XLIII
Pagi hari dimulai lagi,
Sama seperti kemarin, Matahari muncul di cakrawala timur.
Juga burung – burung bercuit – cuitan menyambut hangatnya sang surya.
Pohon – pohon tampak menggeliat, menggugurkan kebekuan melalui tetes – tetes embun.
Emosi pagi hari pun menyebar ke penjuru negeri.
Termasuk ke Mamat.
Laki – laki itu tampak bersemangat.
Dirinya tengah bersiap – siap melakukan hal yang tidak biasa.
Saking tidak biasanya, Mamat merencanakan segalanya sedetail mungkin.
Sungguh laki – laki itu tidak ingin melewatkan kesegaran pagi hari tanpa berbuat sesuatu.
Mesin motor sudah dinyalakan.
Perlengkapan berkendara sudah dikenakan.
“Wussh,” Mamat melaju dengan greget ke suatu tempat.
Gelanggang olah raga,
Tampak seseorang tengah berdiri menyandar pada sebuah pilar.
Pandangannya terus berpindah – pindah ke segala penjuru tempat itu.
Sesekali tampak seseorang itu melihat jam tangan dengan mimik agak kesal.
Mengeluarkan hp. Seseorang itu mengetik pesan.
“Mat, kamu sampe mana? Aku udah capek nunggu nih.”
Lalu mengirim pesan itu. Dan berharap Mamat mau membalasnya.
Eh, tak tahunya orang yang dikirimi pesan tidak lama muncul di depan mata.
Betapa dongkol perasaan seseorang itu.
Tampaknya seseorang itu bersiap – siap mengomeli Mamat.
Raut wajah kesal sudah ditampakkan, termasuk kata – kata yang hendak diucapkan.
Sambil berjalan cepat menghampiri seseorang itu,
“Eh, sorry, Von,, aku telat.”
“Huh, dasar tukang ngaret,, nggak pas sekolah nggak pas libur kalo janjian telat mulu.”
“Iya, iya,, sorry deh,”
“Kamu tahu nggak aku udah nungguin kamu dari tadi. Aku pikir kamu nggak dateng.”
“Aku pasti dateng lah, Von. Kan aku udah janji.”
“Tapi ini udah jam berapa? Lihat nih kaosku aja udah kering lagi keringetnya.”
“Hah? Kamu tadi lari dari rumah kamu?”
“Ya iyalah, lari,, Orang niatnya kan mau olah raga.”
“Hehe,, Aku jadi malu.”, sahut Mamat, sambil menutupi wajahnya.
“Ya udah, kita langsung lari aja. Udah agak siang nih,”
“Oh ya, ya, Siap,,” Sambil mengikuti Vonni yang tampak greget.
Membatin, “Haduuhh,, punya temen maniak olah raga lelah juga rasanya.”
XLIV
Sungguh pagi hari itu mereka berdua tengah banjir.
Rasa gerah meradiasi sekeliling mereka.
Aroma berbau khas semerbak.
Kelelahan. Mamat dan cewek itu terpantau duduk menyandar pada tembok.
Tenaga mereka telah dikuras habis – habisan melalui aktifitas fisik itu.
Menyisakan nafas yang tersengal – sengal. Hampir putus dari raga.
“Haduhh, capek juga ya,”
“Biasa aja kali. Aku udah lari dua kali malahan.”
“Masya allah,, iya, ya,, Kamu kan tadi dari rumah udah lari., Apa kamu nggak capek?”
“Ya capek sih, tapi biasa aja. Aku udah sering lari kok.”, jawab Vonni.
“Hadeww,, nggak ngebayangin, Kamu kuat juga ya.”
“Iya dong, harus,, Nggak pingin aku kalah sama cowok.”
“Haha,, kamu baiknya ikut bela diri juga. Kayaknya pas,”, ucap Mamat.
“?? Apa kamu lupa? Aku kan ikut ekskul bela diri.”
“?? Oh iya, Kamu masih lanjut to latihannya?”
“Ya masihlah,, Tiap rabu kan aku selalu pulang sore. Latihan dulu.”
“Masya allah,, mantep pokoknya dirimu. Udah fisiknya kuat, jago kelahi lagi.”
“Halah, kamu itu,, (agak tersipu) Apa kamu ikut latihan juga?”
“Oh, enggak, enggak,, Aku ini nggak hobi kayak gitu.”
“Eh, ini tu juga untuk jaga – jaga. Siapa tahu ada orang yang bermaksud jahat ke kamu pas di jalan.”
“Halah, tenang aja,, Kan udah ada kamu.”
Sekonyong – konyong sebuah ketakan mendarat di kepala laki – laki tampan itu.
“Aduh,!”, seru Mamat, kesakitan. Memegangi kepalanya.
Dengan nada khas omelan emak – emak. “Enak aja aku disuruh jadi body guard kamu. Harusnya tu cowok yang jaga cewek.”
