Aku percaya. Suatu saat akan ada masanya, di bawah semburat langit merah senja, kita berdua menikmatinya bersama.
***
Kedua bola mata Agatha terpaksa berputar, bersamaan dengan dia menyemburatkan wajah yang terkesan sebal. Mama sudah berdiri menghadang pintu kamar dengan posisi melipat tangannya di depan dada, entah sejak kapan. Apalagi raut muka Mama menyimbolkan suatu gestur kamu-tuh-dari-mana-aja.
Dengan begitu, ia sudah tahu apa yang harus dijawab. “Dari taman. Atha ketemu sama cowok nggak jelas di sana tadi. Dia kok bisa tau nama Atha, ya?” Agatha berujar, sambil berusaha berdiri untuk naik ke bankar.
Mama mengerutkan dahinya, “Mama bilang juga apa, nggak baik keluar ruangan waktu maghrib-maghrib, banyak setan!”
Agatha menghadiahi ucapan Mama dengan tatapan kesal. “Atha tadi nyesel.”
“Nyesel kenapa?”
“Nggak liat kaki dia, nyentuh tanah atau enggak.” Boro-boro menuruti keinginan Mama, dia malah mengeluarkan sebuah ungkapan yang entah sebagai apa Mama menangkap jawabannya; suatu guyonan atau guratan rasa ejekan.
Tapi Mama lebih memilih untuk meringis, serta memilih opsi pertama, bahwa Agatha sedang guyonan. “Apa, sih, Atha? Kok kamu percaya sama omongan Mama?” Begitulah respon yang Mama cecarkan, sambil menutup separuh tubuh Atha dengan selimut bergambar animasi kucing biru, Doraemon. “Kalau mau ke taman itu bilang, nanti Mama temenin. Jangan asal pergi sendiri aja!”
Kalau sudah begitu, siapa pun yang mau membantah, harus mempersiapkan diri pada suatu repon yang selalu berujung pada penolakan. Maka dengan alasan itu, dia lebih memilih menghela napasnya yang begitu panjang. “Iyaaa, nggak lagi deh.”
Sayangnya, wanita paruh baya itu keburu kesal, “Mama keluar sebentar. Awas ke taman malem-malem!”
Sebenarnya, tanpa Mama meninggalkan sebuah peringatan untuknya, Agatha sudah kapok terlebih dahulu. Huh. Jangan sampai dia berurusan dengan cowok Si Misterius itu. Bukannya ia arogan, tidak ingin berkenalan dengan orang mana pun, tapi karena cowok itu tidak menjawab pertanyaannya secara langsung, dan memilih memberikan sebuah tebak-tebakkan yang tidak guna, maka dengan amat terpaksa Agatha mencantumkan cowok itu dalam daftar orang yang ia tidak sukai.
Langkah kaki Mama masih dalam pengawasan iris mata Agatha.
Belum sempat Mama membuka pintu, seseorang telah membukanya lebih dulu.
“Halooo, Tan! Ahh, kangen.”
Mama tertawa, “lho, Keyla, masuk sini. Kebetulan Tante mau keluar, eh untungnya ada yang jagain Atha!”
Agatha melototkan matanya, senyumnya semakin menjadi, lalu ia tertawa renyah. “Keylaaa….”
“Mama keluar dulu. Keyla, jagain Atha, ya? Tadi Tante kecolongan, dia udah pergi ke taman sendiri.”
Keyla tertawa, “siaaap, Tante. Emang bandel, sih!”
Agatha melotot, “mulai deh, jelekin temen sendiri.”
Lalu tawa mereka berderai, mengiringi kepergian Mama yang entah mau ke mana.
“Kapan pulang?”
“Paling dua hari lagi.”
Keyla mendadak tersenyum lebar. “Gue sebenernya bingung, anak-anak pada nanyain lo ke mana. Apalagi Andra, dia heboh banget nanya rumah lo, nomer telpon lo, bla-bla. Lo sendiri yang nggak ngebolehin gue jujur.”
"Janji sama gue, Key, lo nggak bakalan bilang ke siapa-siapa, soal ini!"
“Iyee, Tha, iyeee.”
