Ketika aku merebahkan diri di kasur setelah pulang dari rumah Kak Arja, telepon yang kuletakkan di atas nakas berbunyi. Notifikasi dari Kak Arja. Bukannya aku punya kemampuan cleirvoyance atau cenayang, aku bisa menebaknya karena nada notifikasi dari dia memang kukhususkan berbeda sendiri. Jadi dengan begitu aku tidak perlu repot-repot mengangkat telfon atau membalas pesannya karena aku memang sengaja tidak mau.
Teringat dengan Kak Arja dan segala isinya, aku langsung bangkit dari kasur lalu beranjak menuju meja belajar dan membuka lacinya. Kukeluarkan botol pil dari sana. Sudah sekian lama aku tidak lagi mengkonsumsinya karena serangan panic attack itu sudah lama tidak muncul lagi. Dan sekarang, setelah bertemu kembali dengan dewa kematian, aku harus membawanya kemana-mana lagi.
Tapi sadar isi dalam botol itu hanya tinggal sedikit, aku memutuskan membelinya lagi di apotik besok.
Ponsel di atas nakas lagi-lagi berdering, tapi kali ini bukan dari Kak Arja. Kuletakkan lagi botol pil itu dalam laci lalu bergerak mengengkat panggilan. Dari Devina.
"Halo Vin?" sapaku lebih dulu.
"Raras lo tau nggak?" tanya Devina semangat.
"Enggak," jawabku datar.
"Bodoamat. Asal lo tau Ras, kita kepilih jadi anggota tim debat!"
Aku membulatkan mata, "hah, serius? Yang bener aja, kita daftar jadi tim debat kan udah satu bulan yang lalu."
Kudengar disana Devina berdecak. "Enggak tau deh pokoknya, orang gue baru aja dikabarin sama panitia pendaftaraannya dulu."
"Terus kita disuruh ngapain?" tanyaku. Dulu, aku dan Devina memang suka adu mulut atau berargumen mengenai suatu hal, jadi waktu pihak sekolah mewajibkan satu ekstrakulikuler, kami memilih jadi tim debat. Ah, pilihan yang spontan menurutku, mengingat sekarang aku tahu orang yang lebih mahir dariku dan Devina mencecar orang, Kak Arja.
"Minggu depan ada seleksi tim inti buat jadi wakil sekolah untuk lomba debat. Kita disuruh nyiapin diri."
Aku hanya diam sambil mengangguk.
"Ih kok diem sih Ras? Semangat dong!" ujar Devina menyemangatiku.
"Enggak ah, gue mau biasa aja. Pesimis lolos nih sejak sering ribut sama Arja. Lagian gue tuh sebenernya nggak suka adu mulut," kataku sambil mendaratkan pantat ke ranjang tidur.
"Hm i see. Tu orang emang pedes sih, telak. Omongannya yang waktu itu aja masih kebayang-bayang nyelekitnya."
Aku tersenyum ketika mengingat kejadian Devina dan Kak Arja di Kopi Bar waktu lalu. "Lupain aja kali Vin, tu orang palingan juga udah lupa," ujarku.
"Diusahain!" jawab Devina singkat dengan nada melas yang seketika membuatku terkikik. "Hey, malah ketawa!" sungutnya. "Kan lo tau Ras. Hal yang paling mempengaruhi diri seseorang menurut Devina adalah perkataan." Gadis itu terdiam sejenak lalu terdengar suara hembusan napas panjang. "Hati gue itu sensitif Ras, gampang baper. Semua perkataan yang ditujukan ke gue itu semuanya langsung masuk ke hati. Mau itu pujian atau kritikan pedes kaya Kak Arja waktu itu, semuanya berpengaruh ke pikiran gue." jelas sahabatku panjang. Aku jadi merasa bersalah pada Devina. Ternyata karena kata-kata Kak Arja waktu itu, pikiran Devina jadi terbebani.
"Atas nama Arja gue minta maaf ya Vin?" pintaku.
Devina tertawa pelan. "Apa sih Ras, bukan salah lo kali. Kak Arja juga sebenernya nggak sepenuhnya salah sih. Cuma gue aja yang kurang introspeksi diri."
Aku mengangguk. "Tapi jangan banyak mikirin perkataan orang ya Vin, capek hati!" perintahku pada Devina.
"Nah itu masalahnya Ras. Gue juga nggak suka jadi orang baperan. Dikit-dikit terbang dikit-dikit down.
Aku mengambil bantal guling dari sisi ranjang lalu memeluknya. "Jangan gitu Vin! Lo tau nggak, orang baperan itu hatinya lembut. Dia manusia gampang luluh yang lebih menggunakan hati dan perasaannya. Coba deh kalo hati lo keras, mungkin lo nggak bakalan punya rasa belas kasih," jelasku.
Sahabatku itu tertawa di seberang sana. "Dewasa ya sekarang, faktor gebetan yaaaa!" Devina malah meledekku.
Dasar kurang asem! Sudah disemangati panjang-panjang malah meledek. Lebih sialan lagi dua pipiku malah memanas.
"DEVINA!" teriakku yang membuat gadis itu semakin terbahak.
"Salting ciee!" ledeknya tidak gentar.
"Bodoamat!" Sambungan telepon kuputus sepihak. Masa bodoh dengan Devina yang mungkin masih terpingkal-pingkal.
Tapi setelah sambungan terputus, hal yang sedang tidak ingin kulihat akhirnya kelihatan juga. Chat dari Kak Arja yang sejak tadi kuabaikan.
