Aku mengajak Devina--sahabatku--ke kedai kopi tempat janjian dengan Kak Arja. Dengan mengendarai motor scoopy hasil aku merengek empat bulan lalu, bersama Devina yang kubonceng manis di belakang, aku agak ngebut karena aku ngaret setengah jam dari waktu janjian. Setelah motorku berhasil sampai di Kopi Bar--tempat yang dimaksud Kak Arja--kami berdua bergegas masuk dan mencari keberadaan laki-laki itu.
"Duh Ras, sebenernya lo mau ketemu siapa sih?" tanya Devina ketika melihatku celingak-celinguk dan tak kunjung menemukan batang hidung Arja. Aku berdecak ketika memang benar laki-laki itu tidak ada disini. Setelahnya, kutarik lengan Devina untuk kuajak duduk di salah satu kursi disana.
"Udah pulang deh kayaknya Vin, janjiannya juga jam 3, ini udah jam setengah 4."
Devina mendengus pelan. "Jadi, sebenernya siapa yang ngajak janjian?" Gadis itu bertanya gemas.
"Arja Vin, dia anaknya temen Ayah. Gue kenal dia waktu acara syukurannya masuk UI dua tahun lalu," jelasku singkat.
Gadis itu melotot, "APA?" pekiknya. "Demi planet Mars wisata impian gue, lo janjian sama mahasiswa tahun kedua? What happen with you Ras? He's old!" Devina berbisik ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Noppe, baru juga 19." Aku menyanggah.
"Ih. Lo baru masuk kuliah, dia udah kelar S1. Lo selesai S1 yaampun dia udah jadi om-om."
Sadar kemana arah pembicaraan Devina, instingku untuk mencubit lengannya datang juga. Sahabatku itu meringis pelan ketika tangan kirinya berhasil kuaniaya. "Sembarangan! Siapa juga yang mau sama dia? Mati muda deh," kataku tidak peduli.
"Emangnya kaya apa sih orangnya? Jelek?"
Alisku bertaut ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Devina, "kalau jelek kenapa emang?"
"Yah malah balik nanya. Secara logika aja deh Ras, jaman sekarang mana ada orang yang lebih tertarik sama inner beauty dibanding yang cakep? Nggak tau juga sih, tapi kayaknya sekarang masalah fisik itu nomer satu deh." Devina mengangkat bahu sekilas.
"Lo juga termasuk yang jaman sekarang?" Mataku memicing.
"Iya. Siapa juga yang mau punya pacar jelek?"
Menurutku ucapan Devina barusan itu dalem banget. Tuhan itu menciptakan sesuatu secara berpasangan, besar-kecil, berat-ringan, bagus-kurang beruntung. Aku sengaja menyebutnya kurang beruntung karena kalau dibilang jelek, yaelah, itu ciptaan Tuhan. Masa mau bilang ciptaan Tuhan jelek? Nggak worth it. Banget. Jadi kalau semua orang pilih yang bagus, yang kurang beruntung itu gimana?
"Bukan itu yang gue permasalahin. Kak Arja itu orang perfeksionis, ngambis, koleris. Isi hidupnya itu cuma rencana dan tujuan aja. Udah gitu ngatur-ngatur, nggak suka diatur, dan lo bayangin deh, dia benci sama orang bengong karena menurut dia bengong itu sesuatu nggak guna yang buang-buang waktu, cuma kerjaan orang bego. Coba deh lo ajak dia nonton film yang garing-garing krispi. Keluar bioskop pasti ntar matanya melotot sambil bilang 'kembaliin waktu dua jam gue', secara orang nonton kan isinya cuma melek sama kedip-kedip doang, hahaha." Aku tertawa setelah opiniku tentang Kak Arja baru saja kuserukan. Tapi saat kulihat Devina, dia malah menatapku sedikit gugup. Belum sempat kutanya kenapa dia, suara dari belakang kepalaku tiba-tiba mengintrupsi.
"Dan gue udah jadi orang bego selama setengah jam disini. Kembaliin waktu gue Raras!" Kak Arja berkata kalem. Tapi siapapun juga tahu kalau itu ada emosi yang disembunyikan. "Dan lo," dari suaranya, kali ini laki-laki itu memandang Devina, "gampang banget nilai fisik orang lain jelek atau nggak, emang diri lo udah sebagus apa?"
Aku tercenung. Kalau Devina tadi membicarakan orang jelek yang memang tidak ditujukan ke siapa-siapa, kali ini Kak Arja dengan lebih dalam lagi mengatakannya pada sahabatku. Kulihat wajah Devina memucat dan matanya sedikit berkaca-kaca.
Tidak peduli apa yang dia katakan, Kak Arja langsung mengambil tempat duduk di samping Devina, berhadapan denganku. Sementara sahabatku itu sudah mati kutu, beruntungnya sebelum Kak Arja berbicara lagi, ponsel milik gadis itu bergetar.
"Iya Kak? Oh itu udah Vina siapin. Iya di rumah. Apa? mau ngambil sekarang? Yaudah Vina pulang sekarang. Iya sampai jumpa Kak!" Devina menatapku setelah sambungan teleponnya diputus. "Ras, gue ada perlu sama orang nih di rumah. Duluan ya!" Gadis itu mengemasi barangnya cepat sebelum ngacir ke luar kedai. Dia sempat melirik Kak Arja takut-takut dan meminta ijin.
Setelah sahabatku telah hilang ditelan pintu, kutatap laki-laki itu kesal.
"Filter mulut berapa sih harganya?" sidirku.
