“Tree, mau bareng ga?”
“Gak ah, jalan kaki aja.”
“Panas lho, gak takut item?”
“Gaklah.”
“Yaudah gue temenin jalan deh.”
“Eh? Gak perlu, Jerr! Gue udah biasa sendirian.”
“Gapapa gue mau nyoba panas-panasan, Tree.”
Ingatan sepulang sekolah terlintas saat kubuka album SMA-ku. Entah kenapa lelaki itu yang pertama kali terlintas di benakku. Lelaki tetangga kelasku, Jerry.
“Eh kak! kok ngelamun? Lagi buka apa sih?”
“Hah? Engga, cuma buka album foto aja.”
“Album SMA?”
“Iya.”
“Gimana tuh kabar Kak Jerry? Ciye sampe dilamunin hahaha...”
“Dih, ngarang kamu!”
“Yaudah daripada ngelamun mending ikut ke butik, yuk!”
“Siapa nih yang gak masuk kerja?”
“Hehehe tau aja. Itu si Mas Enda katanya izin, istrinya lagi di Rumah Sakit mau lahiran.”
“Yaudah nanti kakak nyusul deh, mau beres-beres dulu.”
“Oke ditunggu, ya!”
Kubersihkan lantai kamarku yang penuh dengan helaian rambut rontok. Jijik sekali meskipun milik sendiri. Aku heran, tiap hari pasti rambutku berjatuhan ke lantai dengan jumlah yang banyak. Sudah berganti shampoo berkali-kali, tak pernah ada yang mempan mengobati rambut rontokku. Waktu rambutku belum kututupi dengan hijab, tepatnya saat aku duduk di SMA, banyak sekali teman-teman yang mengejekku, katanya kebanyakan berfikirlah, cepet tualah, gak pernah ke salon, sampai ada yang bilang calon botak muda. Satu sampai dua kali, masih kubiarkan omongan payah mereka. Namun, saat suasana hatiku sedang tidak enak dan mereka kebetulan melontarkan kata-kata itu, aku sontak menghajar mereka. Aku tak peduli dia lelaki ataupun wanita, anak kepsek atau pejabat. Jika dia berani menggangguku, aku takkan segan membalas ganggu.
Aku tak paham kenapa mereka begitu leluasanya melontarkan kata-kata yang jika mereka menerimanya pun pasti tidak bisa. Kenapa harus melakukan hal bodoh untuk mendapat perhatian? Memangnya dengan berbicara seperti itu apa sih yang menguntungkan baginya? Mendapat dukungan teman karena sependapat? Atau mendapat pujian karena keberaniannya menjatuhkan orang lain? Menurutku, yang seperti itu adalah kaum orang payah yang mengincar ketenaran.
Pernah suatu waktu saat pelajaran matematika, kebetulan Bu Mela sedang ada di Ruang Guru karena ada tamu dari pihak asessor. Kami sekelas ditugaskan untuk mengerjakan soal-soal di buku paket. Kukerjakan soal tentang persamaan garis dengan teliti, akupun menggunakan kalkulator untuk mempercepat pengerjaankku. Tiba-tiba, teman sekelasku yang duduk tepat di depanku, Flita, mengambil hasil kerjaku dan menyamakan jawabanku dengan miliknya.
“Heh Tree! Kok isinya segini sih? Salah tau! Masa sudut B cuma 30 derajat hahaha!” Ucapnya sebagai siswa ranking kedua di kelas.
“Lah coba lu jumlahin aja kan sudut segitiga jumlahnya 180 derajat!”
Dia terkejut tak membalas ucapanku.
“Sombong banget sih Tree, kita kan liat gambarnya gak cocok kalo besarnya cuma 30º.” Ucap Reka, peraih ranking pertama di kelas.
“Oh gue sombong ya? Yaudah tiap orang kan punya pemikiran sendiri. Kenapa mesti kepo sama jawaban gue? Gue juga ga peduli sama jawaban punya kalian!” Jawabku.
“Dasar lu baru tau segitu aja udah sombong!” teriak Ferdi.
“Iya nih si calon botak udah mulai pinter, keseringan mikir sampe rambut pada rontok gitu hahaha...” timpal Bagas.
“Gue aja ga sampe rontok gitu hahaha...” ucap Shera.
Hampir semua yang menghakimiku adalah siswa pintar peraih ranking lima besar. Gayanya sok terpintar, kelakuan ngajak ribut terus. Kelamaan didiemin, malah makin gak mikir.
“Hahaha whateverlah kawan-kawan, gue tau lu pada pinter, tapi dunia ga butuh orang-orang kayak lu. Sok terpintar, baru juga masuk lima besar di sekolahan.”
“Gue cuma ngasih tau, jadi manusia tuh jangan ngejar pinter aja, benernya engga.”
“Ya, gue juga sama cuma murid biasa gak pernah dapet ranking, tapi gue senenglah setidaknya gue punya temen yang pada pinter kaya kalian, cuma gue bakal bangga kalo temen-temen gue juga pada bener semua.”
“Ngapain sih ngejar pinter sampe bikin kalian pada sok jago? Seenaknya banget ngerendahin orang. Apalagi itu temen kalian juga. Keliatan banget kalian tuh belum paham sama keunikan tiap manusia. Emangnya yang baik itu yang pinter aja? Tentu tidaklah!”
