Setelah melalui hari-hari monoton dengan kata lain tiada hari tanpa menganggu Amira, Gilang bermaksud membuat hari ini menjadi hari berbeda. Ternyata semedi semalaman yang dilakukan cowok itu membuahkan hasil. Rencananya, hari ini ia ingin menjadi teman yang baik untuk Amira.
Iya, rasanya pemikiran itu gila. Dan karena Gilang yang memiliki pemikiran itu, bukan gila lagi namanya tapi double super gila.
“Gilang! Ayo sarapan di bawah, entar kamu kesiangan.” Suara teriakan sang Mama menggema di rumah bercat kuning muda ini.
“Iya Ma, otw,” balasnya.
***
Suasana kelas 11 MIPA 5 tampak adem dilihat dari luar. Tidak ada sampah yang berserakan di depan kelas. Tirai jendela pun tersibak dengan rapi dan pintu kelas tertutup. Kebetulan, Elvan dan Amira bertemu di depan gerbang sekolah, jadilah mereka berjalan beriringan menuju kelas.
“Kok kelas kita rada angker ya? Tumben.” Mata Elvan menyipit melihat kelasnya dari kejauhan yang tampak tenang.
Amira tak menanggapi ucapan Elvan, melangkah semakin cepat menuju kelas.
Cklek
Hening.
Demi api yang bisa nyala di bikini bottom! Amira sangat senang dengan keadaan kelasnya ini. Matanya berbinar melihat beberapa temannya yang sudah datang tampak duduk dengan rapi di bangkunya. Dan yang paling berbeda adalah...
“Sumpah? Itu kudanil lagi nyapu?” gumamnya tidak percaya melihat sosok cowok dengan sapu ditangannya sedang membersihkan kelas.
“Biasa aja matanya,” ucap Elvan membuat Amira berjingkat kaget. “Palingan kena sawan semua tuh,” tambahnya.
Plak
“Ya kali Van,” balas Amira memukul punggung Elvan.
“Woy! TUMBEN BANGET KALIAN KAGAK HEBOH?” teriak Elvan yang dihadiahi kernyitan dahi teman-temannya.
“Lo ketua model apaan sih? Temennya disiplin malah dikritik.” Dengan tenangnya Gilang berucap.
“Lo kenapa bro? Yah, kok jadi gini lo?” Elvan merengek karena Gilang tampak beda dari biasanya. Dengan lembut Gilang menarik Elvan dan berbisik.
“Untuk Bu Sek kita.”
Elvan ber-oh ria dan mengangguk mengerti. Tidak. Amira sedang tidak berulang tahun dan tidak sedang mendapatkan hadiah lotre.
Tetapi ini memang murni rencana gilanya Gilang.
Sedangkan itu, Amira tampak santai, tidak menanggapi Gilang dan Elvan yang berbicara sambil melirik dirinya. Lebih baik ia memanfaatkan momentum langka ini untuk bersantai ria.
Langkah kakinya, seperti biasa berhenti di meja guru untuk mengisi jurnal kelas. Ia duduk dengan tenang kemudian membuka tutup bolpoin dan mulai mengisi jurnal tersebut.
“Gini kan enak,” gumamnya lagi dengan bibir yang terus merekah.
Sudah nampak jelas apa yang membuat gadis itu terus menyunggingkan senyum. Iya, dirinya terbebas dari ketengilan Gilang yang setiap hari selalu mengusiknya ketika mengisi jurnal.
Melihat Amira yang terus tersenyum, membuat Gilang mau tak mau ikut tersenyum juga. Dan sayangnya, si Elvan ngelihat pas Gilang senyum.
“Wei bro. Gue pernah baca cerita tinlit,” lirih Elvan membuat Gilang menoleh dengan alis tertaut.
“Terus? Ngapain ngomong gue?” tanyanya.
“Cuma mau bagi kisahnya doang. Jadi, ada cowok dan cewek itu nggak pernah akur. Tiap hari ribut, suka rebutan, nggak ada yang mau ngalah.” Gilang masih mendengarkan walaupun tangannya gatel pengen ngulek mulutnya si Elvan. Ini maksudnya dia nyindir dirinya gitu? Sama Amira?
“Terus?” tanyanya lagi.
“Nggak tahunya, si cowok suka sama tuh cewek!” heboh Elvan membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, termasuk Amira yang langsung mendecak sebal. Sedangkan Gilang ikut mengangguk-angguk dengan mulut ber-oh ria.
“Terus terus?” tanya Gilang lagi.
“Nggak tahu ending-nya, belum baca sampai situ,” cengir Elvan.
“Yeh si ogeb.”
Elvan mendekat ke Gilang dan berbisik, “Udahlah, kagak pernah denger semboyan ‘benci jadi cinta’ lo?”
