"Ma, aku nunggu di luar ya?" kataku ketika Mama baru saja selesai melepas helmnya setelah turun dari motor. Kemudian Mama memelototiku tajam.
"Ikut masuk! Nggak sopan banget nangkring disini, emang kamu tukang ojek?" omelnya.
Dengan rasa terpaksa, akhirnya aku mengikuti Mama berjalan ke teras rumah Tante Riska.
Rumah itu masih sama dengan yang kulihat hampir 2 tahun lalu. Pintu kayu jatinya besar, empat orang seukuran tubuhku mungkin muat jika masuk bersama. Di dinding teras, terdapat fanart lucu yang mungkib buatan tangan Mama Kak Arja karena di bawahnya ada huruf R ukuran kecil sebagai watermark.
Mamaku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Setelah terdengar jawaban dari dalam, beberapa saat kemudian wanita paruh baya yang pernah kulihat 2 tahun lalu membuka pintu.
"Eh Mba Sekar, bawain kue lapis ya?" Tante Riska tersenyum lebar. "Bareng Raras juga, kamu gimana Ras kabarnya?"
"Baik kok Tante," jawabku sopan. Setelahnya Tante Riska mengajak kami masuk. Awalnya Mama menolak, tapi karena Tante Riska yang minta diajari membuat kue lapis, akhirnya Mama mengiakan juga.
Sebenarnya Mama bukan pengusaha kue. Yang punya toko roti justru Tante Riska. Jadi karena Mama punya bakat membuat kue lapis, rencananya Tante Riska akan mengajak Mama kerja sama.
"Raras ngomong-ngomong jadi masuk SMK?" tanya Tante Riska sambil membatu asisten rumah tangga menurunkan 2 gelas teh ke atas meja. Aku dan Mama tersenyum ketika Mamanya Kak Arja itu menyilahkan kami minum.
"Enggak jadi Tan, aku masuk SMA 11," jawabku dengan senyum.
"Oh SMA 11, dulu Kak Arja juga sekolah disitu," kata Tante Riska.
"Ngomong-ngomong udah sore gini Arja belum pulang kuliahnya Mba?" tanya Mama setelah menyeruput tehnya.
"Iya Mba, kadang malah jam 11 malem baru pulang. Katanya sibuk sama urusan BEM."
"Anak pinter mah sibuknya berfaedah ya?"
"Saya juga heran sama Arja, ada aja yang dikerjain tiap waktu. Disuruh anteng lima menit kaya nggak ada betah-betahnya. Kalo dia diem, paling lagi mikir."
Bla bla bla bla. Topik pembicaraan hanyalah seputar Arja. Kalau orangnya ada disini pasti dia jadi songong. Bilang kalau pengakuan adalah automatically lapisan sosial terjadi. Semua orang mengakui kalau Arja pintar, cerdas, ambisius, komunikatif, dan lain-lain, maka secara hukum alam, orang-orang yang merasa lebih rendah dari Kak Arja akan memposisikan laki-laki itu pada puncak piramida.
Aku juga mengakui kalau Kak Arja memiliki sifat-sifat yang aku sebut barusan. Tapi, i mean, semua orang punya kelebihannya masing-masing. Jadi, aku secara pribadi, hanya karena Kak Arja orang yang perfeksionis, keputusanku untuk lebih songong dari dia nggak akan aku ubah.
"Raras nunggu disini dulu ya, Mama mau bantuin Tante Riska buat roti," pamit Mama sebelum meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Aku hanya mengangguk.
Setelah ditinggal sendirian hanya dengan dua gelas teh yang isinya tinggal setengah, untungnya daya bateraiku masih banyak. Jadi untuk membunuh kesepian aku memilih bermain game. Hingga satu jam kemudian dan aku sudah merasa bosan, kubuka akun instagramku yang followersnya maju mundur.
Beberapa saat kemudian, aku sudah benar-benar bosan dengan Handphone. Yang kulakukan saat itu cuma meregangkan otot-otot yang pegal karena kelamaan duduk, sesekali juga berjalan mondar-mandir mengitari meja. Karena mau tiduran juga yaelah, sopan nggak sih?
Dan pada saat aku kembali duduk dan telah menemukan posisi yang enak, suara mobil terdengar dari luar. Tapi tidak ada yang kulakukan saat itu kecuali kembali membuka Handphone dan berniat membuka aplikasi WhatsApp. Hingga beberapa menit kemudian suara mesin mobil itu sudah tidak terdengar, dan gantinya adalah kemunculan sosok tinggi dengan jaket buluk menjulang di ambang pintu.
