"Lo jangan tegang-tegang gitu dong Vin, ntar kalo di depan lupa semua gimana?" nasehatku ketika melihat Devina yang duduk gelisah sambil tak henti-hentinya menatap panggung.
"Grogi Ras, ntar kalo gue nggak lolos gimana ya?" jawab gadis itu ragu.
"Berarti Tuhan nggak meridhoi!" tukasku cepat. "Udah deh lo santai, relax. Lolos nggak lolos yang penting kita udah usaha." Aku berujar sok menenangkan padahal dalam hati juga gelisah dan khawatir jika kami tidak lolos seleksi. Setelah itu Devina diam dan tidak segugup tadi.
Hari ini adalah hari seleksi pemilihan tim inti debat untuk mewakili lomba bulan depan. Auditorium sekolah sudah penuh lalu lalang murid yang akan menyaksikan seleksi.
Setelah mengambil kartu dengan nomor acak, aku dan Devina berada dalam satu tim oposisi atau pihak yang menolak mosi. Kami hanya tinggal menunggu panitia menyiapkan semuanya sampai seleksi tim inti debat dimulai.
Melirik Devina yang sudah agak tenang di sampingku, kini malah aku yang didera gugup ketika melihat bangku audiens sudah hampir terisi penuh. Mana seluruh peserta tidak ada yang tahu hal apa yang akan didebatkan nanti. Panitia bilang, tujuan merahasiakan mosi adalah untuk mengetes seberapa besar kemampuan peserta dalam mengeluarkan argumennya. Aku mengelap keringat dingin yang tiba-tiba turun melintasi dahi.
"Semua peserta diharapkan menaiki podium dan mengambil tempat sesuai dengan tim-nya! Terima kasih."
Suara mikrofon yang menggema ke seluruh dinding auditorium itu semakin membuat lututku lemas. Ah benar kata Kak Arja kalau aku ini bukan penerus yang baik untuk tim debat yang seharusnya selalu percaya diri ketika berbicara di depan massa seperti ini. Tapi demi membuat Mama dan Ayah bangga padaku, aku berdiri yakin sambil menetap podium itu tanpa sangsi. Kupejamkan dua mataku berdoa pada Tuhan agar aku diberi kemudahan dan jalan terbaik. Setelah yakin, aku menoleh ke Devina yang sepertinya juga sudah siap.
Kami berdua menaiki podium bersama Romi, murid laki-laki lain yang satu tim oposisi dengan kami. Sementara tim afirmasi ternyata sudah siap di atas sana. Diantara 6 orang ini, akan dipilih 3 untuk jadi tim inti yang nantinya akan mewakili sekolah dalam lomba debat tingkat nasional. Dan jika boleh, aku berharap untuk jadi salah satunya.
Acara dimulai dengan sambutan-sambutan serta pengenalan. Maka ketika sang pembawa acara mulai berkata yang nyerempet-nyerempet soal mosi, rasanya lututku mau lepas saat itu juga.
"Hadirin sekalian, mosi yang akan diperdebatkan pada siang ini adalah Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Kehidupan Bermasyarakat. Pertama, saya selaku moderator mempersilahkan tim afirmasi untuk mengeluarkan argumennya." ucap moderator yang membuat salah satu pembicara di tim afirmasi mengangguk yakin.
Aku termangu sendiri setelah moderator itu mengumumkan mosi. Stratifikasi sosial adalah kasus yang sama yang kubicarakan dengan Devina pada pagi hari sebelum ke Bantar Gebang. Kebetulan macam apa ini? Apa semesta sedang mempermainkanku lagi?
"Stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pelapisan sosial, yaitu dimana akan terjadi suatu pengkastaan secara tidak langsung dan bahkan tidak disadari. Hal-hal yang mengakibatkan stratifikasi sosial terjadi diantaranya adalah faktor kemampuan seseorang yang tidak mudah dimiliki orang lain. Misalnya kekayaan, jabatan, kedudukan, dan ilmu pengetahuan.
"Saya sangat setuju bila pelapisan sosial ini terjadi di masyarakat, karena hal itu akan berpengaruh pada kelakuan, tindak tanduk bahkan etika. Mungkin tanpa kita sadari, usia juga merupakan penyebab pelapisan sosial terjadi. Kita semua diajarkan sopan sejak kecil pada orang yang lebih tua. Jika stratifikasi itu tidak diberlakukan, etika dan kesopanan mungkin tidak akan diperhatikan karena pada dasarnya kita sama-sama manusia. Jadi menurut saya, lapisan sosial sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat demi menjunjung tinggi etika dan kesopanan. Terima kasih"
Diam-diam aku menahan nafas ketika tim afirmasi itu menyelesaikan argumennya dengan baik. Aku memejamkan mata, mengulang kembali bayangan ketika aku dan Devina mengobrol tentang lapisan sosial beberapa hari lalu.