“Cape gue ceramah gini, mending ngantin! Cus Tree!”
Semua penonton menganga melihat aksi Jerry yang mengatup-ngatupkan mulut melahirkan puluhan kata. Dan sejak hari itu, Aku dan Jerry berteman baik layaknya sahabat.
“Sok belain gue lu.”
“Hahaha gimana bagus kan kata-kata gue?”
“Yaaa lumayan cakeplah!”
“Berasa Jerry Teguh nih gue hahaha...!”
“Gak rame penontonnya gak pada bilang ea ea.”
“Itu mah Tukul dong Tree ah.”
Aku dan Jerry memulai pertemanan sampai akhirnya menjadi teman dekat yang kemanapun selalu bersama. Dia orang pertama yang mampu membuatku percaya bahwa teman baik itu ada. Kala aku senang melakukan segala aktivitasku sendirian, dia memberi goncangan pada cara pandangku, bahwa teman mampu menorehkan kesenangan di hidup kita. Untuk pertama kalinya, aku mendapatkan teman baik serta pintu kesenangan yang baru, yaitu menikmati waktu bersama teman.
***
Aku bergegas menuju butik Nela setelah selesai membereskan barang-barangku. Butik Nela tidak jauh dengan rumah, hanya berjarak 20 meter dari depan rumah. Butik itu berada tepat di pinggir jalan sehingga mudah menarik perhatian para pengguna jalan.
Sesampainya aku di Butik Nela, pembeli sudah ramai disana. Nela terlihat sedang asyik melayani pembeli yang menginginkan penurunan harga. Dua pegawainya, Keke dan Mili, menyambutku dengan senyuman.
“Eh, mbak Tree. Gimana kabarnya, Mbak?”
“Alhamdulillah baik. Katanya udah nikah, ya, Mil? Selamat, ya! Maaf nih mbak baru ngucapin.”
“Hehe iya Mbak, doain ya biar langgeng hehehe”
“Iya pasti mbak doain. Udah ada utunnya belum, Mil?”
“Hehehe belum mbak, masih proses.”
“Semangat ikhtiar ya, Mil!”
Aku menyudahi percakapan dengan meminta diberi tahu mengenai harga-harga kain batik di Butik Nela, meskipun memang tak mungkin hafal dalam sekejap, yang penting aku tahu kisaran harganya.
Tiba-tiba aku disamperi oleh seorang pembeli batik yang ingin menanyakan harga, dia Ibu-ibu cantik yang wajahnya tak asing di ingatanku.
“Eh Treela, ya?” tanyanya.
“Eh Tante Lista, apa kabar Tan?” jawabku.
“Baik Tree, kamu sendiri gimana? Kok ada disini?”
“Alhamdulillah, Tan. Ini butik punya adik Treela, kebetulan lagi bantu-bantu sedikit.”
“Oh gitu, tante baru tau loh Tree, padahal tante sering kesini. Kamu lagi liburan ya di Yogya?”
“Iya nih, Tan. Udah lama gak ke Yogya soalnya hehehe...”
“Kapan-kapan main ke rumah tante dong, Tree! Udah lama gak bikin bolu pandan buat kamu.”
“Hehehe ternyata tante masih tau kesukaan Treela. Nanti Treela usahain ke rumah deh, Tan.”
“Nah, gitu dong! Nanti tante hubungi kamu ya.”
“Oke tan.”
“Eh kain yang ini berapa ya Tree harganya?”
“Yang ini 65.000 per meter tan.”
“Tante mau 20 meter ya Tree.”
“Siap, Tan.”
Dengan dahsyatnya jantungku berdegub sampai membuat keringat menetes halus dari pelipisku. Aku berada di antara rasa bahagia, serta nelangsa. Bahagia karena dipertemukan kembali dengan seseorang yang memperlakukanku dengan baik, hingga aku pun merasa diterima. Nelangsa karena saat pertemuan ini terjadi, jiwaku mendadak bernostalgia dengan masa lalu, yang karenanya aku harus bersusah payah meyakinkan diri bahwa hidupku akan baik-baik saja.
Tante Lista mengecek semua kainnya yang telah aku potong, jumlahnya sudah sesuai dengan pesanan. Aku belum beranjak meninggalkannya sejak detik pertemuan kami. Sampai Tante Lista menghitung uang untuk dibayarkan ke kasir pun, aku masih tetap di dekatnya, tentu saja aku memalingkan wajah sembari berlagak mengamati toko.
Tante Lista berpamitan kepadaku dan kepada Nela, aku antar mengantarnya sampai depan butik dan tak lupa menyalaminya, hingga akhirnya ia meninggalkan butik dengan mengendarai mobilnya.
Aku menghela nafas setelah Tante Lista meninggalkan butik. Rasanya ada perasaan lega yang muncul saat pertemuan kami berakhir. Sebagai teman dekat dari anaknya, aku memang berhubungan dekat pula dengan Tante Lista. Jerry mengenalkanku pada Ibunya sejak pertama kali kami dekat. Aku tak menyangka keramahan Tante Lista bisa sampai pada saat ini, saat dimana aku sudah bukan lagi seseorang yang hadir dalam hidup Jerry.