XXII
Suatu pagi,
Saat kehangatan mulai merasuk.
“Hai, Von,, udah ngerjain tugasnya?”
“?? Udah, dong,, Lha kamu?”
“Haha,, seperti biasa.”
“Ah, kamu itu,, Mau pinjem?”
“Hehe,, iyalah. Mau gimana lagi?”
“Iya lah,,” Menyerahkan sebuah buku kepada Mamat.
Sambil menemani laki – laki itu mengerjakan tugas sekolah,
“Kamu tu sakjane pinter lo, Mat. Tapi kok males gitu.”
“Haha,, pinter apaan? Biasa aja kali.”
“Iyalah, pinter,, Sekali diulang langsung bisa.”
“Halah, Itu pas akunya mudeng. Coba kalo nggak mudeng.”
“Astaghfir,, kapan kamu pernah nggak mudeng?, Kamu kayaknya mudeng terus gitu. Bahkan pas kamu tidur aja kamu ngerti pelajaran yang dibahas.”
“Hahaha,, Terlalu memuji kamu., Aku kan ya tanya kamu juga, Von.”
“Eh, sumpah,, beneran, Kalo aku jadi kamu aku bakalan udah jadi juara kelas terus.”
“Hahaha,, kamu kok seneng sih jadi juara kelas?, Aku aja males kalo jadi juara kelas.”
“Eh, jadi juara kelas tu bikin bangga lo. Bikin makin yakin sama kemampuan diri. Juga nyenengin orang tua.”
“Hahaha,, iya deh, Iya,, Aku pasti kalah deh kalo kamu udah ngomong kayak gitu.”
“Kamu tu harusnya juga punya motivasi to, Mat. Jangan males – malesan aja.”
“Huft,, Kalo aku sih jalani aja yang ada sekarang. Ntar kan sampe sendiri.”
“Tapi kamu harus punya tujuan hidup, Mat. Nggak bisa ngalir gitu aja.”
“Hahaha,, Iya, ya,, Mungkin aku harus cari tujuan hidup aku. Tapi aku mesti cari kemana ya?” Sejenak Mamat melayangkan angan – angannya.
Kelihatannya dara cantik itu ikut larut pada dunia ide – ide.
“Yaa, mungkin kamu harus mulai berpikir bikin orang tua kamu bangga sama diri kamu. Atau kamu mulai berpikir mau ngelanjutin kemana setelah lulus sma ini.”
“Mm,, Betul juga ya. Lha kamu mau ngelanjutin kuliah dimana?”
“Aku sih pinginnya kuliah di Jogja. Tapi kayaknya orang tuaku nggak ngizinin.”
“Emang kamu mau kuliah apa di Jogja?”
“Hehe,, itu aku juga belum tahu.”
“Haemm,, Kirain kamu udah ada tujuan kuliah di Jogja.”
“Haha,, Yang penting kan harus punya keinginan dulu, kuliah di Jogja.”
“Siap,, Iya deh, Aku doakan aja, Semoga tujuan kamu kuliah di Jogja itu membawa berkah.”
“Amin,, Amin,, Makasih, Mat.”
Laki – laki itu hanya geleng – geleng kepala, melihat greget temannya.
XXIII
Ketika dunia ini dipenuhi cinta,
Apa yang akan dibawa?
Bagaimana membawanya?
Dan untuk apa membawanya?
Diri ini terlalu lugu untuk mewarnainya.
Vonni meletakkan diary nya.
Lalu melayangkan pandangan ke angkasa.
Seolah – olah angan – angannya sedang berkejaran di atas sana.
Agak lama dara nan jelita itu memandangi awan – awan putih yang berarak.
Perlahan – lahan lamunan Vonni melukiskan wajah seseorang.
Dirinya menjadi terkejut. “?? Apa maksudnya ini?”
Cewek itu takut jika dirinya hilang akal.
Seketika itu juga pengingkaran merasuk ke dalam sanubari Vonni.
“Ngelamun aja, mbak.” Tiba – tiba seseorang berucap.
Terkejut. “Eh, Wan,,” Vonni membenahkan lagi kesadarannya.
Duduk di kiri Vonni. “Lagi mikirin apa?”
“Enggak,, lagi pingin menyendiri aja.”
“Apa aku boleh tau?”
“Bukan masalah yang besar kok, Wan.”
Tersenyum. “Iya deh,”
XXIV
Saat istirahat siang,
Di taman bunga sekolah nan rindang.
Seorang cewek tampak gamang.
Raut wajahnya tidak teratur, Seolah – olah ada di dua kutub.
