Suara cempreng khas Nela membangunkanku di siang hari. Entah kenapa tiap kali dia berteriak, alam bawah sadarku langsung terhenti. Dia memang alarm ampuhku jika kita bersama. Dan kini, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berpisah, aku bisa mendengar kembali alarm ampuhku itu. Sesalku, selama tiga tahun itu aku tidak bisa menemaninya tumbuh karena kewajibanku sebagai anak sulung yang harus mencari nafkah di Ibu Kota.
“Kamu tuh ya, udah besar juga suaranya masih cempreng aja, berisik tau!” Ucapku.
“Lah, Kak Treela gak bakalan bangun kalo Nela gak teriak-teriak.” Jawabnya.
Ternyata sepotong roti selai kacang sudah ia siapkan di meja makan, dia masih tahu betul sarapan kesukaan kakaknya.
Rasanya, pagi itu menjadi hari pertama bagiku merasakan kembali suasana pagi dengan tenang. Sambil menyantap sarapan, aku tak perlu tergesa-gesa menyiapkan pakaian yang harus aku kenakan. Aku bisa melanjutkan sarapanku menikmati kopi hitam di kursi teras rumah, sambil memperhatikan Anak-anak berseragam putih biru yang ramai menggunakan sepeda untuk berangkat ke Sekolah. Ternyata, kebiasaan baik anak Yogya belum luntur.
Melihat anak-anak itu membuatku teringat dengan sepeda zaman sekolahku. Aku jadi ingin memakai sepeda itu lagi, sepertinya masih tersimpan di gudang belakang rumah. Meskipun kakiku memang masih sakit, tapi aku sudah oleskan salep sehingga rasanya sakitnya agak berkurang saat dipakai berjalan. Denga perlahan, aku pergi ke gudang di belakang rumah untuk mencari sepedaku itu. Ternyata kini sudah banyak sekali barang yang menempati gudang, sepeda yang ukurannya besar pun sampai tak terlihat olehku, ditambah mataku yang minus ini membuat semuanya terlihat sangat tidak nampak. Untungnya kutemukan sepedaku kala aku meraba sebuah kring-kring sepeda, aku langsung tau itu sepedaku karena saat kubunyikan suaranya sangat nyaring dan aku masih hafal suara kring-kring itu. Kuteliti, sepedaku sudah usang dan dipenuhi sarang laba-laba, rodanya sudah penyok terdempet barang-barang lain disana. Aku berniat untuk memperbaikinya ke bengkel sepeda di seberang rumah supaya aku bisa berkeliling Jogja kalau nanti kakiku sudah sembuh. Naas, saat kukeluarkan sepeda itu, tumpukan barang berjatuhan mengenai wajahku. Barang-barang itu jatuh dari atas lemari dekat sepedaku bersandar. Sayangnya aku tidak tahu itu dan langsung terkujur lemas dekelilingi barang-barang disana. Banyak sekali laba-laba yang menghinggapi wajahku, mataku perih seperti kemasukan sesuatu.
“Aaaaaa! Toloong!!” aku menjerit tak tahan dengan perih di mataku.
Tak lama, kudengar suara hentakan kaki yang berlari menuju gudang, aku kembali menjerit meminta tolong.
“Ya ampun! kakak kenapa?” ucapnya dari pintu gudang.
“Nela cari-cari ternyata ada disini.” ucapnya sambil memindahkan barang-barang yang menimpaku.
“Sini Nela bantu bangun, pegang tangan Nela, Kak!” dia membangunkanku dengan hati-hati.
Aku terpejam tak bisa membukakan mataku karena rasanya sangat perih. Aku hanya menuruti perkataan Nela dan berjalan pelan-pelan menuju rumah sambil dibopong olehnya.
Nela sangat panik melihat keadaanku. Dia tak berhenti mengomel karena ulahku yang sembrono. Ia segera mengobati mataku yang bengkak dengan obat yang ia beli di Apotik. Kakiku yang keseleo menjadi tambah parah, sungguh sakit hanya digerakkan pun.
***
Nela yang sampai siang menemaniku, memutuskan keluar rumah untuk mengambil paket di kantor pos. Aku pun ditinggal sendirian di rumah, ya mau bagaimana lagi.
Aku hanya berbaring di kamar tanpa bisa berbuat apa-apa. Sungguh bosan menghabiskan waktu tanpa berbuat apa-apa. Kuambil saja handphoneku dan segera memutarkan lagu. Sudah lama sekali semenjak aku sibuk bekerja tidak lagi bersantai mendengarkan lagu.
Satu, dua, tiga lagu telah terputar, aku tidak sengaja memilihnya, hanya memutar secara acak, dan aku menikmatinya. Namun aku terkejut saat lagu yang kudengarkan mengingatkanku pada kenangan di masa lalu, masa SMA-ku. Lagu yang sangat tak ingin kudengar semenjak rasa sakit hinggap di hatiku. Aku ingin lupa, aku tak mau ingat pahit itu lagi. Namun, aku kesulitan untuk memberhentikan alunan lagu itu, sulit karena hatiku ternyata rindu, jiwaku masih belum bisa membiarkan kenangan itu hilang. Air mata membasahi pipiku hingga bait terakhir lagu itu pun mulai mengalun.
bila ku lelah tetaplah disini jangan tinggalkan aku sendiri, bila ku marah biarkanku bersandar jangan kau pergi untuk menghindar. Sheila On 7-Buat Aku Tersenyum.