“Gue nggak mau, anak-anak pada tau, kalau gue sakit jantung. Terus sekarang gue lagi transplantasi jantung,” kata Agatha sambil menggulir ponselnya.
Keyla mendadak kesal, “gue ke sini jauh-jauh, tapi lo malah mainan hape. Kan sedih gue, Tha.”
Agatha tidak merespon, cewek itu tetap menggulir ponselnya, sambil mengetik pesan dengan serius. Bahkan, muka Agatha mulai memucat, keringat di pelipisnya tiba-tiba mengalir, padahal suhu AC benar-benar dingin.
“Tha, lo dengerin gue, nggak sih?”
Agatha tetap konsen pada layar ponsel.
“ATHA!”
Dengan tarikan napas cewek itu sadar dari pikirannya sendiri, “Key.”
Keyla terlanjur kesal, “bodo amat.”
“Dia tau nomor Whatsapp gue dari mana ya?” tanya Agatha.
Cewek itu ikut larut dengan permasalahan yang Agatha hadapi. “Gue nggak pernah ngasih nomor lo ke Andra, lho!”
Agatha cengo, “kok Andra, sih?”
“Kan dari tadi kita ngomongin sekolah, anak-anak, terakhir Andra.”
Dia menarik napasnya berat. Masa hanya karena pesan masuk dari cowok yang tidak ia kenali, lalu dengan mudahnya Agatha mengganti nomor ponselnya. Mana mungkin?
08222888XXXX: Save nomer gue ya? Ini gue yang tadi di taman. Dah, Agatha Tania.
Dengan rasa cemas yang berlebihan, tanpa disangka-sangka, bulu kuduk Agatha berdiri secara mendadak. Hawa suasana yang dingin juga mendukung perasaannya menjadi kian resah. Jantungnya seperti deburan ombak yang bergemuruh. Bahkan detak jantung Agatha bisa ia rasakan sendiri sampai ke telinga.
“Sebutin nama-nama Planet, cepetan!” suruh Agatha.
Keyla yang melihat perubahan wajah Agatha yang tiba-tiba menjadi aneh, mau tidak mau, ia terpaksa menuruti keinginannya. Wajahnya mendekat, menatap apa yang Agatha lihat dalam ponselnya. Memangnya, sepenting apa hal yang terdapat dalam ponselnya. “Mekurius, Venus, Bumi, Mars, buat apa, sih, Tha? Kok gue jadi bego, sih?”
Agatha menelan ludah, “gue di taman ketemu sama cowok tadi.”
“Tadi?”
“Pas waktu senja.”
Keyla mendecak, memberikan wajah emosional yang teramat penuh. “Letak kesalahannya ada di mana?”
“Dia tiba-tiba tau nama gue, ‘Agatha, ya?’ Masa langsung nyapa gue kayak gitu. Dia tau nama gue dari mana coba? Aaahhhh ….”
Lalu cewek itu terbahak, “Dilan kali?”
“Anjir! Gue serius.”
Keyla menjerit, “terus masalahnya apa?”
“Dia chat gue, bacaaa!” dengan rasa sisa kesalnya, cewek berambut pirang alami itu menyodorkan sebuah ponsel, memperlihatkan sebuah chat yang baru saja ia buka, tetapi belum sempat terbalas. “gue harus gimana, dong?”
“Lo takut banget, ya?”
“Kalau dia macem-macem, gimana?”
Keyla mendadak ingin berkata kasar, “Ya ampun Atha, jangan mikir yang negatif dulu, deh! Barang kali cuma mau temenan, masa ya nggak boleh?”
“Kok bisa tau nama gue sama nomer gue? Kan aneh.”
Di lain sisi, Keyla agak bosan dengan sifat Agatha yang tidak pernah hilang; terlalu berprasangka buruk kepada lelaki mana pun yang ingin mendekatinya. Padahal, kali saja, mereka dekat hanya karena ingin berteman baik.
“Ya udah, dibalas aja yang sopan,” ungkap Keyla, sambil mengetikkan balasan pesan itu.
Agatha: Tau nomer gue dari mana? Gimana gue bisa save nomer lo, kalau nama lo aja gue nggak tau.
Pesan terkirim.
Agatha menjerit, “yaaah, terkirim!”