“Heh, apa kamu lupa? Ini kan zaman emansipasi wanita. Jadi cewek juga harus “jadi body guardnya” cowok.”
Bertambah kesal. “?! Mau aku ketak lagi!?”
“Enggak, enggak, cukup,, Entar kepintaranku ilang kamu ketakin terus.”
Di angkasa, sang surya terus merayap, menuju puncaknya.
Udara menjadi semakin gerah. Tidak sesejuk beberapa waktu yang lalu.
Meskipun begitu sang angin tampaknya sedang giat – giatnya berhembus di tempat itu.
XLV
Saat Yono sedang bermain game,
“Tringing, tringing,” Sebuah pesan masuk.
Sejenak Yono menghentikan aktifitasnya. Meraih hp itu.
“Pagi, kak Yono,, maaf baru bales,, Makasih ya ucapannya kemarin.”
Membaca selarik pesan itu hati Yono menjadi senang.
Tak disangka perhatiannya bersambut.
Mengetik pesan, “Oh ya, makasih juga, dek Erin. Makasih udah bales pesan kakak.”
Lalu mengirimnya.
Sambil berharap ada balasan lagi.
Dan, tidak lama kemudian, Asa itupun terwujud.
“Hehe,, iya kak maaf,, Soalnya baru ada kuota sekarang.”
Tampaknya balasan itu membuat Yono semakin berkobar semangatnya.
“Haha,, gak pa,, Lha ini dek Erin lagi ngapain?”
“Lagi nyantai aja sih, kak.”
“Oo, ya, ya,, makasih ya,”
“Iya, kak,, sama – sama.”
“Yes,! Yes,! Dibales, Dibales,”
“WA ku dibales, Yes,!”
Sambil Yono berjoget – joget langkah pertamanya berhasil.
“Ok, sekarang aku harus berpikir, Aku harus gimana selanjutnya?”
XLVI
Vonni merasakan keanehan pada dirinya.
Dan sungguh cewek itu menyadari apa yang terjadi.
Tapi apa yang hendak dilakukan?
Dirinya hanya bisa membuncahkan rasa.
Tanpa tahu ada tanggapan.
Atau sekadar untuk menyentuh.
“Mat,, kamu makannya pelan – pelan dong, Entar keselek lo,”
“Hm, Hm,”, sahut laki – laki itu sambil memberi jempol.
“Kamu nambah lagi nggak Mat sotonya?”
“Hm, enggak, Lha kamu mau nambah?”
“Hehe,,”
“Haha,, ya nambah aja.”
“Enggak ah, ntar kamu ejekin lagi.”
“Wkwk,, makanya itu kamu nambah biar aku bisa ngejekin kamu.”
“Huuhh,” Vonni tampak kesal.
“Tapi btw,, aku kok masih laper ya,”
“?? Nambah aja, Mat. Nambah aja,”, pinta Vonni, bersemangat.
“Haha,, iya deh,” Sambil laki – laki itu meminta dibuatkan semangkok soto lagi.
XLVII
Malam menjelang,
Mamat gamang akut.
Otaknya tidak bisa digunakan untuk berpikir hal yang lain.
Pikiran laki – laki itu hanya tertuju pada teman ceweknya, Vonni.
“Aku kok rasa – rasanya pingin nembak Vonni ya,”
Sambil melamun di hadapan meja belajar dirinya menggumam.
“Apa aku harus nembak Vonni ya?”
“Tapi kalo aku salah mengerti maksudnya selama ini gimana?”
Mamat benar – benar tidak ingin pertemanannya dengan Vonni hancur berantakan karena kekonyolan itu.
Dirinya menjadi sangat gelisah.
“Ya allah,, tapi kok aku pingin banget nembak Vonni.”
“Astaghfirullah,, apa sih yang sebenarnya terjadi? Kok aku kepikiran banget gini?”
Nekad,
Mamat mengetik pesan,
“Von, kamu udah belajar?”
Hanya beberapa detik pesan itu berbalas,
“Belum,”
“Kok tumben kamu belum belajar?”
“Nggak tau, males aja,”
“Von, aku juga belum belajar. Nggak tau kenapa aku nggak konsen buat belajar.”
“Lha ngapa nggak konsen belajar? Kepikiran Selly?”
“Ih, kamu kok gitu? Ngapain juga aku kepikiran Selly?”
“Ya sapa tau aja, Selly kan cantik, manis, anak orang kaya, pinter lagi.”
“Iya sih, apa yang kamu katakan itu semuanya bener tapi Selly kalah montok sama kamu.”
Mamat melihat lagi pesannya yang baru saja terkirim itu.
Bergumam, “Astaghfirullahal adzim,, ini kalo Vonni marah gimana?”
