagonis dalam cerita manapun.
“Gue..”
Drrtt drrttt
Hape Amira berdering dalam tas mininya. Ia merogohnya dengan tergesa-gesa dan langsung terkejut melihat nama Elvan terpampang di layar hapenya.
“Halo Van?”
Rama memicingkan mata dengan tangan mulai mengepal.
“APA? SERIUS?” Raut wajah Amira langsung cerah sambil memandang Dira dengan senyum lebar. “Oke, gue kesana sekarang.”
Pip!
“Gilang udah sadar Ma, Ram. Aku harus kesana sekarang.” Amira langsung menyalami tangan Dira. Sang Mama hanya tertawa bingung dengan sikap anaknya.
“Kita nggak jadi berangkat?” tanya Rama membuat Amira mengatupkan kedua tangannya.
“Sori Ram. Gue nggak bisa, kita batalin yah. Gue ke rumah sakit dulu.” Amira hendak berlalu tapi Rama meraih tangannya.
“Gue anterin ya?”
Amira menggeleng. “Nggak usah. Gue nggak mau ngerepotin lo, gue naik taksi aja.”
Dan Amira sudah pergi dari rumah meninggalkan Rama yang wajahnya sudah memerah.
“Maaf ya Nak Rama. Amira memang labil.” Dira berucap tak enak hati.
“Nggak papa Tante. Lain kali aja ke bukitnya. Kalau begitu saya permisi.” Rama menyalami tangan Dira kemudian beranjak dari sana.
Rama melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali ia ngerem mendadak karena ada kucing menyeberang.
“Kurang ajar! Gilang lagi Gilang lagi! Apa sih yang keren dari dia? Nggak habis pikir gue,” gerutu cowok itu di dalam mobil.
Karena dirinya sangat emosi, ia memutuskan untuk meminggirkan dulu mobilnya dan menenangkan diri.
“Gue nggak jadi ke bukit karena Gilang. Amira jadi berubah sama gue karena Gilang juga. Kenapa sih, tuh cowok harus berperan besar dalam hidup Amira?!”
Rama memukul setir mobil kemudian menjambak rambutnya frustasi.
“AARRGGHH! Brengsek banget Gilang. Kenapa dia mesti sadar sih?”
***
Amira sampai di rumah sakit. Ia melirik jam tangannya, pukul tujuh. Ia pun berjalan ke meja resepsionis dan bertanya tentang kamar pasien bernama Gilang Raynaldi.
“Oke, makasih,” ucapnya pada petugas resepsionis.
Gadis itu berjalan menuju kamar Gilang dirawat dan begitu melihat Elvan ada disana, Amira menghampirinya.
“Van!”
Elvan menoleh dan senyum lebar langsung tercetak disana.
“Andra mana?” tanya Amira yang tak melihat sosok cowok lain di dekat Elvan.
“Dia pulang Mir, besok kan tanding.”
“Oh iya ya.”
Elvan langsung menggandeng Amira ke dekat pintu ruangan Gilang. “Cepet masuk! Dia nyariin lo.”
Mata Amira melebar namun tak urung membuka pintu ruangan dan melangkah masuk.
“Permisi.”
Gilang yang sedang terbaring disana menoleh ke sumber suara. Raut wajahnya masih datar tanpa ekspresi.
“Eh, Amira. Sini,” ucap Tante Farah yang diangguki Amira.
Setelah menyalami tangan Mama Gilang, Tante Farah pamit keluar dulu untuk sholat isyak. Amira mengangguk dan setelah Tante Farah keluar dari ruangan, gadis itu melempar pandangannya pada Gilang.
“Jangan ledekin gue,” ucap cowok itu tiba-tiba.
Amira duduk di kursi yang ada di samping ranjang Gilang kemudian memain-mainkan selang infus di samping cowok itu. “Ini kalau gue gunting masalah nggak ya?”
“Gila lo?” pekik Gilang.
“Shut, jangan teriak-teriak dulu. Gue cuman bercanda.” Amira terkekeh.
“Lo ngapain kesini?” tanya Gilang sinis.
“Oh yaudah gue pulang.” Amira hendak berdiri dan seperti sinetron-sinetron lainnya, Gilang menahan tangan Amira.
“Tai lo, mau ninggalin gue?”
“Ya lo ngeselin,” balas gadis itu melipat tangan di depan dada. “Lang?”
Gilang menoleh dengan wajah cemberut. “Apaan?”
“Masih sakit nggak?” tanyanya hati-hati.
Gilang menatap tubuhnya sendiri lalu beralih menatap Amira. “Udah enggak. Gue kan cowok kuat,” jawabnya tersenyum.