“Santai aja kali. Lo tuh nggak boleh gitu.”
08222888XXXX: Ngapain lo yang bales? Biarin Agatha yang bales.
“Omaygat,” Keyla menepuk jidatnya. Langsung melempar ponsel itu ke atas pangkuan Agatha, “kayaknya lo bener, dia aneh!”
Dengan tangan yang bergetar, Agatha mengetikkan barisan kata itu.
Agatha: Lo siapa? Dapet nomor gue dari mana? Gue simpen apa, kalau nama lo aja gue nggak tau?
08222888XXXX: Gitu dong. Gue bakalan jawab, kalau kita ketemu lagi. Terserah elo, mau nyimpen apa.
Keyla ingin memastikan lebih detail, siapa orang yang sahabatnya itu temukan. Meski keyla tidak ada urusannya dalam hal peraduan ini, namun Agatha tetaplah sahabatnya. Bagaimana pun, dia juga ingin memberikan sebuah solusi. “Certain gue, gimana lo bisa ketemu nih cowok.”
Dengan dua iris paling cemas, dia memalingkan wajahnya pada Keyla. Menatap cewek itu dengan sungguh-sungguh. Seolah dia ingin sahabatnya mengerti, apa yang ia rasakan. “Gue tuh gambar, tiba-tiba dia dateng, manggil nama gue. Terus dia suruh gue nebak nama dia. Katanya, nama dia adalah salah satu dari nama planet.”
“Jadi itu alesan lo nyuruh gue sebutin nama planet?”
“Iya.”
Jawaban darinya sama sekali tidak masuk dalam pikiran Keyla. Dia tahu betul, siapa Agatha sesungguhnya. Cewek bermata belo itu sama sekali tidak menyukai semacam hal yang berhubungan dengan dunia gambar. “Lo di taman gambar apaan? Bukannya lo nggak suka ngegambar, ya?”
Agatha menepuk jidat. “Bahkan gue nggak bisa gambar, lho, Key. Tapi, ketika gue bangun setelah oprasi, gue minta Nyokap buat beliin sketch book. Kan aneh!” “Ini gambaran lo?”
Cewek itu mengangguk.
“Mata siapa, nih? Gila, kayak nyata banget ya? Padahal baru sepasang mata doang, tapi kayak udah jelas, hasilnya bakalan bagus. Coba lo lanjutin.”
Dengan rasa penasarannya dia mencoba melanjutkan gambarannya lagi, tapi rasanya berbeda. Sementara, tangan Agatha sudah kaku, menggambar garis pun, ia tak bisa. “Tiba-tiba gue nggak bisa gambar. Aneh ya? Kok gue pengen ngakak, sih?”
“Gue malah takut, lo gambar apaan tuh, kalau diterusin,” Keyla bergidik ngeri.
Cewek itu menautkan alisnya. “Dih, lo apaan, sih? Jangan gitu, dong!”
Lalu, ponsel Agatha bergetar kembali.
08222888XXXX: Agatha, cepet save nomer gue.
“Kok dia maksa banget, sih, Key? Lagian, dia tau dari mana?”
Agatha: Udah, dari tadi.
“Bodo gue jawab gitu, deh.”
08222888XXXX: lo belum kenal gue, Agatha, makanya berani ngebohongin gue.
Keyla menjerit lagi, “fix, nih, fix! Dia aneh, cenayang sumpah!”
Agatha tidak merespon ungkapan Keyla, dia langsung menyimpan nomor itu dengan tulisan, ‘Unknown’
Agatha: Done.
Unknown: Jangan disave pakai nama UNKNOWN juga kali.
“Ah, gue harus ganti nomer, Key! Dia pakai ponsel tipe apa, sih, kok tau ya gue simpen Unknown?”
Agatha: Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto. Nama lo siapa?
Tidak ada balasan.
Dia hantu?
Dengan sisa rasa kesalnya, Agatha merubah nama Unknown menjadi Mars.
Mars: Itu lo tau nama gue. Nama gue, Mars. Tha, gue mau minta satu hal sama lo … jangan menghindar dari gue ya? Lo nggak perlu takut sama gue.
Hah?! Kan gue ngasal!
***