Waktu kecil saat belum sekolah, jika ditanya soal cita-cita gampang saja jawabnya. Aku bilang ingin jadi Pramugari karena bisa keliling dunia gratis. Lalu Mama bertepuk tangan. Tumbuh jadi siswa SD, cita-citaku goyah kala melihat Tanteku yang terlihat keren menjadi Dokter. Dan Dokter menjadi cita-citaku saat itu dengan alasan ingin membantu orang banyak. Beranjak SMP, aku mulai ragu menjadi Dokter. Selain aku lebih sering mual dan pusing jika melihat darah, otakku juga pas-pasan. Jadi, karena aku suka uang, hatiku mantap akan jadi pengusaha. Langkah pertama saat itu, aku mulai berjualan pulsa dengan modal tabungan. Dan berakhir laris dihutang dan kupakai sendiri. Seiring waktu, seperti sebuah siklus yang terus terulang, aku jadi agak skeptis untuk jadi pengusaha. Dalam keluargaku, semuanya tidak ada yang punya passion di bidang itu. Padahal menurutku, jadi pengusaha juga bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain. Kendati begitu, aku tetap berpikir untuk cari cita-cita lain.
Tapi semakin kesini, sampai aku jadi anak SMA, hatiku belum juga mantap akan jadi apa. 'Jalani dulu' adalah jawaban ketika ditanya 'kedepannya mau apa?' dan 'orang sukses' adalah jawaban jika ditanya perihal cita-cita. Tidak buruk kan? Aku memang masih remaja labil yang mudah tertarik akan suatu hal. Konsisten adalah sesuatu yang sulit kulakukan.
Dan akhir-akhir ini, karena perkataan Kak Arja aku jadi sedikit takut dengan ucapannya. Dia berkata seolah-olah aku akan mati dalam waktu dekat sehingga laki-laki itu bersikeras menyuruhku agar punya tujuan.
Dua minggu setelah pertemuanku dengan Kak Arja yang berakhir dengan perdebatan kecil, laki-laki itu sama sekali tidak menghubungiku lagi. Waktu itu, setelah pulang ke rumah, aku jadi merasa bersalah pada dia. Sudah menunggu setengah jam seperti orang bego, tapi malah berakhir kutinggalkan. Jadi hari ini, setelah memanajemen jadwal padat Kak Arja untuk meluangkan waktu sebentar, jadilah hari sabtu jam 4 sore. Aku sengaja datang ke Kopi Bar 15 menit lebih awal agar tidak ngaret seperti waktu lalu.
Dua minuman sudah nangkring di atas meja sejak tadi yang bahkan punyaku hampir habis. Tapi Kak Arja melarangku untuk berbicara sepatah katapun. Kata dia suaraku bikin pusing.
Setelah 5 menit lamanya saling berdiam diri, lelaki yang lagi-lagi memakai jaket belel itu menatapku.
"Udah boleh ngomong?" tanyaku.
"Tolong jangan ngomongin apa aja yang melawan asumsi gue. Gue nggak suka dibantah, apalagi kalo alesannya nggak logis." Dia mengeluarkan petuahnya dulu sebelum aku bicara, merasa paham, akhirnya aku mengangguk.
"Tujuan hidup Kak Arja apa?" tanyaku pelan. Kulihat laki-laki itu mengangkat alisnya sekilas kemudian memilih memajukan duduknya agar lebih dekat denganku.
"Kenapa nanya gitu? Bukannya lo bodoamat sama jalan hidup?" Kak Arja mengintimidasiku.
"Duh Kak. Ini namanya revolusi! Heran deh sama orang-orang yang menghadapi perubahan dengan bilang 'biasanya juga gitu, tumben' dipikir berubah itu nggak susah?" sungutku.
Laki-laki itu hanya mengangkat sudut bibirnya. "Perubahan yang baik."
"Jadi?"