“Serius, Lang? Jangan bohong.”
Gilang menghela napas. “Serius, Bu Sek.”
Cowok itupun menunjukkan isyarat ingin duduk dan Amira langsung sigap membantunya. Begitu Gilang sudah duduk bersandarkan bantal di punggungnya, Amira kembali duduk di kursi.
“Ambilin gue minum dong!” Amira mengangguk dan mengambilkan air di meja seberang. “Bantuin minumnya juga.”
Amira menghela napas walau sebenarnya ia berusaha menahan detak jantungnya yang tidak seperti biasanya.
“Gue mau dinyanyiin.”
Amira langsung melotot dan menampol lengan Gilang membuat cowok itu meringis pelan.
“Gue sakit masih aja dianiaya, tega lo.”
“Bodo amat. Lo nyuruh gue bantuin duduk mah biasa, ngambilin minum dan bantuin lo minum gue juga nggak keberatan.” Amira mendecak sebal, “Lah lo nyuruh gue nyanyi lo kira gue Ariana Grande?”
Gilang tertawa keras mendengarnya. “Jangankan Ariana Grande, Maudy Ayunda aja lo nggak sampe. Buahaha.”
“Sialan lo.” Amira mendengus.
Gilang pun berhenti tertawa dan menatap Amira agak lama. “Mir, lo abis nangis ya? Mata lo sembab. Ckck, segitunya banget lo khawatir sama gue?”
Amira memaki dalam hati. Ia memang tahu kalau Gilang ini adalah makhluk paling pede, tetapi dalam keadaan sakit begini masih sempat aja nih orang bersikap sok keren.
“Udah, jujur aja. Gue tahu kok lo peduli sama gue,” ucap Gilang lagi.
“Apaan sih lo? Digebukin malah tambah ogeb nih anak.”
Gilang mencibir pelan. Menjulurkan tangan lalu menyentil dahi Amira.
“Aw! Lang!”
“Apa lo?” Gilang mengalihkan pandangannya dari Amira sambil memanyunkan bibir.
Idihh, sok imut banget.. geleuh
Melihat Gilang masih aja diam, Amira pun berdehem pelan. Ia membuka mulut untuk bersuara, entah hujatan apa yang akan ia dapatkan nanti. Terserah.
“Jangan takut sendiri...kamu tak kan lagi sepi..”
Badan Gilang menegak. Ia menoleh perlahan ke arah Amira dan gadis itu sedang menunduk. Gilang terus memandangnya.
“Jangan takut kehilangan...aku beri kekuatan..”
Gilang tersenyum simpul.
“Belum saatnya menyerah. Tetap di sampingku..”
Gilang bersiap untuk mendengarkan lebih serius lagi tetapi Amira tak kunjung meneruskan nyanyiannya. Padahal lagunya sangat bagus. Lagunya.
“Udahan deh,” ucap Amira.
“Kok udah sih? Gue pengen denger lagi.”
“Entar lo makin geer kalau gue lanjutin,” balasnya.
Gilang mendengus keras, “Dasar anoa kampret. Eh emang itu lagunya siapa sih, bagus liriknya. Pas gitu sama keadaan gue saat ini,” tanya Gilang.
“Lagunya Devano Danendra judulnya Ini Aku, ganteng loh dia.”
Gilang nyengir lebar. “Sama kayak gue dong, ganteng. Iya kan?”
“Idihh, lo mah ganteng-ganteng bangsat. Hahaha.”
“Anjiirr.”
Amira tertawa terbahak-bahak membuat Gilang mau tak mau ikut tertawa. Entah apa yang lucu tapi melihat tawa Amira membuatnya terpancing untuk ngakak juga.
Entah keduanya sadar atau tidak, tetapi itulah kali pertama mereka tertawa bersama dengan lepas.
Gadis bernama Amira itu tak pernah tahu kalau cowok di depannya kini telah mengukir namanya di dalam hatinya. Gilang tak pernah mengerti rencana apa yang Tuhan siapkan untuknya. Kenapa ia bisa dibuat kesal dan senang diwaktu yang sama oleh gadis di depannya ini.
“Udah dong ketawanya,” ucap Gilang memegang perutnya masih dengan sisa tawanya.
Sungguh Gilang bangga dengan orang di depannya ini. Entah titisan dari planet mana, tetapi Gilang yakin kalau Amira memanglah gadis absurd yang diciptakan untuknya. Lebih jelasnya, diciptakan untuk dia jahili dan lindungi secara bersamaan.
“Lang, kok lo nangis? Dih, cengeng... suara gue bagus yah?”