"Iya, berapa ya? Gue juga mau beli buat tu anak," jawab Kak Arja datar. Jika air mukanya seperti sekarang, bisa kutebak dia sedang marah. Aku memutar bola mata, sindiran filter mulut kan kutujukan untuk dia, kenapa dia malah menuding sahabatku?
"Cermin juga berapa ya harganya?" sindirku lagi.
"Iya, berapa ya? Gue juga mau beli buat lo!" Kak Arja menatapku tajam.
Dahiku mengerut, "kok buat aku?"
"Iya! Udah tau salah, nggak minta maaf, dan dengan songongnya lo ngomongin gue di belakang." Nada bicara Kak Arja masih datar.
"Halah, giliran ngomong di depan dibilang pembully."
"Makanya jangan ngomongin orang. Buang-buang waktu."
Oke. Waktu. Alasan dia marah kali ini adalah karena waktuku yang ngaret selama setengah jam. Pertanyannya, kalau dia se'patuh' itu menggunakan waktu, kenapa Kak Arja tidak meninggalkan tempat ini sejak tadi? Sebenarnya apa yang akan dia bicarakan?
"Jadi, poin Kak Arja ngajak ketemu itu apa?" tanyaku.
Wajah yang semula datar dan kaku itu perlahan mengendur. Kak Arja berdeham pelan sebelum mengucapkan sesuatu. "Mau ngobrol sama lo."
"Tentang?"
"Tentang obrolan yang belum selesai waktu itu."
Aku mengingat kembali apa hal terakhir yang kami bicarakan di telepon. 'Apa lo nggak merasa kalau suatu pencapaian itu penting? Kalo misalkan itu nggak buat lo bahagia, seenggaknya orang-orang terdekat, sahabat, orang tua lo bangga. Kita semua nggak ada yang tau masalah umur, jadi kalau selama hidup lo belum pernah bikin mereka bangga, lo nggak nyesel?'
Lagi. Rasa takut itu pelan mulai menghampiri. Meskipun aku cenderung bodoamat dengan masa depan, aku selalu berharap pada Tuhan agar aku diberikan umur panjang untuk membuat orang tuaku setidaknya bangga. Seperti yang kusaksikan sebelum-sebelumnya, aku berharap seperti dia yang berakhir tenang dengan nama baik, kebanggaan, dan pencapaian sukses yang telah dia tinggalkan. Dia berakhir happy ending pada kisahnya sendiri.
"Raras!"
Aku sedikit tersentak saat Kak Arja melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
"Aku belum tau mau ngapain," ujarku pelan.
Laki-laki di depanku itu mengangguk sekilas. "Masih suka gambar?" tanyanya kemudian.
"Masih."
"Suka ngelukis?"
"Suka." Sambil mendengarkan kata-kataku, Kak Arja mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku jaket jeans yang dia kenakan.
"Ini. Buat orang yang lo sayang bangga!" Dia menunjukkan layar posel yang menampilkan banner Lomba Lukis Nasional yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia.
"Dengan ini, karya-karya lo bisa dikenal luas Ras. Its not bad, you can do it. Lukisan lo punya kesempatan buat jadi koleksi negara, pengakuan itu nggak buruk."
Aku tersenyum simpul. "Pengakuan ya? Buat dihormatin dan dibanggain kaya Kak Arja sekarang? Tapi maaf Kak, Raras itu bukan orang yang gila hormat." Ucapanku mungkin menyinggung Kak Arja. Terbukti dengan matanya yang kembali menyorotku dengan tajam.
"Ras, please! Hidup itu harus punya rencana dan tujuan. Ini bisa lo jadiin awal dari perjalanan hidup yang sebenarnya. Siapa kita dan kemana kita akan melangkah itu pertanyaan penting untuk hidup ini. Banyak orang mati yang di masa hidupnya belum ngerasain pencapaian. Ini yang buat gue seperhitungan itu sama waktu. Karena," Kak Arja berhenti sejenak untuk melihatku, "mati itu nggak ada yang tau."
Aku tertegun, kenapa dia selalu membicarakan mati dan pencapaian jika menyangkut rencana hidupku? Dan apa tujuannya yang bersikeras menuntutku agar punya tujuan hidup? Apa dia ....
"Kok seakan-akan Kak Arja mandang aku hidup tanpa arah ya?" Aku tertawa kecil, lebih mirip sinisan. Tapi laki-laki itu diam. "Aku punya cita-cita kok, tenang aja. Semua orang juga pasti punya, entah tercapai atau enggak." Kusambar tas punggungku di kursi dan menggendongnya, lalu berdiri diikuti tatapan datar Kak Arja. "Pulang dulu ya!" pamitku lalu kutunggalkan dia duduk sendiri.
"Semoga cita-cita lo itu nggak cuma ekspetasi ya! Ekspetasi itu menyakitkan."
Aku mendengar ucapan Kak Arja saat langkahku belum jauh. Tapi tak ada niat sama sekali untuk berbalik, jadi kuacungkan jempolku ke belakang sambil berjalan. Sampai di parkiran, aku teringat sesuatu yang hampir kulupakan. Devina. Pasti hatinya sakit dengan ucapan Kak Arja tadi. Kukeluarkan ponsel dari dalam saku dan kuketikkan pesan disana.
Raras
Vin, omongan Arja jangan dimasukkin hati ya
Devina
Dalem sih Ras. Gue jadi paham kenapa deket sama
dia jadi mati muda, makan omongan mulu. Panjang umur ya Ras.
Aku tak membalas pesan dari Devina, pandanganku justru lurus pada satu kata disana. Kenapa mati lagi?