"Tujuan hidup gue itu cuma satu. Bisa bawa orang-orang yang gue pimpin sukses bareng-bareng!" jawab Kak Arja kalem, di akhir kalimat, sebuah senyum tercetak dari bibirnya. "Tapi yang gue bawa sukses cuma mereka yang bener-bener mau gue pimpin aja. Buang-buang tenaga banget kita peduli sama orang yang bahkan nggak ngepeduliin kita," lanjutnya.
"Kalo udah tercapai gimana? End?"
"Hidup itu daur ulang. Sekali kita dapet sesuatu, memungkinkan banget sesuatu itu bisa diolah dengan lebih baik lagi. Selalu upgrade aja."
"Maksudnya?"
Kak Arja menarik napas panjang. "Misalnya pengalaman gue yang pernah jadi ketua OSIS, bisa diupgrade jadi ketua BEM."
Mulutku membulat membentuk huruf O dengan kepala mengangguk berkali-kali. "Kenapa Kak Arja ngambis banget sama hasil?"
Lagi, laki-laki itu menarik nafas dalam. "Hidup itu perjalanan Ras. Tentu ada tujuannya kita melangkah selama ini. Gue cuma mau memanfaatkan waktu sebaik-baiknya buat hasil yang terbaik. Biar nantinya nggak ada yang nyesel ataupun kecewa kalo akhirnya salah satu yang gue pengen cuma jadi ekspetasi."
Suara Kak Arja tergolong pelan. Tapi saat ini hanya suara itu satu-satunya yang masuk ke telingaku.
"Gue juga benci sama orang-orang yang buang-buang waktu. Yang bilang kalo masa muda itu harus dinikmatin, gue rasa kalimat itu cuma jadi toxic. Sampe sekarang gue heran sama mereka yang nyela orang karena dirasanya masa muda orang itu nggak ada warna, terlalu serius, sok-sokan. Mereka cuma cari pembelaan basi buat nutupin dirinya yang males. Kalo males ya males aja nggak usah racunin orang lain."
Kak Arja terdiam kemudian. Kakinya yang memakai sneakers itu terdengar mengetuk-ngetuk lantai. "Lo tau Raras, prinsip hidup gue?" tanyanya datar.
Aku menggeleng.
"Kerjain sesegera mungkin karena gue mati besok."
Jadi, ini yang membuat Kak Arja bersikeras menyuruhku memiliki tujuan hidup? Menurutku prinsipnya terlalu berat. Bagaimana dia bisa mengerjakan sesuatu dengan baik seperti sekarang sementara alarmnya adalah kematian?
Aku menelan ludah susah payah, tenggorokanku tiba-tiba sakit. Kuatatap laki-laki berjaket belel itu nanar. "Kenapa, selalu mati Kak Arja?" tanyaku pelan.
Tidak ada jawaban lagi setelahnya. Kami diam hingga telepon laki-laki itu berdering. Ada sesuatu yang mengharuskannya ke kampus sore ini.
***
Selama ini, aku menganggap mati adalah kata lain dari pulang. Kata Kak Arja hidup adalah sebuah perjalanan, jika tujuan pergi adalah pulang, maka apa tujuan hidup adalah mati? Tapi, jikapun begitu, kendati semua orang pasti akan berakhir masa hidupnya di dunia, atas segala rasa kejujuranku, aku masih belum siap dengan kematian. Apa hanya aku yang merasa demikian?
"Baru pulang Ras?" Dari balik punggung sofa, suara yang sangat kukenali itu terdengar dari sana. Niatku yang awalnya akan langsung bergegas ke kamar jadi teralihkan dan memilih menyusul Kak Ratih yang sedang tiduran dengan telinga tersumpal earphone.
Aku menjatuhkan tubuhku ke karpet bulu ruang tengah, dan menyandarkan kepala ke sofa yang ditiduri Kak Ratih.