Air mata tak berhenti mengalir sampai lagu itu berhenti. Kenangan di masa lalu semakin terputar di otakku, kunikmati bagai hujan yang membasahi bumi, dingin, perih dan rindu beradu.
***
“Tree, dengerin lagu ini.” dia memasangkan earphonenya ke telingaku.
“Lagunya enak.” komentarku.
“Liriknya pas buat kamu.”
“Emang kenapa?”
“Ya aku mau kamu gak ninggalin aku kalau aku tiba-tiba lagi ngerasa lelah, kalo marah pun aku mau kamu tetep di sisiku bantuin aku redain marahnya.”
“Enak aja, harus nemenin yang ngamuk-ngamuk gitu? Ih ogah.”
“Kamu selalu bisa bikin marahku reda, semangatku balik lagi, aku butuh kamu Tree.”
“Manusia harus mandiri, Jer.”
“Betul. Tapi manusia gak sempurna, pasti butuh bantuan orang lain, Tree.”
“Jangan mengatasnamakan ketidaksempurna-an agar selalu mendapat bantuan.”
“Yaudah deh mungkin kamu belum ngerasain gimana rasanya kalo kamu nemu orang yang bener-bener cocok buat diri kamu.”
“Maksudnya aku cocok gitu?”
“Masih belum paham ya? Lemot nih belum makan ya?”
“Hahaha tau aja.”
“Ngantin aja deh, yuk! Keburu abis waktu istirahatnya!” ajaknya sambil menarik tanganku.
Rasa bahagia sungguh hadir dalam diriku, namun aku tak ingin terlalu serius menanggapi perkataannya. Aku masih tegak dalam pendirianku, tidak ada yang patut dipercaya dan diandalkan selain diriku sendiri.
Seiring berjalannya waktu, kami menjadi sering bersama karena aku dan dia merupakan teman sekelas, ditambah lagi kami mengikuti ekstrakulikuler yang sama, paskibra. Setiap hari kami sering belajar bersama setelah pulang sekolah, tempatnya kadang di rumahku atau di rumahnya. Belajar dengannya membuatku nyaman, aku bisa bertanya sepuasnya tentang hal-hal yang tidak aku mengerti, dan dia pun begitu, kami saling membantu sama lain. Ketimbang belajar di sekolah, aku sama sekali tak berani bertanya kepada guru, bukan karena takut tapi aku tidak suka dengan respon dari teman-teman lain yang sering menganggap remeh pertanyaanku.
Jerry adalah teman terbaik bagiku, dia tidak seperti teman-teman yang lain. Dia mengerti bahwa setiap manusia mempunyai keunikannya masing-masing. Awal kukenal dia adalah saat dia menyelamatkanku dari serbuan omongan payah teman-temanku yang menghujaniku di kelas. Aksi heroiknya sangat kukagumi, sebenarnya aku telah terlebih dahulu merasakan kecocokan dengannya, sebelum dia merasakannya.
“Sok belain gue lu.”
“Hahaha gimana bagus kan kata-kata gue?”
“Ah sok cakep lu!”
“Berasa Jerry Teguh nih gue hahaha...!”
“Gak rame penontonnya gak pada bilang ea ea.”
“Itu mah Tukul dong Tree ah.”
Kebersamaan kami yang semakin terjalin makin membuatku lebih mengenal sosok Jerry. Dia sosok lelaki yang terbuka, humoris, dan pemberani. Dia berbeda, unik, aku nyaman bersamanya.
***
Waktu magrib tiba, Nela baru kembali ke rumah. Dia memasuki kamarku dengan dua keresek di tangannya.
“Nih sup ayam buat yang lagi sakit, sama kacamata baru buat yang kemarin baru kehilangan.”
Sakitku membuatku sadar bahwa manusia tidak bisa apa-apa tanpa bantuan sesamanya. Manusia sebagai makhluk sosial itu sebuah kebenaran yang memang terbukti. Dan Nela, adalah bukti.
Kuambil kacamata yang ia berikan, langsung kukenakan dan ternyata lensa minusnya pas untukku.
“Wih, pas Nel! Makasih, ya!”
“Sama-sama, Kak.”
“Kayaknya ada yang lagi banyak uang, nih.”
“Hahaha... butik rame nih semingguan ini, lagi musim liburan soalnya.”
“Baguslah kalo gitu, jadi bisa dijajanin hehehe..”
“Udah ah makan gih, Kak!”
“Yuk makan bareng aja Nel, kamu juga pasti belum makan.”
“Hehe tau aja.”
Saat kami menikmati makan malam bersama, aku tiba-tiba teringat tentang targetku yang belum tercapai, mengunjungi papa. Aku ingin membicarakannya kepada Nela, namun suasana bahagia malam itu sepertinya tidak cocok untukku membicarakannya. Aku mengurungkan niat, namun Nela tahu persis apa yang sedang aku pikirkan.
“Bilang aja, Kak. Kakak kenapa?”
“Eh? Maksudnya?”
“Aku tau ada yang mau kakak omongin.”
“Engga, kok.”
“Bilang aja, Kak.”
“Kakak mau mengunjungi Papa, Nel.”
“Besok Nela bisa.”
“Hmm gapapa?”
“Gapapa kok.”
“Yaudah besok pagi kita kesana ya.”
Untunglah keinginanku akan tercapai, namun aku tidak bisa memungkiri rasa khawatirku terhadap Nela. Semoga Nela baik-baik saja.