Keinginannya saling tolak,
Sekaligus tarik menarik.
Alhasil, cewek itu bingung akut. Ingin, tapi tidak ingin.
“Wan, apa aku putus aja sama Yono ya?”
“Lha kenapa to, Ken?”
“Yono tu mintanya yang enggak – enggak soalnya.”
“Yang enggak – enggak gimana?”
“Minta kissing lah, pegang – pegang itu lah, raba – raba iniku lah, Mesum deh pokoknya.”
“Ya kalo kamu nggak nyaman mending putus aja.”, ucap Wanda.
“Tapi aku masih cinta sama dia,”
“Lha gimana? Kalo dia terus manfaatin kamu gimana?”
“Aku udah kasih waktu supaya berubah.”
“Kayaknya itu nggak mungkin deh, Ken. Orang udah jadi kebiasaannya begitu.”
“Lha tanggapannya gimana?”
“Yaa, dia sih mau – mau aja aku suruh berubah.”
“Halah,, paling karena dia belum ada target baru aja, Coba kalo ada target baru bakal diputusin kamu.”, sela Vonni.
“Bener, Ken,, sebelumnya kan rumornya Yono pernah jalan sama Siska, pas dapet kamu baru tu cewek diputusin.”
“Ih, nggak ngehargai cewek banget tu cowok, kayak kita ini piala bergilir aja.”
“Kayaknya kamu mending putus aja deh,”
“Bener, Ken,, daripada ntar kalo kalian khilaf, malah jadi masalah.”
XXV
Malam hari pun tiba,
Dewi rembulan menampakkan diri di angkasa.
Walaupun agak mendung tapi sinar sang dewi masih bisa dirasakan relung jiwa manusia.
Sungguh radiasi dewi rembulan telah membuka kesadaran Wanda.
Dirinya menjadi gelisah atas sikap Vonni setelah kejadian waktu itu.
“Mal, kamu ngerasa Vonni bersikap aneh nggak akhir – akhir ini?”
“Enggak, Emang aneh gimana?”
“Ya aneh aja, Vonni kayak nyembunyiin sesuatu dari kita.”
“Ya biar aja, Ntar kan kalo Vonni mau cerita, dia bakalan cerita.”
“Oh gitu ya, Iya deh,”, balas Wanda.
Tapi cewek pintar itu masih kurang puas.
Dirinya pun hendak mengirim pesan ke seseorang.
“Ken, kamu akhir – akhir ini ngerasa aneh gak sama sikapnya Vonni?”
“Aneh gimana maksud kamu?”
“Ya aneh aja, Dia tu kayak suka menyendiri sekarang.”
“Iya sih, Aku juga ngerasa gitu, Kadang tu Vonni sering duduk sendirian gitu di gazebo.”
“Kamu tau nggak kenapa Vonni jadi kayak gitu?”
“?? Malah aku kira tu kamu tau sebabnya Vonni kayak gitu.”
“Aku juga nggak tau kali, Ken. Makanya aku tanya kamu. Siapa tahu Vonni cerita ke kamu.”
“Oh, enggak tuh, Vonni nggak pernah cerita apa – apa ke aku.”
“Oh gitu, Ya udah deh, Makasih ya, Ken.”
“Ya, sama – sama, Wan.”
Membatin. “Apa mungkin ini ada hubungannya sama Mamat ya? Tapi kenapa juga sampe Vonni kayak gitu?”
“Biasanya juga dia nggak peduli gitu sama Mamat.”
“Aku ngerasa kayaknya Vonni suka deh sama Mamat, tapi nggak berani ngomong.”
XXVI
Suatu hari,
Saat sang surya masih teduh.
Mamat tampak bersemangat.
Dirinya memasuki ruang kelas dengan mantap.
Setelah meletakkan tas di kursinya, Mamat menghampiri seseorang.
Di hadapan seseorang itu. “Von, aku udah ngerjakan tugasnya pak Midun, Mau nyalin gak?”
“??, Aku juga udah kali.”
“Oh, kirain kamu belum ngerjain.”
“??, Emang kamu yang senengnya minjem tugasku.”
“Haha,, Aku pikir bisa membalas kamu.”
“Hahaha,, Udahh, nggak usah kamu pikirin.”
“Hmm,, Kalo butuh bantuan di luar tugas sekolah kasih tau ya,”
“??, Iya dehh, Ntar kalo aku nyasar tak WA kamu.”
“Wkwkwk,,” Mamat ikut tertawa bersama Vonni.
