1
Pandangan Cendi lurus menatap televisi 40 inci yang menayangkan seri terakhir balap mobil formula, FIA GP2. Sama sekali mengabaikan ketiga temannya yang tengah mengobrol seru entah tentang apa. Sekilas tadi ia mendengar tentang tahun baru, liburan, atau apalah. Baginya saat ini, tayangan di depan mata lebih menarik daripada obrolan gadis-gadis itu.
“Kamu sudah packing belum, Cen?” Tiara tiba-tiba bertanya.
Refleks Cendi menoleh pada gadis berambut ikal sebahu yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP itu. “Packing apa?”
“Baju, sih terutama.” Bukan Tiara yang menjawab, melainkan gadis cantik keturuan Ceko bernama Mona yang berprofesi sebagai model. “Nggak mungkin kan kamu nggak ganti baju selama berhari-hari.”
“Maksudku, packing buat apa?”
“Tentu saja liburan,” celetuk Lidya, si gadis oriental keturuan Taiwan yang Cendi kenal saat SMA.
Cendi mengernyit. Baiklah, ia memang mendengar mereka membicarakan liburan tadi. Tapi ia tak tahu jika mereka benar-benar akan pergi berlibur, apalagi dirinya juga dilibatkan.
Seolah paham arti kenyitan Cendi, Tiara yang semula duduk di sofa single beralih ke sebelah Cendi. “Kita kan mau ke Bali buat merayakan tahun baru. Kamu lupa?”
Cendi mengerjap. Tanda ia tak mengerti maksud ucapan Tiara.
“Cendi sayang,” Mona ikut duduk di samping Cendi, berlawanan dengan tempat Tiara duduk. “Kita sudah merencanakan ini sejak bulan Juli kemarin, lho.”
Sebenarnya Mona tak terlalu terkejut mendapati Cendi banyak melupakan beberapa hal di bulan Juli. Bisa dibilang bulan itu masa yang berat bagi Cendi.
Hans, kekasih—sekarang sudah menjadi mantan—Cendi sejak tiga tahun lalu, tiba-tiba mengakhiri hubungan mereka. Dan seolah belum cukup menyakiti Cendi, lelaki berusia dua tahun di atas Cendi yang berprofesi sebagai atlet panahan itu menikah dengan wanita lain di bulan Oktober, tepat sehari sebelum ulang tahun Cendi.
Sejak saat itu, Cendi menjadi lebih pendiam dan kerap terlihat murung. Dalam beberapa kondisi terkadang juga terlihat blank, seperti saat ini.
Cendi benar-benar patah hati. Ia sangat mencintai Hans. Banyak mimpi yang telah mereka rajut bersama. Sayangnya, mimpi indah itu tak akan pernah menjadi kenyataan.
“Maaf, aku nggak ingat.” Cendi merasa tak enak dengan teman-temannya.
“Nggak masalah. Nggak penting.” Tiara menyentuh pundak Cendi dengan lembut. “Yang paling penting kamu tetap ikut.”
“Ehm, gimana ya?”
“Pokoknya kamu harus ikut!” Mona memaksa. “Tiket pesawat sudah dipsesan.”
“Tapi…”
Tiara lebih mendekatkan duduknya pada Cendi. “Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Ia tahu Cendi masih sedih karena Hans. Mungkin karena itu Cendi tak ingin melakukan apa-apa. Tapi ia tak akan membiarkan sahabatnya terpuruk karena laki-laki itu. Cendi harus keluar untuk menghibur dirinya.
Cendi tersenyum kecil dan menggeleng. Ia jelas tahu apa yang dipikirkan Tiara. Jujur saja, ia memang masih sedih. Tapi ia tak ingin menunjukkan di depan teman-temannya. Meskipun terluka, selama ini ia selalu berusaha terlihat tegar. Sebisa mungkin ia selalu tampil ceria. Ia juga tak pernah menangis di depan mereka.
Tapi tentu saja teman-temannya tahu jika Cendi hanya berpura-pura baik-baik saja. Yang bisa mereka lakukan hanya selalu berada di sisi Cendi, berusaha membuat gadis itu selalu tersenyum. Dan yang jelas, menghindari pembicaraan tentang Hans. Nama itu seolah tabu bagi mereka.
“Terus, kenapa?” Tiara kembali bertanya.
“Masalahnya, aku belum tentu libur pas tahun baru nanti.” Cendi tampak sangat bersungguh-sungguh dengan jawabannya. Dan alasan itu memang masuk akal mengingat pekerjaannya di bidang broadcasting yang bisa dibilang tak mengenal kata libur.
“Ah… kalau masalah itu, sih serahkan saja sama Tiara,” ujar Tiara santai. “Akan kubuat kamu libur pas tahun baru. Bahkan seminggu sebelum tahun baru dan sebulan setelahnya.”
Tentu saja, radio tempat Cendi bekerja sebagai penyiar kan memang milik keluarga Tiara. Jadi Tiara bebas saja mengatur agar Cendi diberi libur selama yang dia mau.
“Sebulan?” Cendi mengernyit heran. “Lama amat.”
Tiara memutar bola matanya. “Kita kan memang mau liburan lama.”
“Tapi aku nggak dipecat, kan?” tanya Cendi khawatir. “Kalau aku dipecat, gimana?”
“Ya, nggak, lah,” balas Tiara. “Memangnya siapa yang berani pecat kamu?”
“Manajer?”
“Si Malik? Aku yang akan pecat dia kalau berani pecat kamu.”
