#5
Malam-malam aku tergesa-gesa pergi ke Rumah Sakit Bersalin bersama Nela. Katanya, Mas Enda sedang butuh bantuan uang untuk biaya persalinan caesar istrinya. Menggunakan motor, kami berdua diterjang angin malam yang kala itu menusuk sampai ke tulang. Aku tak pernah bepergian menggunakan sepeda motor setelah lima tahun bekerja di Jakarta, itulah kenapa rasanya seperti menusuk tubuhku.
Saat kami sampai di lobby Rumah Sakit, Mas Enda sudah menunggu dengan wajah cemasnya. Dia menyambut kami dan langsung mengajak kami ke bagian Administrasi untuk melunasi biaya caesar. Katanya, operasi akan segera dilakukan esok pagi pukul 01.00 malam.
Kami memutuskan untuk menemani Mas Enda dan 3 anaknya yang masih kecil, Reta, Bromo, dan Ayu. Mereka bertiga merupakan kakak beradik yang masing-masing usianya berjarak 2 tahun. Reta merupakan anak pertama Mas Enda dan Mbak Lastri. Dia sudah menginjak bangku SD kelas 6. Terlihat sekali sebagai anak sulung, ia begitu cemas ketika menunggu Ibunya di dalam ruang operasi. Kata Mas Enda, Reta begitu cekatan saat Ibunya perlu bantuan. Ia pun mampu menjaga adik-adiknya di Rumah saat Mas Enda dan Mbak Lastri harus bekerja hingga malam. Berhubung pendapatan Mas Enda tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, sepulang dari butik Nela, Mas Enda membuka warung kopi di sekitar Malioboro. Mbak Lastri pun bekerja sebagai pelayan di salah satu toko bakpia di Yogya, dan malamnya ia selalu berkeliling menjualkan mochi yang ia bawa dari toko untuk dijualkan kepada para pengunjung di setiap tempat wisata di Yogya. Tiap hari, jadwal pulang mereka tidak menentu karena menyesuaikan dengan uang yang mereka dapatkan.
Kuperhatikan, Reta tidak seperiang adik-adiknya. Jika kuajak mengobrol, ia hanya menjawab singkat dengan malu-malu. Saat adik-adiknya mengantuk, ia baringkan kepala adik-adiknya di atas pahanya. Sedih sekali anak usia SD sudah mampu menjaga adik-adiknya. Kubantu Reta dengan memangku Ayu untuk tidur di pahaku. Reta sempat menolak namun kupaksa saja karena aku tidak tega melihatnya duduk dengan dua adik di pahanya.
Reta tetap terjaga menunggu Ibunya keluar dari ruang operasi. Aku dan Nela pun tidak bisa tidur karena ikut cemas. Dua jam berlalu, dokter baru keluar dan memberitahu kami bahwa kondisi Ibu dan bayi selamat. Simpul senyum terlukis di wajah Reta saat kabar itu sampai di telinganya. Air matanya menetes dan tiba-tiba memelukku mengucapkan terima kasih karena telah membantu ayahnya meminjamkan uang. Aku tak bisa membendung air mataku saat ia memelukku.
“Terima kasih juga kamu udah jadi anak kecil yang baik.” ucapku.
“Maksud kakak apa?” tanya Reta sambil perlahan melepaskan pelukannya.
“Iya, kamu udah jadi anak kecil yang baik, yang bisa menjaga adik-adikmu dengan baik.”
Ia hanya memandangiku dan kembali memelukku.
***
Sekelebat ingatanku kembali menamu semenjak kejadian itu, mengingatkanku dengan berbagai hal yang kualami di masa lalu.
Aku pernah berada di posisi Reta, menjaga Nela saat Mama dan Papa harus bepergian ke luar kota untuk menghidupi kami. Aku harus bangun pagi sekali untuk bersiap-siap ke sekolah dan memandikan Nela. Usia kami terpaut enam tahun, saat itu aku duduk di bangku SMP kelas 2 sedangkan Nela baru menginjak SD kelas 2. Aku harus menjemput dia ketika waktu istirahat tiba, dan mengajaknya ke sekolahku untuk menunggu waktu pulangku tiba. Dia kubiarkan menunggu di depan ruang kelasku. Awalnya aku khawatir saat harus membiarkannya sendirian, namun setelah terbiasa aku pun selalu tenang mengikuti pelajaran di kelas. Ketika waktu pulang tiba, kami selalu mampir ke sebuah toko kelontong di dekat rumah, untuk membeli beberapa jajanan. Aku tak punya waktu untuk menyelesaikan PR, karena harus membantu Nela belajar berhitung tiap malam. Pernah suatu hari, aku mendapat hukuman hormat bendera selama 15 menit karena tidak mengerjakan PR, Nela yang melihatku menghormat bendera langsung melepaskan tasnya dan berlari mengikutiku menghormat bendera. Aku pernah katakan padanya untuk selalu bersamaku dan jangan pergi tanpa sepengetahuanku karena dia masih kecil. Ternyata ia mengingat ucapanku itu meskipun belum ia pahami sepenuhnya.