"Gini ya Vin, lapisan sosial itu terjadi ketika ada seseorang yang punya kemampuan lebih dari orang-orang lain. Nah otomatis orang itu dipandang baik dan orang-orang yang merasa lebih rendah dari dia berpikir 'orang itu pinter, jadi kita nggak bakal salah kalau ikut kata-katanya'. Dan itu beda sama kasus gue yang iyain perintahnya."
"Nggak mungkin lah gue tunduk sama Arja cuma gara-gara dia pinter. Dampak buruk lapisan sosial itu namanya."
Aku menarik nafas dalam, tenang Raras! Ini nggak susah, bahkan udah pernah diomongin sebelumnya.
Jantungku kembang kempis ketika baru menyadari Devina yang sudah berdiri yakin dan bersiap mengutarakan argumennya setelah dipersilahkan oleh moderator.
"Saya kurang setuju dengan adanya stratifikasi sosial. Lapisan sosial terjadi ketika ada seseorang memiliki kemampuan lebih dari orang-orang lain. Maka secara tidak langsung, orang-orang yang berada di piramida atas akan merasa dirinya punya wewenang lebih, dan orang yang merasa lebih rendah dari dia akan mendewakan si puncak piramida tersebut karena berpikir bahwa orang yang memiliki strata atas selalu benar. Jangan hanya karena mereka punya kemampuan lebih, kita jadi tunduk dan mendewakan, karena semua manusia juga memiliki kekelebihan masing-masing."
Aku bisa memastikan kalau seleksi tim inti debat ini begitu tegang. Devina kembali duduk dan melemparkan senyuman kecil kearahku sekilas. Aku membalasnya hanya dengan tarikan bibir singkat. Sebagai sahabatnya, mau tak mau aku senang Devina berhasil melemparkan argumennya dengan baik, meskipun aku merasa agak aneh dengan semua kalimat yang dia utarakan. Premis yang diucapkan Devina itu hampir persis dengan yang kuucapkan sewaktu pagi kami mengobrol tentang lapisan sosial yang terjadi pada Kak Arja. Bukannya aku berpikir yang tidak-tidak, tapi kebetulan ini sangat membuatku tidak nyaman. Kenapa semesta? Kenapa harus begini?
Aku tidak menemukan pendapat kuat tentang stratifikasi sosial yang lain, selain otakku yang tiba-tiba blank, aku juga jadi badmood. Alhasil dalam seleksi debat kali ini aku hanya banyak menguatkan dan mendukung pendapat dari Devina serta Romi daripada berpikir melanglang buana untuk cari argument yang lebih inovatif. Lagipula analogi puncak piramidaku sudah terpakai orang lain.
Kalau sudah seperti ini, aku jadi putar otak untuk kembali memikirkan ucapan Kak Arja. Dan untuk Devina, meskipun aku merasa sedikit kesal karena sudah ambil analogi puncak piramida yang selalu kupakai, semoga sukses kedepannya. Aku belajar ikhlas.
***
Dua minggu berjalan setelah hari seleksi, pengumuman yang kudapat mengenai peserta yang lolos satu minggu yang lalu membuat aku malu bercerita pada Ayah dan Mama. Iya, aku tidak lolos. Tapi persetan dengan itu, hubunganku dan Devina tidak ada yang berubah. Kami berdua masih tetap bercanda bersama bahkan sering meledek satu sama lain. Awalnya, aku mengira persahabatan kami akan sedikit terganggu pasca seleksi debat waktu itu. Tapi syukurnya aku bisa menguasai ego dan belajar ikhlas. Dan akhirnya, sahabatku itu terpilih jadi anggota inti tim debat.
Aku juga sadar diri sih, ucapan Kak Arja mengenai aku yang tidak cocok untuk jadi penerus tim debat memang benar. Buktinya waktu seleksi kemarin aku lebih banyak gemetar dan keringat dingin saat disaksikan para audiens.
Bicara soal Kak Arja, kami benar-benar putus komunikasi sejak kejadian di warung seblak waktu itu. Aku juga mengurangi kegiatan yang probabilitas bertemu dengan Kak Arja besar. Syukurnya setiap kali aku terpaksa harus mengantar roti lapis ke rumah Tante Riska, laki-laki itu tidak pernah ada di rumah.
"RARAS!"
