XXX
Suatu malam,
Ketika dunia ini harus beristirahat.
Tapi, Vonni masih duduk di hadapan tugasnya.
Tampak begitu serius menulisi secarik kertas.
Walau, sesekali dirinya menguap. Lelah.
Tekadnya belum ingin membaringkan raga.
Malam terus merangkak jauh.
Semakin mendekati kegelapan dunia.
Udara dingin pun semakin mendera kesadaran.
Sudah tidak bisa ditahan lagi.
Vonni harus mengistirahatkan tubuhnya.
Kantuk dan bersin – bersin mulai menghinggapi dirinya.
Dara nan jelita itu pun memberesi buku – buku pelajaran.
Menyimpan semua peralatan tulis pada wadah plastik.
Tak lupa menandai tugasnya yang belum selesai.
Dengan wajah lelah dirinya melangkah tidur.
XXXI
Esok harinya,
Saat sang surya tampak cerah di angkasa.
Semangat!
Sungguh luar biasa.
Langkah nan mantap, dan menyenangkan.
Diwarnai harapan untuk tetap melakukan yang terbaik.
Masuk ke dalam kelas. Mamat melihat Vonni tengah membaca sesuatu.
Tampaknya cewek itu begitu larut dalam aktifitasnya.
Kehadiran seseorang tidak disadari Vonni.
“Baca apa, Von?” Sambil melihat cover buku itu.
Terkejut. “Oh, Kamu, Mat!?” Sedikit salah tingkah.
“Kamu mau pinjem tugas hari ini?”
“Haha,, enggak, Aku udah ngerjain kok.”
“Oh ya,” Merasa tidak nyaman dengan kehadiran Mamat.
“Haha,, Ya udah, Aku tak ke kantin dulu.”, ucap laki – laki itu.
“Eh, Mat,, Oh, (tampak menjadi bingung) Ini cuma komik aja kok.”
“Haha,, aku tau. Maksudnya itu komik apa?” Langkahnya tertahan sejenak.
“Cuma komik cewek aja kok.”
“O, Haaa,, Ya udah, lanjutin aja bacanya.”
Laki – laki tampan itu meninggalkan ruangan kelas yang masih sepi.
XXXII
Vonni menjadi bingung sendiri.
Dirinya merasa sekarang mudah gugup saat di hadapan Mamat.
Merasa otaknya tiba – tiba berhenti bekerja.
“Astaghfir,, aku kok jadi aneh gini sih?”, gumamnya, tidak niat lagi membaca komik.
Menyisir ruang kelas. Vonni mencari sesuatu yang tidak ada eksistensinya.
Cewek itu menutup bacaannya. Beranjak dari kursi.
Langkahnya membawa Vonni keluar kelas.
Kantin sekolah,
Tempat yang menyenangkan.
Penuh dengan suka cita. Sekaligus pelanggaran.
Sebuah tempat yang harus diwaspadai saat sedang ada di dalamnya.
“Makan nggak ngajak – ngajak.” Tiba – tiba seseorang berucap.
Terkejut. Mamat menoleh ke kirinya. “Nopo, Von?”
Berjalan. Vonni mendekati temannya.
Lalu meraih sepotong tahu bacem di atas meja.
“Di dalem kelas sepi.”
“Haha,, iyalah, orang masih jam segini.”
“Kamu apa di rumah nggak sarapan to, Mat? Kok pagi – pagi udah jajan?”
“Biasanya sih sarapan, Tadi aja ibu ku bangunnya agak telat.”
“Mm, berarti mama kamu nggak masak?”
“Ya masak sih. Tapi kan udah siang banget.”
“O gitu,”
“Lha kamu tadi sarapan?”
“Iya,”
“Kok udah jajan tahu bacem?”
“Oo,, kamu ngejekin nih.”
“Wkwk,, enggak,, kirain aja,”
Tidak acuh. Vonni memakan tahu itu.
XXXIII
Malam (kembali) datang,
Dewi rembulan menampakkan separuh wujudnya.
Meskipun begitu sinarnya terasa penuh sampai ke bumi.
Bahkan radiasinya mampu menerangi kegamangan seseorang.
Vonni duduk santai di sebuah kursi.
Tampaknya cewek itu sedang menulis sesuatu.
Jari – jemari Vonni meliuk – liuk rapi di atas secarik kertas.
Pikirannya tampak fokus. Dan menghayati apa yang sedang dikerjakan itu.
Cinta itu seperti angin,
Datang dan pergi sesuka hati,
Berhembus kemanapun ingin berhembus.
Kadang hadir di saat yang tepat,
Juga, kadang hadir pada saat terjepit sesuatu.
Namun cinta tetaplah cinta,
Sebuah perhiasan mahal manusia.
Memberikan derajat yang sempurna bagi mereka.
Selesai.
Vonni kembali membaca tulisan itu.
Sungguh suatu ungkapan nan mendalam.
Suatu curahan perasaan yang sangat berarti.
Melihat jam dinding.
Vonni memberesi buku – bukunya.
Juga merapikan kembali alat – alat tulis yang berserakan.
Setelah itu, Vonni membaringkan raganya di atas kasur.