“Nel, jangan ikut kakak! Sana duduk di kursi lagi!”
“Katanya Nela harus terus sama kakak?”
“Ini sama kayak kamu nunggu kakak belajar di Kelas, Nel. Kamu gak boleh ikut.”
Terkadang aku merasa stress karena rasanya seperti membebaniku, mungkin karena usiaku belum cukup menanggung itu semua. Namun semakin terbiasa, semakin aku bisa. Pepatah bilang bisa karena terbiasa ternyata benar-benar terbukti.
***
Aku dan Nela segera menemui Mbak Lastri di ruang persalinan, ia sedang terbaring dengan bayi mungil dalam dekapannya.
“Selamat ya, Mbak Las. Bayinya cantik mirip Mbak.” ucapku
“Terima kasih, Mbak Tree.”
“Mbak, utangnya saya usahakan bayar semingguan lagi ya, mbak.” ucap Mas Enda.
“Eh, iya tenang aja, Mas. Gak usah terlalu dipikirin.”
Aku mengakhiri pembicaraan dan segera keluar ruangan untuk pulang. Namun, aku dan Nela menyempatkan untuk mengajak Reta, Bromo, dan Ayu untuk sarapan bubur ayam di seberang rumah sakit, untungnya mereka mau dan kami pun sarapan bersama. Kebetulan belum banyak pembeli saat kami menghampiri tukang bubur tersebut, sehingga kami bisa menyantap bubur ayam dengan tenang.
Saat akan pulang, tak sengaja aku bertemu dengan Nenek dan Kakek dari Reta, Bromo, dan Ayu, mereka sengaja berangkat dari Semarang untuk menjenguk cucu barunya. Kami pun berbincang-bincang sebentar sampai akhirnya aku dan Nela meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah.
Aku segera beristirahat sesampainya di rumah, dan Nela segera bersiap-siap untuk membuka butiknya.
***
Setelah berjam-jam tidur, aku bangun dengan pusing yang menyerang kepalaku, dan perut yang rasanya seperti melilit, kelaparan.
Aku segera menuju dapur untuk memasak sesuatu, namun tak ada bahan apapun yang bisa dimasak. Hingga akhirnya aku terpaksa harus berbelanja terlebih dahulu ke sebuah pasar yang lumayan dekat dari rumah. Dengan menggunakan sepeda motor, dalam waktu lima belas menit aku telah sampai di pasar. Aku berbelanja sesukaku sampai dua keresek telah kupegang dengan berbagai isinya yang lumayan berat. Namun, aku sangat nyaman dengan begitu. Aku sangat suka melakukan aktivitas sendirian, menurutku dengan mengerahkan tenaga sendiri akan memberikanku kepuasan yang tak ternilai harganya.
Aku kembali teringat sesuatu, kenangan yang entah indah atau tidak sama sekali, namun jelas dalam ingatanku.
Masa-masa SD-ku dengan Papa yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangaku sangat hangat di pikiranku. Meskipun kebersamaan kami tak begitu lama karena akhirnya, saat akan menginjak bangku SMP aku terpaksa ditinggal Papa untuk bekerja ke luar kota karena usaha Papa yang tiba-tiba merosot tajam.
Aku dan Nela dibiarkan untuk menikmati pagi tanpa Papa dan Mama, demi pekerjaan. Selama tujuh tahun itu dalam keadaan seperti itu, rasanya hari-hariku sungguh berat karena aku harus mengurus diri serta adikku sendiri. Sebagai anak kelas satu SMP, aku harus mengurus adikku yang baru menginjak kelas 2 SD. Tiap hari aku selalu pergi dan pulang sekolah bersama, belajar bersama, dan bermain bersama. Aku tidak punya waktu untuk bermain bersama teman sebayaku.
