Cari aku dalam pekatnya malam
Dalam pelukan sang rembulan
Karena saat itu sakitku terlepaskan,
dan senyumku bukan sebuah kepalsuan
______________
Attaya, perempuan penyuka malam, lebih tepatnya tengah malam. Malam seolah menjadi candunya untuk berproduksi, berkutat pada mimpi yang bahkan hanya untuk memimpikannya pun membutuhkan perjuangan baginya.
Attaya pernah mengatakan bahwa salah satu tulisan favoritnya, "Jika tak kau temukan ragaku dalam terang, maka carilah aku dalam pekatnya malam, dalam sunyinya rembulan dan bintang."
Namun tak seorang pun paham secara pasti tentang pernyataan itu. Atau lebih tepatnya tidak ingin paham. Toh, masih ada yang lebih penting daripada tulisan favorit milik Attaya.
Kehidupannya adalah kehidupan malam—bukan, bukan kehidupan malam yang berkonotasi negatif seperti dunia malam milik para perempuan "life goals" saat ini. Tak perlu dijelaskan lebih rinci kan? Sungguh, Attaya sama sekali tidak pernah masuk ke diskotik ataupun cafe remang-remang. Sepanjang 19 tahun hidupnya, hanya perpustakaan, toko buku, dan cafe buku lah yang menjadi tongkrongan favoritnya.
Ketika orang-orang beranjak menuju alam mimpi, Attaya beranjak menuju sudut kamar kosnya, berkutat dengan komputer yang menjadi satu-satunya penerangan di kamarnya. Attaya memerhatikan berkas-berkas dipangkuannya dengan serius, dahinya sedikit berkerut lalu ia alihkan pandangannya melihat progress program yang tengah loading sembari menaikkan kacamata anti radiasi yang tidak mau bertahan lama pada jenis hidung sepertinya. Terus begitu hingga ia tak merasa bahwa malam mulai beranjak menjauh.
Kehidupan sosial Attaya baik-baik saja, menurutnya baik-baik saja. Sikapnya yang cenderung apatis membuatnya mampu bertahan sejauh ini, bergemul dengan dirinya sendiri yang acap kali menjadi bahan pembicaraan orang lain. Bukan dibicarakan karena prestasi gemilang yang mengharumkan nama kampus—ia inginnya seperti itu tapi bukan—namun seringkali karena orang-orang menyebutnya aneh dan mengomentari segala perilakunya yang bertentangan dengan perilaku orang normal pada umumnya.
Attaya tetap keukeuh pada pendiriannya bahwa ia adalah manusia yang unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sesuai dengan keyakinannya, setiap manusia dilahirkan dengan keunikannya masing-masing, termasuk dirinya. Seburuk apapun dia, jika ia tidak melanggar norma agama maka hidupnya akan baik-baik saja.
Sebagian besar yang berada di lingkungan Attaya menyerukan pendapatnya bahwa Attaya memang perempuan aneh. Berulang kali teman (cukup) dekatnya berusaha membuat Attaya tampak tidak aneh lagi, namun nihil. Attaya sama sekali tidak peduli. Ia hanya mengikuti alur seolah ia mengikuti rencana temannya, namun pada akhirnya tak ada satupun yang berhasil. Awalnya iya iya saja. Namun siapa yang mau percaya dengan “iya”nya Attaya?
Attaya memiliki prinsip hidup yang cukup berani di jaman saat ini. Prinsip ini membuatnya tidak ingin berubah untuk teman-temannya, selagi tak ada yang dirugikan karena keunikannya, ia teguh menjaga hal berbeda yang dimilikinya. Selagi perilakunya tidak bertentangan dengan norma, maka apa urusannya dengan yang orang lain bilang? Bukankah tidak ada kesalahan menjadi seorang yang di luar kebiasaan?
Attaya.... Attaya....
Bagaimana mungkin ketika teman sebayanya sibuk dengan sinetron bertema cinta di televisi, Attaya sibuk dengan novel best seller yang dipajang di toko buku kenamaan. Temannya sibuk dengan drama Korea yang laki-lakinya sangat tampan pun tak mampu mengubah preferensinya terhadap laki-laki. Bagi Attaya, dunia dua dimensi adalah dunia paling menyenangkan meski tidak dipungkirinya bahwa aktor Korea adalah tampan dan juga dua dimensi di televisi namun mereka nyata ada di dunia.
Iya, Attaya menyukai tokoh dua dimensi yang hanya ada di buku-buku favoritnya.
Tak hanya novel yang menjadi candu baginya, ensiklopedia dan kamus pun dilahapnya. Meskipun ia rajin membaca, Attaya tak kunjung tampak pintar juga. Gimana mau pintar, kadang dia hanya membaca tanpa meresapi apa yang dibacanya. Diperparah dengan sifat pelupanya. Attaya itu tipe perempuan yang akan ingat apa yang telah dibacanya apabila ada pemantik memorinya, seperti pertanyaan ataupun potongan kalimat. Kalau diminta menceritakan bagaimana isi buku yang telah ia baca? Duh, jangan harap deh!