Maka cepat – cepat laki – laki itu mengetik permintaan maaf dan mengirimkannya.
“Eh, eh, sorry,, aku nulisnya nggak sopan. Sorry ya, Von. Jangan marah,”
“Halah,, udah tau aku. Kamu kan otaknya mesum. Ngeliat orang cuma dari fisiknya aja.”
“Hehe,, Alhamdulillah, kalo kamu udah tau isi otak aku.”, balas laki – laki itu.
“Ya,” Sambil disisipkan emot muka datar.
“Lha kamu kalo ada cowok mesum gimana tanggapanmu?”
“Jujur, Aku pingin bakar otaknya, trus tak kasih makan ke tikus – tikus yang di got – got itu.”
Sontak kata “savage” muncul dalam benak Mamat. Kemudian dirinya membalas kengerian Vonni.
“Astaghfirullah,, otakku jangan mbok bakar ya, Von.”
“Biarin aja, biar kamu nggak mikir yang mesum – mesum lagi soal cewek.”
“Astaghfir,, janganlah, Von,, Aku terlalu bangga sama otakku ini.”
“Punya otak mesum kok bangga. Otak yang pinter itu yang harusnya kamu banggain.”
“Alhamdulillah,, itulah hebatnya kamu, Von. Kalo ada cowok punya cewek kayak kamu insya allah bakal bikin cowok itu bangga.”
“Udahh, nggak usah ngegombal, Apa otak kamu lagi konslet gara – gara tak ketak tadi pagi?”
“Haduuhh, kalo itu udah sejak dulu otak aku konslet, keseringen kamu ketakin.”
“Oh, ternyata salah aku juga ya, Yang error gara – gara tak ketakin otak pintar kamu, tapi bagian mesumnya tetep utuh.”
“Hahaha,, kamu ngetaknya kurang mesra sih,”
“Oh gitu ya, Sini, sini, ke rumahku,, ntar tak ketak pake tongkat silatku.”
“Janganlah,, ntar kalo aku kamu ketak pake tongkat silatmu trus aku gelap mata tiba – tiba nerkam kamu gimana?”
“Ohh, berani kamu nerkam aku?! Ntar kamu tak potong – potong baru tau rasa.”
“Ya jangan salahkan aku to kalo nerkam kamu, Kamu kan yang bikin otak pinterku nggak jalan gara – gara kamu ketak. Apalagi seperti hukum sebab akibat, apabila otak dominan manusia rusak atau tidak berfungsi, maka kerjanya akan digantikan bagian otak yang lain, maksudku kalo nanti otak mesumku tambah meraja lela gimana?”
“Ya bakar aja, Udah nggak guna gitu.”, balas Vonni, menambahkan emot dongkol.
“Kesimpulannya dari perbincangan ini adalah, berarti kamu pingin aku jadi cowok mesum.”
“?? Iya, habis itu kamu tak museumkan trus bagian riwayat hidupnya tak tulisi Orang Yang Nggak Punya Otak.”
“Oh gitu,, Tapi sebelum kamu museumkan, aku bakal nempelin foto kamu di dada aku tak laminating tak solasi trus bawahnya tak tulisi, Orang Yang (Bikin Aku) Nggak Punya Otak. Hahaha,,”
“Idiot,!”
“Haha,, kan nggak punya otak.”
“Whatever lah,”, balas cewek cantik itu, diimbuhi emot kesal.
XLVIII
Pagi hari tiba,
“Aku harus semangat,! Aku harus semangat,! Aku harus semangat,!”
“Harus greget,! Harus greget,! Harus greget,!”
“Harus,!!”, seru batin Vonni.
Tapi, tidak bisa.
Vonni masih tidak greget.
Dirinya masih terbelenggu oleh sesuatu.
Hingga menjelang siang pun cewek itu masih belum bercahaya.
Tampaknya hingga sore nanti awan mendung akan memayungi Vonni.
Ternyata, hal itu membuat temannya bereaksi keras.
“Kamu kenapa sih, Von?”
“Enggak,, aku nggak pa – pa kok.”
“Nggak pa – pa gimana?”
“Ya nggak pa – pa.”, sahut Vonni.
“Kamu lagi mikirin apa?”
“Aku lagi nggak mikirin apa – apa, Wan.”
“Ohh, ya udah,, tapi kamu mesti yakin dengan keinginan kamu itu.”
“?? Maksudnya apa ya?”
“Ya itu, kalo kamu menginginkannya kamu harus yakin dulu. Kalo dari kamu nggak yakin gimana bisa terwujud?”
Kembali melow. “Nggak tau, Wan. Justru keinginan aku itu yang kayaknya malah bikin aku nggak yakin.”, ucap cewek itu.
“Ya dibikin yakin lah, Von. Jangan sampe membebani kamu kayak gini.”
“Tapi caranya gimana?”
“Ya katakan terus terang aja.”