Kak Arja
Death surrounds
My heartbeat’s slowing down.
Kak Arja
The last thing I heard was you
whispering goodbye
And then I heard you flatline.
Kak Arja
Mungkin lo punya kenangan sama lagu itu.
Something about deathly, right?
Kak Arja
Maybe kita punya masalah yang sama.
Kita damai sekarang kalo lo bales chat gue
Kak Arja
Shit.
Raras
Iya. I have something problems
Raras
The last thing I heard was you
whispering goodbye
And then I heard you flatline.
Raras
Tapi maaf, masalah itu udah
nggak aku pikirin lagi.
Kak Arja
Karena lo takut sama kematian?
Raras
Semua orang pasti mati
Aku mematikan ponsel, tidak peduli lagi dengan pesan-pesan yang dikirim Kak Arja selanjutnya. Seketika aku merasa tidak ingin bertemu lagi dengan laki-laki itu. Mendadak dia menjadi momok menakutkan untuk hidupku. Tak bisa kujelaskan alasannya, tapi intinya dia adalah kegelapan.
Suara ketukan pintu dari luar kamar akhirnya mengambil alih pikiranku tentang Kak Arja dan segala tentangnya. Terseret-seret langkah malasku menuju kesana dan aku mendapati Kak Ratih berdiri di depan pintu dengan penampilannya yang sudah rapi.
"Ras, gantian batuin Mama dong! Kakak ada janji nih sama temen," ucap Kakakku itu dengan nada sedikit memohon. Selebihnya maksa.
"Bantuin apa?" tanyaku malas.
"Potongin roti lapis tuh, Mama buat banyak banget. Lagian kamu lemes amat sih, baru juga apel gebetan." Kak Ratih tersenyum meledek.
Aku cuma melirik perempuan itu kesal, lalu setelah menutup pintu aku mendahuli Kak Ratih berjalan menuju dapur.
"Sensi amat sih Ras, tanda-tanda chattingan nggak dibales nih," ledeknya kemudian ngacir keluar rumah beberapa detik sebelum aku membalikkan badan. Kulihat dari pintu depan yang belum ditutup, Kak Ratih menjulurkan lidahnya sekilas. Aku mencebik kesal.
Tiba di dapur, aku langsung memotongi roti lapis tanpa berkata apa-apa. Ayah yang tadinya sedang baca koran sambil ngopi terlihat memandangiku sejenak. Aku membalasnya dengan pandangan datar.
"Loh, Kenapa tuh mukanya?" tanya Ayah ketika dia memandangiku dengan aneh.
Kuraba mukaku sendiri dengan dua telapak tangan, "emang kenapa sama mukaku?" tanyaku balik.
Ayah malah ketawa pelan, "jelek banget," ledeknya.
Aku mencebik kesal lalu melanjutkan memotong roti lapis yang kelihatannya enak. Memang kenyataannya memang enak sih, kan masakan ibu selalu nomer satu. "Yee kalau jelek mah udah deafultnya dari sana. Gen dari siapa coba?" ledekku balik.
"Gen Ayah sama Mama mah bagus-bagus Ras, itu cuma faktor ngidamnya Mama dulu, makanya kamu jadi kaya gitu," ujarnya setelah menyeruput kopi hitam yang asapnya masih mengepul.
"Emang Mama dulu ngidam apa?" tanyaku.
"Ondel-ondel, hahaha!" Tawa Ayah langsung membahana di seluruh dapur. Mama yang tadinya sedang konsentrasi menuang adonan roti lapis ikut tertawa juga.
Aku hanya terdiam sambil memandangi dua orang itu menertawaiku. Kupasang muka kesal sekesal kesalnya. "Yaa berarti aku keturunan ondel-ondel dong!" ucapku kemudian tertawa lebih keras dari mereka yang kini terdiam. Aku langsung tutup mulut ketka Mama memandangku galak.
"Jago ngomong ya sekarang!" Ayah berujar kalem.
Aku cuma meringis tanpa menjawabnya, kualihkan lagi konsentrasiku pada roti yang belum kupotongi.
"Raras tuh pernah buat Ayah sama Mama bangga nggak sih?" tanyaku ketika mengingat kabar dari Devina kalau aku lolos jadi anggota tim debat. Juga kala mengingat ucapan-ucapan Kak Arja tempo lalu.
"Wah enggak tau tuh, mau bilang enggak pernah Ayah juga nggak enak sama kamu," jawab Ayah dengan raut jahilnya.
"Yee itu juga udah bilang namanya," kataku.
Ayah tertawa kecil lagi.
"Jadi gini loh Yah, Ma, Raras tuh kepilih jadi tim debat. Nah, minggu depan ada seleksi tim inti buat lomba. Doain Raras lolos ya biar bisa banggain Ayah sama Mama," ucapku.
Kulihat dua orang itu malah saling berpandangan sambil mengedikkan bahunya masing-masing. Lalu kemudia Ayah mengalihkan lagi perhatiannya padaku. "Passion kamu itu kan seni, jauh banget banting setirnya sampe ke debat."
"Yaa seni itu jiwa, bakatku kan ngomong," belaku.
"Yaudah terserah kamu, asal jangan ngomongin orang aja!" sahut Mama.
Aku tersenyum memandangi Ayah yang masih pesimis denganku.
Lalu satu setengah jam kemudian, setelah roti dalam loyang sudah kupotongi semua, aku beranjak naik menuju kamar untuk tidur. Aku masih belum tahu kalau besok pagi adalah hari sialku.