Cendi terkekeh mendengar penuturan gadis berkulit kuning langsat itu. Enak banget memang jadi bos, bisa pecat orang sesuka hati. Padahal sebenarnya Tiara bukan benar-benar pemilik radio tempatnya bekerja itu. Pemilik sebenarnya adalah orangtua Tiara dan saat ini secara resmi dikelola kakak laki-lakinya. Tapi tetap saja, Tiara bisa melakukan apa pun yang ia mau. Tak ada yang bisa menolak permintaan tuan putri kesayangan seluruh keluarga itu.
“So, jadi ikut kan, Cen?” tanya Mona kemudian.
Cendi tak langsung menjawab. Dari wajahnya, ia terlihat masih berpikir.
“Ayolah, Cendi… apa lagi, sih yang perlu dipikirkan?” Lidya tampak kurang sabar. “Ini mungkin terakhir kalinya kita bisa liburan sama-sama. Masa kamu nggak mau ikut?”
Benar. Mungkin setelah ini mereka tidak bisa berlibur bersama lagi. Tiara sebentar lagi menikah, Mona akan pergi ke Milan demi meraih mimpinya menjadi supermodel internasional, sementara Lidya sudah berencana melanjutkan kuliah dan menyusul pacarnya yang bekerja di London. Hanya Cendi yang belum punya rencana jangka panjang. Tapi ia cukup puas dan senang dengan kariernya sekarang.
“Dan Nicho akan menggantungku kalau kamu nggak ikut,” tambah Tiara. Tapi Cendi tahu itu tidak mungkin.
“Cen…” Ketiga temannya menatap Cendi lekat, menanti keputusannya.
Cendi tersenyum. “Iya deh, aku ikut.”
“Gitu, dong…!”
“Memutuskan gitu saja susah banget, pakai mikir lama,” Mona memutar bola matanya yang berwarna emerald. “Awas aja kalau kamu nggak ikut. Bakal aku seret paksa.”
Cendi hanya tertawa kecil, lalu kembali menekuni layar televisi yang menampilkan lap terakhir race GP2. Sedang ketiga temannya kembali membahas apa-apa saja yang perlu dibawa dan rencana-rencana menyenangkan yang akan mereka lakukan di sana nanti. Dan wacana belanja jelas menjadi topik utama. Dasar cewek!
***
“Kenapa kamu di sini?” Cendi mengerjap kaget begitu pulang siaran dan mendapati Tiara berada di kamarnya.
Memang ini bukan kali pertama sang sahabat muncul di apartemennya tanpa diundang. Selain ayah dan kakaknya, Tiara termasuk orang yang mengetahui password kediamannya. Cendi tak keberatan, tentu saja. Tetapi, ada kalanya ia juga menginginkan kesendirian tanpa ada gangguan dari siapa pun. Semua orang pasti butuh privasi, kan?
“Mau bantu kamu packing sekaligus memastikan kamu ikut,” jawab Tiara santai.
“Ck,” Cendi memutar bola mata malas sembari menghempaskan tubuh ke sofa di dekat ranjang. Terkadang Tiara begitu menyebalkan. “Aku bisa packing sendiri dan aku nggak akan ke mana-mana. Aku kan sudah bilang bakal ikut.”
Mungkin Cendi harus mempertimbangkan mengganti password.
Tiara mengedikkan bahu. “Sekadar berjaga-jaga nggak ada salahnya, kan,” ujarnya. “Aku kan nggak mau dibantai Nicho kalau sampai kamu nggak jadi ikut.”
Kembali Cendi merotasi bola matanya. “Berhentilah berkata seolah tunanganmu sadistik. Kamu tahu sendiri dia nggak akan pernah menyakitimu seujung jari pun.”
“Bisa jadi, kalau itu berhubungan denganmu.”
“Astaga, Tiara… itu nggak mungkin,” gemas Cendi. “Nicho memang menyayangiku, tapi dia cinta banget sama kamu. Kamu berkata seperti itu seolah aku tembok penghalang di antara kalian.”
“Sori,” Tiara tampak menyesal. “Aku nggak bermaksud begitu,” jelasnya. “Kamu sama sekali bukan penghalang. Justru kamulah jembatan yang mempersatukan kami. Dan, kamu tahu, kan, aku juga sayang kamu?”
“Yeah.”
Tiara tersenyum. “Aku cuma nggak mau Nicho kecewa kalau kamu nggak jadi ikut.”
“Jadi, kamu maksa aku ikut cuma karena Nicho?” tanya Cendi dengan pandangan pura-pura terluka. “Kamu nggak beneran pengin aku ikut?”
Tiara tertawa. “Tentu saja aku pengin kamu ikut,” ujarnya. “Kamu kan adik kesayanganku.”
Cendi mencibir. “Umur kita sama, ya. Kamu cuma lebih tua beberapa bulan. Jadi, aku bukan adikmu.”
“Tetap saja aku lebih tua dan kamu memang adikku.” Tiara bersikukuh.
“Terserahlah.”
“Ya sudah, yuk aku bantu packing. Kamu belum packing sama sekali gitu.”
“Kita kan pergi tiga hari lagi,” balas Cendi. “Aku bisa packing besok atau lusa.”
“No, no.” Tiara menggeleng. “Sesuatu yang dikerjakan mepet itu nggak bagus. Ntar pasti ada yang ketinggalan. Kita harus packing sekarang.”
Dan tanpa menunggu persetujuan pemilik kamar, Tiara langsung mengeluarkan koper besar dari walk in closet dan mulai memilah-milah jajaran pakaian Cendi.
Mau tak mau, Cendi pun beranjak dari duduk santainya. Ia harus mengambil alih sebelum Tiara memasukkan yang aneh-aneh ke dalam kopernya.
Like.
Comment on chapter Prolog