Terheran – heran. “? Kamu tau to, Wan?”
“Tau apa?”
“Ya tau apa yang ku inginkan?”
“Haha,, enggak,, Aku asal ngomong aja tadi. Tapi bener kan?”
“Iya sih, tapi,, Kirain kamu tau,”
“Aku tadi cuma nebak aja. Biasanya kalo kamu kayak gitu biasanya ada sesuatu yang kamu inginkan tapi kamu ragu.”, sahut Wanda.
“Iya, memang,, Aku ragu dengan yang ku inginkan. Aku nggak yakin. Dan aku coba nggak memikirkan itu. Tapi tetep juga kepikiran. Kayaknya aku harus mewujudkan itu apapun akibatnya.”
“Punya tekad yang kuat itu bagus, tapi kamu harus punya cara yang cantik untuk melakukannya. Dan langkah pertama untuk melakukannya, kamu harus menyadari betul keinginan itu. Kamu nggak boleh mengingkari kalo kamu pingin banget seperti yang kamu inginkan itu.”
Vonni menghela nafas. “Iya, Wan,, sejak kemarin aku coba mengingkari kalo aku nggak menginginkan hal itu. Itu cuma nafsuku saja mungkin. Tapi selanjutnya – selanjutnya aku malah nggak enak sendiri seharian itu. Rasanya aku pingin ungkapin segalanya.”
“Ya baiknya memang harus kamu ungkapin semuanya. Kalo nggak bisa ke aku, mungkin bisa kamu tulis, Atau kamu tunjukkan itu secara sembunyi – sembunyi.”
Membatin. “Menunjukkannya dengan sembunyi – sembuyi?”
Melihat mimik temannya. “Gimana?”, tanya Wanda.
“Iya, Wan,, aku ngerti harus ngapain sekarang. Makasih ya, Wan.”
“Iya, sama – sama.”, sahut cewek berkerudung itu.
Dirinya senang Vonni kembali ceria.
XLIX
Tapi, cewek cantik itu masih belum bisa menemukan cara yang tepat.
Alhasil, Vonni hanya berdiam diri di perpustakaan.
Tampak dirinya sedang membaca sebuah buku.
Jika dilihat dari judulnya, itu termasuk bacaan motivasi.
Mungkin dara nan jelita itu tengah mencari penyemangat untuk asanya.
Sungguh Vonni tampak begitu fokus melihat huruf – huruf pada halaman buku.
Sedang asyik – asyiknya menyelami kata – kata mutiara, sesosok makhluk hidup mendekat,
“Akhirnya ketemu juga,”
Vonni terkejut. Melihat ke arah depan.
Karena kesal dirinya berucap dengan nada yang agak tinggi, “Kamu ngapain sih ke sini?!”
“Ssstt,, suara kamu itu lo,”
Sadar tempat. Sontak Vonni menutupi mulutnya. Lalu, melihat sekeliling.
Dengan nada lirih, “Kamu ngapain sih kesini?”
“Kamu kok jahat banget sih? Nemui kamu aja nggak boleh.”
“Iya lah, nggak boleh,, Kamu bikin aku malu aja.”
“?? Kan kamu sendiri tadi yang ngomongnya banter.”, kilah Mamat.
“Iya, tapi itu gara – gara kamu ada di sini., Huh, bikin bt aja.”
“O gituu, Aku bikin kamu bt, Maaf deh,, Aku cuma mau ngajak kamu ke batagor.”
Membatin, “Hah?? Batagor?”
Sontak rasa kesal itu seolah – olah sembuh.
“Tapi kayaknya nggak jadi aja. Kamu lagi bt gitu.”, ucap Mamat.
“Ohh, ngomong aja kalo kamu nggak pingin ngajak aku.”
“Jadi kamu mau?”
“Nggak,”
“Ayolah,, Kamu nggak ada acara kan pulang sekolah ini?”
“Banyak,, Aku mau ngerjain tugasnya pak Jamal.”
“Ayolah,, cuma sebentar aja kok.”
“Enggak,”, sahut Vonni.
“Aku beliin yang spesial deh buat kamu.”
“Ajakan kamu tu menyesatkan.”
“Ya udah, kalo nggak mau, Aku ngajak Selly aja.”
Kesal lagi. “!? Ohh, jadi sekarang kamu ndeketin Selly juga?!”, sahut Vonni, spontan.
Sadar ucap. Cewek itu menutupi mulutnya.
Menjadi salah tingkah. “Ee,, ee,, Ya udah, sana kalo mau ngajak Selly.”
Pandangan Vonni beralih pada halaman buku bacaan.
“Ajakan aku masih berlaku lo, Mau nggak?”
Vonni melihat laki – laki itu dengan wajah kesal. “Ya,”
“Alhamdulillah,,”, sahut Mamat, merasa senang ajakannya diterima.