Nah, hal ini lah yang menyebabkan orang-orang bingung terhadap dirinya. Biasanya, orang yang rajin membaca akan tampak pintar dan berkelas, namun ternyata hal itu tidak berlaku baginya, Attaya Kusuma Kamil.
Attaya berpikir kalau televisi adalah hal teraneh yang pernah ditemuinya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menonton cerita yang uuh, nggak banget deh, beratus-ratus episode banyaknya. Durasi yang panjang—sangat panjang malahan dan kualitas gambar yang kurang baik, acak adut banget. Belum lagi alur cerita yang mudah ditebak, konflik yang tampak sangat dipaksakan dengan akting yang dia sendiri bingung harus mengapresiasinya atau menangisinya.
Dibalik beberapa keanehannya tersebut, ia juga memilki kesamaan dengan anak-anak seusianya, gadget sangat berharga baginya. Tanpa gadget, hidupnya terasa hampa. Meskipun ia sadar bahwa ia merasa hampa tanpa gadget, tetap saja ia bersikukuh kalau dia tidak memiliki ketergantungan terhadap benda sejuta umat tersebut.
Attaya memang unik, berbeda dengan perempuan lainnya yang kerapkali mengatakan bahwa cinta pertama mereka adalah ayahnya, entah itu benar atau tidak, yang pasti bagi Attaya cinta pertamanya adalah buku. Berlaku untuk cinta keduanya, buku, cinta ketiganya buku, keempat buku, kelima buku, keenam buku, dan begitu seterusnya. Hingga orang pun akan jera jika menanyakan siapa cinta pertamanya dan bagaimana kehidupan percintaannya.
Tenang saja, Attaya tidak seaneh pandangan orang-orang terhadap dirinya. Maksudnya tidak seaneh deskripsi orang lain kepada dirinya. Dia bukan perempuan berpenampilan nerd dengan rambut hitam yang dikepang simetris dua sisi. Ia hanya mengenakan kacamata bulat besar yang seringkali melorot ke hidungnya yang bersudut kecil, pesek, hal ini yang seringkali mengundang decak kesal dari bibirnya yang tipis tanpa volume yang berlebih. Hanya saja... penampilannya cukup unik jika dibandingkan dengan teman Attaya lainnya, seperti bajunya yang tidak cocok atau apapun itu terkait dengan sense fashionnya Attaya.
Attaya menyukai flower skirt, hampir setiap saat ia mengenakan flower skirt dengan jenis yang berbeda, seperti rok jenis umbrella, span. Dan jangan lupakan kalau Attaya juga sering memadukannya dengan kemeja hitam berlengan panjang. Yang menyebabkannya sedikit unik adalah kemeja tersebut adalah kemeja dengan panjang mencapai lututnya. Tak peduli apapun skirt yang digunakannya, baju yang dikenakannya akan selalu sama, for continuous days. Setiap orang yang pada dasarnya hanya memiliki short term memory tentang warna atau jenis baju yang dikenakan oleh orang lain, namun untuk baju yang dikenakan oleh Attaya hal itu tidak berlaku, short term memory orang lain akan berubah menjadi long term memory.
Attaya melirik jam dinding, hadiah undian dari supermarket langganannya. 01.45. Sudah lewat tengah malam, namun Attaya masih berkutat di depan komputernya. Tubuhnya mulai bergerak gelisah. Attaya ingin tidur, namun progamnya belum selesai. Attaya tidak ingin tidur, namun jika ia tidak tidur maka peluang mengantuk di kelas akan semakin besar. Attaya ingin tidur, namun khawatir peluang terlambat ke kampusnya akan semakin besar. Attaya tidak ingin tidur, karena kalau di siang hari ia sama sekali tidak akan menyentuh pojok kamarnya. Attaya ingin tidur, karena dia tahu kalau bergadang tidak baik untuk tubuhnya.
Attaya bingung, ia ingin tidur tapi tak mau tidur. Sebenarnya Attaya mau apa sih?
Dia masih bergerak gelisah. Tubuhnya mulai menggeliat di kursi empuk kebesarannya. Sungguh, ia tampak sangat kebingungan. Attaya menggeleng pelan, menyusun pilihan untuk tidur atau tidak tidur. Dibenaknya berputar segala alasan yang mendukung kebutuhan tidurnya, namun tetap saja ada banyak alasan untuk memberontak agar tidak tidur.
Mungkin, bagi orang lain memutuskan tidur atau tidak tidur adalah hal yang mudah, namun tidak bagi Attaya. Dia membutuhkan waktu yang lama dengan berbagai pertimbangan yang kurang penting.
Attaya mendengus kesal, keputusan yang dipilihnya adalah keputusan yang mengesalkan. Dengan gerakan terpaksa, ia bangkit dari kursi empuknya, merapikan kaos kebesaran favoritnya dan langsung menuju tempat tidur dengan rasa malas.
"Semoga nggak keblabasan."
Dengan gesture tubuh malas, direbahkan tubuhnya, ditajamkannya pendengarannya?mendengarkan dengan seksama bunyi jarum jam yang yang bergerak serempak dengan detak jantungnya, lalu mengitung angka satu hingga 10. Terus begitu berulang-ulang, hingga ia jatuh tertidur pulas, tanpa bunga tidur yang menggangu pekatnya malam.