***
Siang ini, lapangan basket dipenuhi oleh anak-anak kelas 11 yang lagi latihan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini akan diadakan lagi lomba basket antar SMA. Dimana tuan rumah dari perlombaan ini adalah SMA Negeri Hijau sendiri. Sebagai tuan rumah, pastilah mereka ingin menunjukkan yang terbaik agar bisa merebut piala utama dari pertandingan ini.
Sudah tidak asing lagi, sosok kapten kebanggan sekolah ini yang tengah fokus mendribel bola di tengah lapangan. Sorakan dari adek-adek kelas, teman seangkatan maupun kakak kelas yang didominasi kaum hawa ini membuat lapangan tampak sangat ramai. Apalagi, ada Gilang yang juga bermain di tengah lapangan. Walaupun bukan kapten, tetapi pesona yang memancar darinya, nyatanya menarik perhatian delapan puluh persen penonton.
“Aaa, kak Gilang idamanku!”
“Anjiirr, si Gilang ngelempar senyum ke gue!”
Sebagai kaum hawa pun, Amira juga tertarik untuk melihat latihan ini. Walaupun sebenarnya ia malas, tetapi nggak ada salahnya juga kan ngelihat doang?
“Mith, tukeran dong. Sebelah gue berisik,” ucapnya pada Mitha yang berdiri di sebelahnya.
“Oh oke.”
Perhatian penonton tak sedikitpun lepas dari arena lapangan. Dengan yel-yel yang mereka buat untuk menyemangati anggota tim basket Green House di acara pertandingan nantinya.
Hingga semua mata dibuat tak berkedip ketika sang maskot, Gilang Raynaldi dengan mulusnya memasukkan bola ke ring basket.
“Uwaaa!!!”
“Woooo!!”
Riuh tepuk tangan pun menggema di gedung olahraga sekolah ini. Noval, si kapten basket mengacungkan jempolnya ke arah Gilang yang disambut dengan cengiran lebar Gilang yang sangat manis.
“Ahh, bangga gue punya temen kayak Gilang,” ucap Mitha membuat Amira dan Fadia bersamaan menoleh ke arahnya. “Fansnya banyak,” lanjutnya.
“Hassshh, ya wajarlah. Gilang kan cakep...” balas Fadia.
Amira hanya diam sambil memandang lapangan. Entah ia fokus pada apa tetapi matanya terkunci di lapangan.
Sekitar tiga puluh menit latihan basket ini berlangsung. Semua siswa pun dipersilahkan untuk kembali ke kelas masing-masing. Dengan pengumuman bahwa besok mereka masih akan menyaksikan latihan basket di jam yang sama seperti hari ini.
“Mir, kantin dulu yuk. Masih ada waktu sepuluh menit,” ajak Fadia. Amira pun melihat jam tangannya dan matanya langsung melotot kaget.
“Gue lupa ada janji sama Bu Rahayu!” pekiknya dan dengan tergesa-gesa langsung meninggalkan Mitha dan Fadia.
Sesampainya Amira di ruang guru, ia mendapati Bu Rahayu wali kelasnya itu, duduk di tempat kursinya dan terlihat sibuk dengan beberapa berkas di atas meja. Bu Rahayu yang menyadari seseorang melangkah ke arahnya jadi mendongakkan kepala.
“Eh, Mir, sini duduk.”
Amira mengangguk dan duduk di depan beliau.
“Ini adalah data teman sekelas kamu. Data ini harus segera saya setor ke kepala sekolah untuk menyempurnakan pendataan dari awal. Jadi, sebagai salinan untuk arsip, kamu copy data ini ke Microsoft Exel. Bisa kan?”
Amira mengangguk sopan, “Iya Bu. Ee, dikumpulkan kapan?”
“Lusa kalau bisa, gimana?”
“Baik Bu. Akan segera saya kerjakan.” Amira menerima dokumen itu dan langsung pamit dari ruang guru.
Begitu ia sampai di kelas, ia melihat kelasnya tetap rapi seperti tadi pagi. Ia bernapas lega dan segera duduk di bangkunya untuk menyicil mengerjakan tugas baru tadi.
Tak berapa lama kemudian, teman-temannya yang lain kembali ke kelas termasuk Gilang, Andra, dan Yogi yang tergabung dalam latihan basket tadi. Amira melirik pintu kelas dan bertepatan saat Gilang menoleh ke arahnya.
“Mir,” panggil Gilang langsung menghampiri Amira di bangku.
Gadis itu menghela napas panjang, berharap Gilang tidak mengganggunya.
“Ada tugas sekretaris? Mau gue bantuin nggak?” tawar Gilang dengan suara normal dan tidak mengandung unsur memaksa seperti biasanya.