Meskipun ada seorang pembantu di rumah, aku pun selalu melakukan pekerjaan di rumah, seperti menyetrika dan memasak. Nela tak pernah mau makan masakan orang lain selain aku, oleh karena itu setiap hari aku selalu memasak dan keahlianku dalam memasak semakin meningkat kian harinya.
Awalnya aku merasa terbebani, aku sering stress dan gampang marah, aku sering menerima hinaan orang lain karena keseharianku yang membawa Nela ke sekolah untuk menungguku selepas dia pulang. Untungnya, setiap aku melihat Nela yang selalu semangat belajar tiap malam, lelah akan semua komentar orang lain terhadapku semakin tak kuhiraukan, dan aku semakin percaya diri dan menikmati hidupku dengan baik. Toh, lama-lama mereka pun bosan terus-terusan menggangguku.
Waktu bersamaku dengan Papa memang tak banyak, namun tak sedikit pula. Meskipun selama 7 tahun jarang bersama, aku masih ingat saat aku masih duduk di Sekolah Dasar, Papa selalu semangat mengantarku berangkat sekolah, dan setia menungguku di gerbang sekolah saat pulang. Aku merasa sangat disayangi kala itu, apalagi posisiku sebagai anak pertama, segala yang kinginkan pasti terpenuhi.
Keadaan tak lagi sama saat aku menginjak Kelas 6 SD, usaha Papa merosot tajam dan mengharuskannya bekerja lebih keras. Papa selalu pulang larut malam dan berangkat pagi sekali. Hingga akhirnya keterpurukanku semakin memuncak saat aku duduk di Kelas 1 SMP, Mama ikut bekerja membantu usaha Papa agar tetap lancar.
“Ma, masa Treela harus berdua sama Nela dirumah?” ucapku pada Mama.
“Kan ada Bi Pepe, Tree.”
“Tapi kan tetep aja, Ma.”
“Tree, kalau Mama gak kerja, Mama gak bisa biayain kalian sekolah, kasih kalian makan, jajan, semua kebutuhan sehari-hari gak bisa terpenuhi.”
Sejak saat itu, hidupku sangat tidak tenang. Aku tak bisa egois memikirkan kepentingkan diriku sendiri, aku harus memikirkan Adikku pula. Nela merupakan adikku yang sangat rewel karena keinginannya harus selalu terpenuhi, badannya gemuk karena sering makan dengan porsi besar, berbeda denganku.
Aku tipe orang yang sulit untuk tidak egois, aku tidak bisa membatasi diriku demi kepentingan orang lain. Aku sangat kewalahan menghadapi Nela yang sangat menyusahkanku.
“Kak, Nela mau Permen Kaki di Toko Bu Kiki!”
“Aduh Nel, kan tadi udah.”
“Udah abis Kak! Nela mau lagi!”
“Udah sore, Nel. Besok lagi aja!”
Aku ingat saat itu ia tak henti-hentinya menangis hanya karena tak kubelikan Permen Kaki. Aku kesusahan menghentikan tangisannya yang menjerit seperti kesakitan. Hingga akhirnya akupun menyerah dan terpaksa keluar rumah saat maghrib tiba untuk membelikannya Permen.
“Nih, jangan nangis lagi!”
“Makasih Kak Tree!”
“Nanti langsung sikat gigi, oke?”
“Oke kak!”
Aku menjadi terbiasa meskipun awalnya kewalahan. Akupun terbiasa tanpa bantuan Papa dan Mama. Namun, ketidakhadiran Papa untuk selamanya masih membuatku belum terbiasa.
Pengalamanku itu yang membuat diriku kini semakin mantap untuk melakukan berbagai hal sendirian, aku mendapatkan pelajaran penting dari masa laluku. Keegoisanku semakin menyusut seiring tingginya beban yang ditanggung olehku. Mungkin jika aku tak mengalami itu, aku tidak akan tumbh mandiri seperti ini, aku patut bersyukur.
Memikirkan hal itu selama perjalanan pulang dari pasar, membuatku tidak fokus dan malah menyebabkan kekacauan. Aku menabrak seekor kucing yang kebetulan menyebrang jalan.
“Aaaaaa” teriakku
Kucing putih itu tergeletak dengan darah di kakinya, aku panik dan beberapa orang pun mulai mengerubuniku. Aku segera meminta bantuan untuk diantarkan ke dokter hewan.