6
Keesokan hari dan esoknya lagi, Cendi menghabiskan waktu dengan hanya berdiam diri di kamar. Tak cukup dengan memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Cendi, Tiara tiba-tiba menjelma menjadi baby sitter supercerewet yang memaksanya istirahat. Tiara tak menghendaki Cendi keluar dari kamar untuk alasan apa pun. Tiara bahkan mengurus semua kebutuhannya, seperti makan dan lain-lain. Tiara juga setia menunggui sampai menginap di kamar Cendi untuk memastikan ia baik-baik saja. Hanya sesekali Tiara meninggalkan kamar Cendi. Itu pun tak pernah lebih dari setengah jam.
Padahal dokter mengatakan kondisi Cendi baik, hanya butuh istirahat cukup untuk memulihkan tenaga. Tapi tetap saja Tiara memperlakukan Cendi seolah ia baru sadar dari koma panjang.
Kadang Cendi heran, kenapa Tiara begitu perhatian padanya. Sejak mengenalnya di bangku SMP, Tiara seolah menjelma menjadi seorang kakak yang selalu menjaganya kapan pun. Tiara bahkan cenderung protektif. Dan semakin berlebihan setelah menjalin hubungan dengan Nicho.
Pernah sih, suatu kali Cendi iseng bertanya pada Tiara tentang sikapnya yang begitu baik dan selalu melindunginya itu. Tiara justru menjawab dengan ringan, “Habis, kalau lihat mukamu yang memelas itu, rasanya aku jadi kasihan. Makanya aku selalu melindungimu.” Atau Tiara akan menjawab, “Gimana, ya? Soalnya kalau lihat matamu yang persis anak kucing telantar itu, aku jadi nggak tega membiarkanmu sendirian.” Kadang dia juga menambahkan, “Lagian kamu juga terlalu baik, sih. Kamu mudah percaya dan nggak pernah curiga sama orang lain. Kalau aku nggak menjagamu, ntar kamu dikerjain terus.”
Cendi tak bertanya apa-apa lagi setelah mendengar jawaban Tiara yang terkesan asal-asalan itu. Ditanya berapa kali pun, pasti jawaban Tiara begitu-begitu juga.
Cendi memandang pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Dia jadi teringat Rocky. Sejak menyelamatkan dan membawanya kembali ke hotel, Cendi tak pernah melihat pemuda itu lagi. Hal terakhir yang diingat Cendi adalah saat Rocky mengangkat tubuhnya dan dia terlelap pada dada bidang pemuda itu.
Cendi masih mengingat jelas suara detak jantung Rocky yang begitu menenangkan hingga membuatnya kembali terlelap dalam damai.
Cendi bertanya-tanya kenapa Rocky tak datang untuk menengoknya. Namun, sekejap pikiran itu ia enyahkan. Memangnya Cendi siapanya Rocky? Mereka bahkan baru kenal beberapa hari yang lalu.
Ah, saling mengenal lebih tepatnya. Karena hanya Rocky yang baru mengenalnya kemarin. Cendi, sih sudah mengenal cowok itu sejak lama. Ia kali pertama melihat Rocky dalam suatu berita olahraga singkat di televisi. Saat itu Rocky baru saja meraih juara pada satu sesi balapan Asian Formula GP3. Suatu kabar membanggakan dari anak bangsa mengingat usia Rocky yang masih 14 tahun saat itu. Bahkan ia menjadi pembalap termuda di antara pembalap lainnya pada ajang bergengsi itu.
Sejak pertama melihat Rocky pada layar televisi, Cendi langsung tertarik pada bocah itu. Wajah Rocky yang manis dengan pipi tembem dan mata sipit oriental terlihat sangat menggemaskan baginya. Sejak saat itu, bagaikan fangirl, Cendi mulai mengoleksi foto-foto Rocky yang didapatnya dari internet. Ia juga kerap mengakses berita terbaru dari pembalap muda itu. Bahkan tak ingin sekali pun kehilangan momen balapan yang diikuti Rocky. Cendi seolah tak bisa berpaling dari bocah itu.
Tapi tentu saja itu hanya perasaan antara penggemar dan idolanya, tak lebih. Cendi sadar posisinya. Usianya beberapa tahun di atas Rocky. Tak layak rasanya jika ia menyimpan perasaan lebih pada Rocky yang bisa dibilang masih remaja.
Bosan, Cendi beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah menuju balkon, ingin melihat suasana senja. Mumpung Tiara sedang keluar sebentar. Lagi pula, ia sudah merasa benar-benar sehat. Tak ada alasan lagi bagi Tiara untuk tetap mengurungnya.
Langit senja selalu terlihat indah dan menenangkan bagi Cendi. Mungkin itu alasan ia sangat menyukai senja. Pemandangan matahari terbenam benar-benar menakjubkan.
Cendi menoleh sekilas ke arah balkon kamar sebelah. Sepi. Pintu balkon tertutup. Sepertinya tidak ada orang di kamar itu. Mungkin Rocky sedang berjalan-jalan di pantai menikmati pemandangan matahari terbenam seperti yang tempo hari dilakukan bersamanya. Mungkin bersama dengan saudara-sadauranya. Mungkin juga sendirian, atau… bersama seorang gadis cantik entah siapa.
Rasa perih tiba-tiba menguar di dalam dada Cendi kela memikirkan kemungkinan terakhir. Ia berusaha membuang perasaan itu. Ia kan bukan siapa-siapanya Rocky. Lagi pula, Rocky hanya anak kecil. Cendi tak boleh dan tak mau jatuh cinta pada anak kecil. Ia tak butuh anak kecil dalam hidupnya. Dia hanya butuh sosok pria yang bisa melindunginya. Seperti prinsipnya selama ini: I don’t need a boy, I just need a man.