Salah satu alasan mengapa aku sangat santai dengan masa depan adalah Kakakku. Kak Ratih tidak banyak menghawatirkan masa depannya seperti apa. Katanya, selama kita masih berusaha, semua ketentuan hanya di tangan Allah. Buktinya, Kak Ratih bisa kuliah dengan lancar di salah satu PTS dan sebentar lagi akan wisuda dengan predikat cumlaude.
"Kamu ketemuan lagi sama anaknya temen Ayah itu?" tanya Kak Ratih.
Aku meliriknya sekilas, perasaan aku tidak pernah bilang ke siapa-siapa mengenai pertemuanku dengan Kak Arja. "Kata siapa?"
"Devina. Dua minggu lalu, Kakak ketemu dia di halte sendirian. Pas Kakak tanyain kamunya dimana, kata Vina kamu lagi ketemu sama cowok itu. Namanya Arja nggak sih kalo nggak salah?" Kak Ratih melepaskan earphonenya sekilas untuk medengarkan jawabanku setelahnya.
"Hm." Aku hanya berdehem malas.
"Emang ada perlu apa sih kamu ngajak dia ketemuan? Mau ngegebet ya?" Kakakku mengerling jahil.
"Sembarangan! Orang dia yang pertama kali ngajak ketemu. Sorry ya, aku kan true lovenya cuma Martin Garrix seorang." Aku tersenyum di akhir kalimat. "Mas Martin, hibur aku dong," ujarku pelan dan langsung mendapat toyoran dari Kak Ratih.
"Huuu, dasar tukang ngayal!" Kak Ratih terkekeh melihat rautku yang berubah menjadi semakin kesal. "Emang apa serunya ya ketemuan sama abg kaya kamu? Cantikkan juga cewek-cewek UI," ucapnya yang seperti tengah mengompori. "Btw, Arja tuh gimana sih orangnya? Sayang banget dulu nggak ikut di acara syukurannya dia yang masuk UI itu. Ganteng nggak Ras?" tanya Kak Ratih dengan kikikan pelan.
Sama sekali tidak peduli dengan ucapan Kakakku, aku memilih diam dan menyalakan tv. Iklan sabun langsung menyambut mataku kemudian.
"Kak, anterin Mama ke rumahnya Tante Riska yuk!" Suara Mama terdengar dari ambang pintu dapur. Kak Ratih langsung beranjak bangkit dan melihat jam dinding setelahnya.
"Duh Ma, Kakak sebentar lagi dijemput temen nih. Besok aja gimana?" tanya Kak Ratih yang dari nadanya kelihatan bimbang.
"Enggak bisa besok lah Kak, orang Mama mau nganterin kue lapis kok. Mama naik ojol aja nanti," putus Mama akhirnya. Setelah iklan sabun selesai dan kini berganti iklan parfum, aku segera berdiri karena keberadaanku sejak tadi memang tidak diketahui Mama.
"Mau Raras anterin Ma?" tawarku.
Senyum lebar langsung tercetak kala Mama melihatku dan menawarkan bantuan. "Loh, Raras ternyata udah pulang. Bentar ya Mama ambil kuenya dulu." Wanita itu kembali masuk ke dapur dengan langkah tergesa. Meninggalkan aku dan Kak Ratih yang kini menatapku aneh.
"Ciee, semangat banget mau ke rumah gebetan!" godanya.
Kukerutkan dahi tidak paham. "Maksudnya?"
"Tante Riska kan Mamanya Arja."
Aku melotot sambil menganga. "Masa?"
Kak Ratih masih senyam-senyum jahil kearahaku. Aku berniat membatalkan tawaranku pada Mama dengan pura-pura sakit perut, tapi serentetan kalimat dan tarikan tangan seketika tidak bisa membuatku berkutik lagi.
"Tapi jangan ngebut-ngebut ya Ras. Mama masih takut nih kalau dibonceng kamu," ujar Mama bersamaan dengan tangannya yang menarik lenganku ke luar rumah. Aku mendengar suara cekikikan dari Kak Ratih ketika dia menyaksikan aku yang ditarik Mama dengan wajah cengo.