Prolog
Dalam bayanganku kamarnya dipenuhi coretan rumus-rumus yang tak aku mengerti di dinding dan jendelanya, seperti John Nash dalam film A Beautiful Mind. Karena aku selalu memandangnya sebagai John Nash, si jenius yang tenggelam dalam dunianya. Hanya terdapat lampu meja yang menyala di siang dan malam, karena dia tidak suka terlalu terang. Dia nyaman dalam gelap. Jendela yang tidak pernah dibuka hingga engselnya berkarat membuat kamarnya terasa pengap. Dan cat kamarnya berwarna madu.
Sekarang, aku duduk di pinggiran tempat tidurnya. Menyadari seberapa salahnya bayanganku akan kamarnya.
Warna cat kamarnya putih dengan jejak hujan di sekelilingnya. Alih-alih coretan rumus kamarnya dipenuhi tempelan kertas-kertas folio yang diselotip seadanya. Kertas berisi penjabaran rumus itu sebagian jatuh ke bawah karena jendela kamarnya terbuka. Jendelanya terbuka.
Dengan terus menahan tangisku aku membersihkan kamarnya. Aku mengutuknya yang tega membuat kamarnya benar-benar berantakan seperti ini. Baju di sudut sana, beberapa kertas kotor di sini, bahkan ada banyak bungkus rokok. Aku tidak suka kalau dia merokok tapi lebih tidak suka caranya membiarkan punting rokok bertebaran di kamarnya.
“Ara.” Dari luar kudengar suara Rynda memanggil.
“Di dalam sini, Ryn.” Kataku.
Aku mendengar langkah kaki cepat. Sampai di depan pintu Rynda tertegun sejenak, dia sama terpesonanya denganku melihat kamar Dewa.
“Dia benar-benar jorok.” Kata Rynda.
Aku tertawa, “semua orang jenius sepertinya gitu Ryn.”
Dia membelalakkan matanya. “Tapi nggak sejorok dia.”
Aku memunguti kertas-kertas yang bersebaran di kamarnya. Sebagian dari kertas ini berisi rumus-rumus atau kalimat fisika, aku tidak mengerti sama sekali dengan fisika. Tepatnya aku benci fisika. Mataku tertambat pada kertas yang dilipat rapi di bawah tempat tidur, dia letakkan tepat di atas kardus sepatu yang berisi bulpoin-bulpoinnya yang sudah habis.
Aku meraih kertas itu membukanya. Nafasku tercekat hanya karena membaca judul kertas-kertas itu. Itu sebuah surat. Ada tiga surat; Untuk Anne, Untuk Abi dan I’m sorry.
“Ada apa Ra?” tanya Rynda. Dia mendekat kepadaku, melepas surat itu dari tanganku hingga aku tak sempat membacanya.
“Itu, tulisan Dewa.”
***