“Nggak usah, makasih.”
Gilang manggut-manggut. “Oh oke kalau begitu.” Cowok itu berbalik menuju ke bangkunya. Disana, ia berusaha menenangkan hatinya yang mencak-mencak pengen ngerjain tugas sekeretaris itu.
“Sabar, biar Amira aja. Sabar,” gumamnya mengelus dada.
Amira sendiri begitu senang melihat sikap Gilang yang seperti ini tetapi di sisi lain ia juga heran. Masih banyak tanda tanya dibenak gadis itu tentang faktor pendorong berubahnya Gilang.
***
Keesokan harinya, latihan basket berlangsung dengan heboh lagi. Ditambah adegan baru Gilang yang membuka kaosnya karena gerah. Pekikan dari cewek-cewek kurang asupan pun terdengar riuh.
“Buset Gilang, ngapain tuh bocah buka kaos segala?” ucap Fadia mengernyitkan dahi.
“Taktik baru mungkin, untuk mengecoh lawan entar,” balas Amira membuat Mitha menoleh ke arahnya dengan mulut menganga.
“Kagak paham gue,” gumam Mitha.
“Sama,” timpal Fadia.
Amira hanya mendengus mendengarnya. Ia memilih duduk di tribun dan mengeluarkan ponselnya.
Amira
dsr pamer
Send
Gadis itu memasukkan lagi ponselnya dan kembali fokus pada lapangan. Namun, tiba-tiba matanya dikejutkan oleh datangnya seorang cewek yang berlari ke arah lapangan sambil membawakan sebotol air untuk Gilang yang tengah mengelap keringatnya.
“Waduh, siapa tuh cewek?” gumam Mitha langsung melotot sambil berdiri.
“Kayaknya anak IPS deh,” jawab Fadia membalas. Amira tak menanggapi dan kembali mengambil hape-nya di saku.
Amira
this message was deleted
Setelah latihan hari ini selesai, Amira tak berhenti merutuki dirinya yang jadi bego begini. Ayolah, kenapa rasanya jadi aneh?
“Mir, sibuk nggak? Ditunggu Gilang di perpustakaan,” ucap Elvan yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Amira yang tengah melamun di depan pintu kelas.
“Ha? Ngapain?” tanyanya bingung dengan suara sedikit bergetar.
“Ya mana gue tahu.”
Rasanya berbicara pada Elvan hanyalah membuang-buang waktu. Amira memilih langsung pergi ke perpustakaan yang berada di samping laboratorium biologi.
Begitu sampai disana, ia melongok ke dalam dan menghela napas panjang. Kemudian melepas sepasang sepatunya dan melangkah masuk. Tanpa banyak bicara, gadis itu langsung menghampiri sosok tinggi di dekat jendela dengan sebuah buku di tangannya.
“Apaan?” tanyanya berusaha melirihkan suara.
“Nih, puisinya. Udah jadi.” Gilang menyerahkan buku itu pada Amira yang diterimanya dengan kening berkerut.
“HAA? YANG KCR?”
“Shuut!”
Tanpa sadar Amira memekik kencang yang membuat pembaca di perpustakaan itu terganggu. Ia memohon maaf sesaat dan kembali memandang Gilang. “Serius lo buatin?”
“Hooh. Emang mau dibuat apaan sih?” tanya Gilang balik membuat Amira kehilangan kata-kata untuk menjawab.
“Ee, buat mading. Waktu itu gue diberi tugas untuk segera buat tetapi gue nggak ada waktu karena tugas sekretaris numpuk, makanya gue minta tolong lo yang saat itu masih jadi babu gue,” jelas Amira yang didengarkan dengan serius oleh Gilang.
“Ohh, tapi lo kan bukan anggota mading?”
“Emang bukan. Gue cuma berada di tempat dan waktu yang salah saat itu,” cengir Amira. Sesaat gadis itu terdiam kemudian membuka buku yang diberikan Gilang barusan.
“Sori kalau jelek,” ucap Gilang tenang.
“Bagus ini. Makasih ya Lang,” gumam Amira masih dengan membaca beberapa bait awal puisi itu.
Gilang yang kurang mendengar perkataan Amira barusan, mendekatkan telinganya. “Apa? Gue nggak denger.”
Amira termundur kaget, berusaha bersikap tenang. “Udah, kagak usah modus deket-deket. Makasih,” ucapnya sekali lagi lebih jelas.
“Oh sama-sama,” balas Gilang. “Yaudah sana balik.”
Amira mendongak kaget, mencibir pelan dan menutup buku itu. “Ini juga mau balik.”
Gadis itu hendak berbalik tetapi desisan Gilang yang memanggilnya membuatnya urung berbalik dan kembali memandang cowok itu.
“Lo nge-chat apaan tadi?”