Aku tersentak, seketika aku merasa gendang telingaku nyut-nyutan. Kutolehkan kepala ke samping dan menemukan Devina yang sedang menatapku jengkel.
"Apa Vin?" tanyaku innocent.
"Demi Wakanda, daritadi lo bengong?"
Aku mengangguk dan menggeleng berkali-kali dan mendapati sahabatku itu mengacak rambutnya kesal.
"ih lo tuh ngeselin, daritadi gue lenggak-lenggok muter-muter ternyata dikacangin!" Devina membrengut dengan wajah manyunnya, aku hanya meringis. "Gimana nih, bagus nggak yang ini?" tanya gadis itu yang sepertinya sudah dia tanyakan berulang kali sejak keluar dari fitting room.
Aku sedang mengantar Devina membeli dress untuk dia pakai di acara keluarga besarnya. Karena kejenuhan yang menyerangku ketika menunggu gadis itu milih-milih baju, aku jadi bengong.
"Iya bagus itu, pas banget sama badan lo. Jadi mirip sama selena Gomez, tapi dalam versi jeleknya," jawabku asal.
Devina berdecak kesal. "Jadi jelek ya? Gue cari yang lain aja deh."
Aku menepuk dahi karena merasa salah bicara. Menunggu Devina memilih-milih baju lagi artinya akan membuatku hampir mati kebosanan untuk kedua kalinya.
"Vin gitu aja percaya, bagus kok itu. Ya meski nggak kayak Selena Gomez tapi mirip-mirip dikitlah sama Gamora" ujarku akhirnya.
Devina mengernyit, "Gamora siapa tuh?"
"Ituloh aktris luar yang terkenal, masa nggak tau sih. Udah deh, dressnya bagus kok Vin, cepetan yah! Gue laper nih," ucapku membuat Devina tersenyum sumringah dibilang mirip aktris. Dia nggak tau aja kalau Gamora adalah tokoh di film Guardian of the Galaxy yang tubuhnya warna ijo.
Lima menit menunggu Devina membayar belanjaannya, akhirnya aku keluar dari toko baju itu dengan senang hati. Selanjutnya, aku dan gadis itu mencari fastfood di dalam mall. Aku tersenyum lebar ketika Devina berkata dia yang akan traktir.
"Nggak jadi kayak Gamora deh lo Vin, jadi cantik banget kalo lagi kumat ntraktir kaya gini."
Sahabatku itu melotot. "Jadi sebenernya Gamora Gamora itu jelek?"
"Enggak jelek kok, cuma warnanya ijo kaya Hulk gitu. Eh tapi jangan marah ya Vin, kalo ngambek lo jadi kaya Hulk beneran."
"Ish rese lo!" Devina mencubit lenganku kesal.
Aku terkekeh melihat raut Devina yang berubah lucu. Kami berjalan menuju restoran cepat saji dengan sesekali melempar candaan ketika gadis itu sudah kembali normal.
"Raras! Raras! Raras!" panggil Devina seketika membuatku menoleh. "Itu!" ujarnya dengan jari telunjuk menunjuk ke depan.
Aku spontan mengarahkan pandanganku ke arah yang Devina tunjuk dan menemukan segorombol anak muda yang juga sedang berjalan menuju restoran fastfood.
"Mampus! Mampus! Mampus!," rutukku ketika melihat Kak Arja, Kak Hana, Kak Hanum dan teman-teman Bioteknologinya itu semakin dekat. Untungnya diantara mereka tidak ada yang menyadari keberadanku disini.
"Puter balik! Puter balik!" Aku menggamit lengan Devina untuk kubawa kabur secepatnya. Tapi sepertinya gadis itu sedang lemot diajak kompromi, Devina masih keukeuh di tempatnya berdiri serta menatapku bingung.
"Ih Ras, itu gebetan lo. Samperin kek!" kata Devina yang ingin sekali kutabok.
"Gebetan dari Wakanda! Udah cepet ayo pergi, cari tempat makan lain aja!"
"Lo tuh kayak kepergok lagi sama selingkuhan aja. Gamau ah, gue kan pengen makan pizza!"
"Cari pizza lain gue yang traktir!" tukasku cepat menyadari tujuh orang itu kian dekat.
Raut Devina berubah sumringah dengan senyum lebarnya. "Ayok deh!"
Aku segera berbalik untuk putar arah sebelum gadis itu selesai menjawab, tak lupa juga kutarik tangan Devina agar cepat-cepat lari dari tempat ini.
"RARAS!" teriak seseorang dari arah belakang, dari suaranya aku tahu orang yang memanggilku adalah Kak Hana.
Kampret! Ketahuan juga.