Aku adalah tipe orang yang senang menulis kisah, baik itu kisahku sendiri maupun orang lain yang hanya ada dalam fiksi. Yang paling kusukai dari kisahku adalah aku dapat kembali membacanya kelak dimasa mendatang bagaimana hidupku dulu. Kisahku yang masih kutulis ini masih ada di tengah-tengah, puncak happily ever after dari ceritaku itu masih panjang lagi.
Tapi aku telah terusik. Manusia yang ternyata datang hanya untuk bercerita tentang kematianku itu telah mengusikku.
Sepanjang jalan yang kulakukan sambil menenteng plastik label minimarket hanyalah mencoba tidak peduli dengan bisikan Kak Arja yang seperti terngiang lagi.
Aku melangkah lebih cepat ketika malam semakin gelap, juga ingin segera tiba di rumah untuk kembali merenung dan menenangkan diri. Ditambah rintik-rintik kecil yang mulai turun, aku semakin melajukan langkahku kian cepat.
Maka ketika langkah cepatku melewati penyebrangan jalan, seolah tiada yang perlu kuperhatikan, aku tetap melangkah secepat yang kubisa. Bersamaan dengan itu, suara klakson terdengar nyaring dari arah kanan. Kesadaranku diambil sepersekian detik sebelum terdengar suara bantingan dan benda ambruk dengan keras. Otakku kembali berjalan ketika menyaksikan puluhan orang berlari menghampiri serta teriakkannya yang bersahut-sahutan.
“Kecelakaan!”
“Kecelakaan!”
Airmataku lolos saat itu juga. Tuhan, kenapa begini? Semesta, tolong jangan bercanda!
Kusaksikan tubuh yang rebah di aspal jalan itu dengan nanar, tidak ada yang bisa kulakukan selain menatapnya dalam diam. Lalu kemudian baralih menatap motor CB150R hitam yang keadannya tak jauh mengenaskan. Pelan, aku mengampiri tubuh rebah itu dengan langkah gontai. Bahkan tubuhku yang sesekali ditabrak massa yang panik hingga terjatuh pun aku tidak peduli.
Aku ikut luruh di aspal ketika tubuh yang kini tanpa daya itu berada tepat di hadapanku. Beberapa orang menarik tubuhku untuk melarang mendekati korban, tapi aku meronta dan tetap bersimpuh di samping tubuh Kak Arja. Kutatap dia yang kini terpejam itu dengan nanar.
“Kenapa harus mati Kak Arja?” suaraku pelan sebelum pandanganku menggelap dan kesadaranku yang terenggut perlahan. Gelap dan tenang.