***
Cendi menutup ritsleting koper setelah selesai mengemasi semua barang-barangnya dan duduk diam di tepi ranjang. Sebentar lagi ia dan teman-temannya akan berangkat ke Lombok. Namun, seperti ada yang mengganjal di dalam benaknya. Cendi merasa tidak enak pergi begitu saja tanpa berpamitan dulu pada Rocky.
Bagaimanapun, meski baru kenal, mereka sudah pernah menghabiskan waktu bersama. Dan Rocky juga yang telah menyelamatkan nyawanya. Secara tidak langsung, mereka sudah menjadi teman.
Tapi bagaimana cara berpamitan pada Rocky? Ia bahkan tak menyimpan nomor ponselnya.
Agak aneh memang, mereka tak bertukar nomor ponsel setelah menghabiskan malam bersama. Entahlah, waktu itu Cendi sama sekali tak kepikiran meminta nomor ponsel Rocky atau memberikan nomornya.
Tidak mungkin juga ia ke kamar Rocky. Menurutnya agak tidak pantas anak gadis mengunjungi kamar laki-laki yang baru dikenal.
Setelah beberapa saat berpikir, Cendi segera bangkit, lalu melangkah menuju balkon. Kehangatan matahari yang baru terbit langsung menyambutnya. Ditengoknya balkon kamar sebelah. Sepi. Rocky sama sekali tak muncul. Bahkan seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di kamar itu. Apa mungkin Rocky sedang pergi lagi?
Cendi mendesah kecewa. Tadinya ia berharap bisa bertemu Rocky di balkon. Mungkin ia memang harus pergi tanpa berpamitan pada Rocky. Lagi pula, Rocky kan bukan siapa-siapanya. Sebenarnya ia juga tak punya kewajiban untuk berpamitan pada pemuda itu. Bahkan mungkin Rocky juga tak peduli.
Cendi hendak melangkah kembali ke kamarnya ketika seseorang muncul di balkon kamar sebelah. Senyum lebar langsung terbit di wajahnya karena mengira itu Rocky. Tapi senyumnya seketika luntur dan berganti dengan rasa terkejut campur kecewa ketika menyadari bahwa yang berdiri di balkon itu ternyata bukan Rocky, melainkan seorang wanita muda cantik berambut pirang dan bermata biru cerah.
***
Matahari masih berada sepertiga di atas kepala. Hari masih cukup pagi dan angin laut bertiup lembut. Cendi berdiri di tepian feri yang baru saja berangkat dari Pelabuhan Benoa, Bali, menuju Pelabuhan Lembar, Lombok.
Awalnya teman-temannya berniat naik pesawat, tapi Cendi berkeras mau naik feri dengan alasan ingin melihat laut. Terpaksa tiket pesawat yang sudah dipesan tak jadi digunakan. Cendi tak memaksa teman-temannya untuk ikut naik feri bersamanya. Ia sama sekali tak keberatan jika mereka memilih naik pesawat. Tapi mereka sendiri yang tak bisa melepas Cendi sendiri.
Cendi menatap air yang bergolak di bawah kapal. Angin laut terasa lembut menerpa wajah dan rambutnya. Pikirannya tak bisa lepas dari wanita pirang yang ditemuinya di balkon kamar Rocky pagi tadi. Meski sudah berusaha keras melenyapkan pikiran itu dari kepalanya, bayangan Rocky bersama wanita asing terus saja menghantuinya.
Jujur, dalam hati Cendi merasa sangat kecewa terhadap Rocky. Ternyata Rocky tak semanis kelihatannya. Image-nya di mata masyarakat adalah anak manis, pendiam, bahkan tak punya reputasi apa pun yang berhubungan dengan wanita. Setidaknya itulah yang tertangkap media.
Di mata Cendi, Rocky juga terlihat manis dan polos. Masih tak berubah sejak pertama dia melihatnya. Sama sekali tak menyangka ia bisa memasukkan wanita ke dalam kamar. Berarti perkiraannya tentang Rocky selama ini salah. Begitu juga perkiraan semua orang.
Mungkin terlalu lama tinggal di luar negeri dan terlalu sering bergaul dengan orang asing membuat sikap Rocky berubah. Ia bukan lagi anak manis yang pemalu, lugu, dan polos. Di dalam pergaulannya, memasukkan wanita ke dalam kamar bukanlah hal besar, bahkan mungkin sangat wajar.
Tapi sebenarnya kenapa Cendi harus merasa kecewa? Bukankah mereka tak punya hubungan apa pun? Bukankah ia juga telah memutuskan tak akan jatuh cinta pada pemuda itu karena baginya Rocky hanya anak kecil dan ia tak butuh anak kecil dalam hidupnya?
Lalu kenapa Cendi merasa kecewa saat mengetahui Rocky tak seperti yang selama ini dipikirkannya? Kenapa ia harus merasa terganggu dengan keberadaan gadis pirang itu di kamar Rocky?
Cendi juga tak mengerti kenapa bisa begitu. Pernah jalan bersama sekali tak lantas membuatnya berhak mengatur apa yang boleh Rocky lakukan. Ia juga tak berhak kecewa atau terluka atas apa pun yang diperbuat pemuda itu. Sayangnya, perasaan aneh itu muncul begitu saja memenuhi dadanya tanpa bisa dibendung atau dibuang.
Like.
Comment on chapter Prolog