“Ya udah, aku tak ke kantin dulu,”
“Ya,”, sahut cewek cantik itu.
Setelah Mamat berlalu dari ruang kelas,
“Mamat kok jadi aneh gitu ya sikapnya?, Tumben dia perhatian banget.”
Tiba – tiba ketidaksadarannya menyeruak.
“Hus, hus,, Stop! Nggak mungkin Mamat suka sama aku.”, ucap batin cewek itu.
Ketidaksadarannya kembali memberikan contoh – contoh peristiwa.
“Enggak,, enggak,, itu cuma kebetulan aja,, Yup, itu hanya kebetulan aja.”
XXVII
Jeda istirahat KBM,
Vonni melihat Mamat.
Tampaknya keanehan terjadi di dalam kesadaran cewek itu.
Otak reptilnya banjir informasi.
Saluran emosi cewek itu menjadi meletup – letup.
Juga ketidaksadaran Vonni seolah – olah menariknya untuk berbuat sesuatu.
Di hadapan Mamat. “Tumben kamu ngerjain akuntansi sendiri.”
Terkejut. “Ohh, Kenapa? Heran ya, Aku kan pingin nyaingin kamu.”
“Haha,, nyaingin aku dalam hal akuntansi? Coba aja kalo bisa,”
“Eh, bisa kali,, Nih, lihat,,” Mamat menunjukkan hasil corat – coretnya.
Dengan saksama Vonni melihat kolom – kolom itu.
Menghela nafas. “Lha trus aktiva pasivanya balance gak?”
“Enggak, Hahaha,,”
“Dasar,” Vonni tampak dongkol.
“Kamu kalo nggak teliti gini gimana mau nyaingin aku?”
“Lha habis ribet sihh,”
“Udah ni, perhatikan,!”, perintah Vonni.
Cewek nan cantik jelita itu mulai menjelaskan cara pengerjaan yang benar.
XXVIII
Ketika cinta hadir dalam diri,
Kesadaran menjadi tidak berdaya.
Keyakinan menjadi rapuh.
Juga otak seolah – olah beku.
Tiba – tiba seseorang memecah lamunan cewek itu,
“Kamu kok belum pulang, Von?”
Menghela nafas. “Aku belum pingin pulang.”
“Ohh,” Sambil Mamat melihat ekspresi dara nan cantik jelita itu.
“Apa kamu lagi nunggu seseorang?”
“?? Nggak juga sih, Aku lagi pingin pulang telat aja.”
“Ohh, gitu,, Ya udah, aku tak balik dulu ya.”, ucap laki – laki itu, hendak berlalu.
“Ya,” Vonni tampak semakin tidak greget.
Sambil dirinya melihat Mamat berlalu.
Sendirian lagi di gazebo sekolah. Tampaknya Vonni sedikit menyesal.
“Kenapa aku nggak bilang aja kalo aku pingin ngobrol?”
Sungguh, apa yang diharap tidak terjadi.
Apa yang diinginkan tidak terwujud.
Rasa itu membuat tidak bisa jujur.
XXIX
Taman kota,
Tampaknya pohon – pohon besar berhasil meminimalkan radiasi matahari nan terik.
Bahu membahu bersama sang angin, pohon – pohon besar itu memberikan keteduhan.
Tapi, di sudut taman itu,
“Ken, kasih cium dikit dong,”
“Enggak ah, Bukan mahramnya.”, sahut Niken.
Tampaknya laki – laki itu terus memaksanya.
“Ntar kan kita jadi mahram.”
“Kan ntar, Sekarang kan belum.”
“Ayolah, Kenn,, Dikiitt aja,”, desak laki – laki itu.
“Enggak, Yonn,, Aku udah bilang enggak, ya enggak.”
“Ah, kamu pelit,, Nggak seru,”
“Yon, jangan cemberut gitu dong,”
“Lha aku minta kasih cium sedikit aja nggak boleh kok,”
“Yang lainnya aja deh, Minta dibeliin apa misalnya, Es campur?”
“Nggak usah, Aku nggak haus.”
“Yon, senyum dong, Jangan cemberut gitu,”
“Aku kasih cium dikit to, ntar aku nggak cemberut deh.”
Menyerah. “Iya dehh, Tapi bentar aja lo,”, sahut Niken, berdebar – debar.
Dan, ciuman itu terjadi,
Tapi namanya cowok, bukan Yono kalau tidak curi – curi kesempatan.
Laki – laki itu agak menyimpangkan ciumannya.
Alhasil, Niken terprovokasi untuk menyimpang pula.