Aku hanya menatap Kak Arja datar. Dia juga sama. Malah kali ini mukanya kelihatan lebih dongkol.
"Scoopynya ngalangin mobil gue masuk tuh!" ujarnya cuek. "Mana dikunci stang lagi." Kak Arja ngedumel sambil membalikkan badan dan kembali ke halaman lagi.
Aku cuma mencebik. Pertama ngajak ke Kopi Bar aja bahasanya asik. Kenapa sekarang malah songongnya kelihatan banget? Dasar fake!
"Mana kuncinya?" Kak Arja menodongkan telapak tangannya kearahku setelah kami sampai di halaman rumah.
"Biar aku aja yang pindahin motor, situ bawa masuk mobil biar cepet," tukasku cepat kemudian menghampiri motor scoopy putih dan menstaternya.
Laki-laki itu tidak berkomentar apa-apa. Bukan karena dia mau menuruti perintahku, tapi karena dia juga malas berlama-lama. Prinsipnya kan anti buang-buang waktu.
Setelah mobil jeep putih itu berhasil masuk garasi, motorku juga selesai parkir di tempat yang kiranya nggak menghalangi jalan masuk. Aku kembali ke dalam rumah dengan Kak Arja ada di depanku.
Aku kembali duduk ketika Kak Arja memilih naik ke lantai atas. Hingga beberapa saat setelah suara pintu tertutup terdengar, Kak Arja menyalakan musik tapenya dengan suara lumayan keras. Tidak ada yang kulakukan selain diam dan mendengarkan lagu yang tiba-tiba membuatku merinding.
Death surrounds. My heartbeat’s slowing down.
Aku tertegun mendengar lagu itu. Serangkaian ingatan yang awalnya seperti benang kusut seperti terurai lagi. Kututup telingaku erat-erat, tidak mau lagi mengingat kembali sesuatu yang membuatku gila. Meskipun aku tahu hal ini akan terus terulang, tapi untuk saat ini aku tidak siap.
I won’t take this world’s abuse. I won’t give up, I refuse! This is how it feels when you’re bent and broken. This is how it feels when your dignity’s stolen. When everything you love is leaving. You hold on to what you believe in.
Saat kututup dua telingaku namun lagu itu masih jelas terdengar, aku menggeram. Tidak peduli tubuhku yang tiba-tiba gemetar, aku menyusul Kak Arja ke lantai atas dan berhenti di depan pintu jati. Tapi lidahku kelu ketika sampai disana, lagu itu semakin jelas, juga bayangan-bayangan yang hampir dua tahun itu kulupakan.
The last thing I heard was you whispering goodbye. And then I heard you flatline. No, not gonna die tonight. We've gotta stand and fight forever. Don’t close your eyes. No, not gonna die tonight. We've gotta fight for us together. No, we’re not gonna die tonight.
Mematung di depan pintu seperti orang linglung, aku malah menangis. Tubuhku gemetar saat lagu itu benar-benar membangkitkan bayangan yang selama ini tertidur. Darah, detak jatung, hembus nafas pelan, dan kematian.
"Lo nangis Raras?"
Aku terkesiap ketika baru menyadari Kak Arja telah membuka pintu dan berdiri tepat di depanku. Langsung kuusap habis airmata sialan itu, lalu tersenyum kaku. "Lagunya... enak," ujarku.
Laki-laki itu menautkan alis heran.
"Permisi ya Kak Arja!" pamitku sebelum berlari menyusul Mama ke dapur. Disana, aku merengek minta pulang. Kubilang kalau kepalaku tiba-tiba pusing. Tante Riska juga katanya khawatir denganku karena dia bilang wajahku juga pucat. Wanita itu juga sempat mempunyai ide agar aku diantar pulang oleh Kak Arja, tapi karena aku tidak mau menambah banyak pikiran aku menolaknya secara halus. Setelah berhasil membujuk Mama dan Tante Riska, akhirnya aku bisa pulang juga dari rumah Kak Arja. Aku sempat melihat laki-laki itu di balkon ketika aku sedang mengeluarkan motor dari garasi. Kak Arja seperti memperhatikan gerak-gerikku yang membuatku semakin gemetar. Kenapa selalu mati Kak Arja?