Jam 5 sore, aku dan Devina baru pulang dari Alaska. Dengan raut wajah kami berdua yang sangat bahagia seperti baru menang lotre, kami memutuskan ke minimarket untuk membeli minuman serta makanan ringan sebelum pulang. Setelah sejumlah belanjaan telah kami bayar, aku dan sahabatku menunggu angkutan umum lewat di halte sambil istirahat setelah lompat-lompat sambil teriak-teriak di lapangan Alaska tadi.
"Seru deh tadi," ucapku setelah menenggak air mineral yang baru kubeli itu.
"Iyalah seru orang tiketnya aja mahal, lo sih dibilangin nggak percaya," cibir Devina sambil mengipas-ngipasi lehernya dengan telapak tangan. Langit sedikit mendung, tapi udara sekitar kami masih panas.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, melihat tukang lukis pinggir jalan membuatku teringat sesuatu. Aku belum punya ide untuk lukisanku yang niatnya akan kuikutsertakan di lomba melukis Galeri Nasional. Sebenarnya sejak aku melukis kupu-kupu di ruang tamu waktu itu, aku selalu mentok jika dihadapkan dengan kuas serta kanvas lagi. Biasanya imajinasiku mengalir begitu saja, tapi akhir-akhir ini, semakin kupaksakan hasilnya malah makin buruk. Bukan tanpa alasan sih sebenarnya, karena semua karyaku murni dari imajinasi antah berantah yang sulit kuuacapkan dengan kata-kata. Padahal deadline pengumpulan karyanya sebentar lagi tapi aku belum menyiapkan apapun.
Satu ide tiba-tiba muncul bagai oase di tengah gurun, ide sedikit gila yang nggak pernah kupikirkan sebelumnya. Semoga setelah ini aku nggak ada niat menyembunyikan wajah karena malu. Amiin.
Kukeluarkan ponsel pintar dari saku jaket denim yang kupakai, lalu mengetikkan pesan singkat ke orang yang dulu-dulu pernah kuanggap orang pongah.
Raras
Tolongin. Kepala sedang diserang Negara api. Imajinasi nggak jalan lagi.
Aku menggigit bibir lalu terkekeh sendiri membaca ulang pesan teks yang kukirim ke Kak Arja. Beberapa menit kemudian, pesan reccehku itu dapat balasan.
Kak Arja
Mandi!
Raras
Maksudnya?
Kak Arja
Biar seger lagi, kayaknya otak lo perlu di refresh karna kebanyakan nganggur.
Raras
Serius dong, gimana ni, bantuin dong. Dikejar DL tapi imajinasi nggak jalan
Kak Arja
Oh. Ada ide nih, kasian liatnya. Sekarang dimana?
Raras
Halte deket Alaska
Kak Arja
Tunggu aja situ, gue nyusul abis urusan kelar.
Raras
Ok
Aku melirik Devina yang sejak tadi gelisah di tempatnya duduk. "Kenapa Vin?" tanyaku.
"Oh ini, udah sore. Kemaren Papa bilang bakal ada tamu ke rumah sore ini, tapi daritadi enggak ada angkot lewat," ucapnya sesekali menjulurkan lehernya sepanjang mungkin ke arah depan, berharap aka nada angkot yang muncul.
"Udah sore ini, kayaknya angkot juga udah pada nggak narik. Minta jemput Bang Denial aja!" usulku.
Devina diam sebentar lalu menatapku. "Tapi lo gimana?"
Aku mengibaskan satu tangan, "ah, enggak apa-apa. Gue aman kok."
"Yakin?" tanyanya lagi untuk meyakinkan. Aku mengangguk mantap. Setelah itu akhirnya Devina menelpon Kakak laki-lakinya itu untuk menjemput.
Beberapa lama kemudian sebuah mobil muncul dari arah kanan, mobil jeep putih yang sudah kutahu milik siapa. Aku melirik Devina was-was ketika dia terus-terusan menatap mobil yang kini berhenti tepat di depan kami dengan bingung. Kalau dia tahu ada yang menjemputku pasti mulutnya langsung ember, auto diledek tujuh haru tujuh malem.
Kak Arja membuka kaca mobil untuk memerintahku agar cepat masuk dengan gaya arogannya, Devina melongo sebelum kemudian melirikku dengan pandangan curiga.
"Siapa?" tanya Devina pelan.
Aku merapatkan jarak mendekati Devina lalu berbisik, "kakak angkat."
Devina kontan melotot, tapi belum sempat dia bertanya, Kak Arja dengan songongnya membunyikan klakson berkali-kali.
"Vin, Bang Denial masih lama? Apa kalo enggak lo mau nebeng?" tanyaku akhirnya.
"Enggak, bentar lagi nyempe. Duluan aja!" jawab Devina sambil menatap ke dalam mobil dengan serius. "Yuk, gue anter ke mobil." Gadis itu mendorong tubuhku mendekati mobil. Aku mengernyit heran, apalagi ketika dia nekat melongok ke dalam. Aku menikuti gerakan Devina yang melongokkan kepalanya di kaca yang terbuka.
"Eh? Kok kayak pernah ketemu deh," ceplos Devina langsung tanpa malu. Aku mendapati Kak Arja juga mengernyit heran. Lalu memperhatikan Devina juga.
"Iya? Emang sih, muka lo agak familiar," jawab kak Arja yang tidak kusangka-sangka.
Devina belum sempat berkata lebih ketika mobil Bang Denial sudah datang untuk menjemputnya. Gadis itu cepat-cepat menoleh dan melambaikan tangannya sekilas kesana, kemudian dia menatapku. "Ras duluan ya!" pamitnya cepat-cepat dengan senyuman sebelum berlari menghampiri Kakak laki-lakinya. Kubalas pamitan sahabatku itu dengan lambaian tangan singkat sambil tersenyum. Kemudian masuk ke dalam mobil jeep putih yang supirnya sudah memberiku tatapan malas.
"
Selow!" kataku dengan dua tangan terangkat ke depan. Laki-laki itu hanya berekspresi datar kemudian menginjak gas-nya meninggalkan halte.
"ini udah sore, mau pergi besok aja apa gimana? Kalo mau sekarang tapi pulang dulu, izin sama orang rumah," ucapnya dengan pandangan lurus ke jalanan depan.
"Ijin lewat telepon aja." Aku sudah siap mengeluarkan ponsel dari saku jaket ketika suara Kak Arja mengintrupsi.
"Nggak. Mending pergi besok aja kalo gitu."
Aku mengerucutkan bibir kemudian berdecak malas. "Besok nggak bisa, dua hari ke depan waktuku full bareng Devina."
"Yang tadi namanya Devina?" tanya Kak Arja.
"Iya, emang kenapa?"
"Kayak pernah liat dia." Kak Arja membelokkan mobilnya persis seperti ke arah rumahku.
"Emang pernah liat," jawabku cuek. Dari sudut mata sekilas kulihat dia mengernyit.
"Masa? Kayaknya enggak pernah."
"Ck, pernah, dulu di Kopi Bar. Situ marahin dia sampe orangnya pucet."
Kali ini gantian laki-laki itu yang berdecak keras. "Emang kerjaan lo itu sok tau," cibirnya. Aku hanya diam, percuma saja kujelaskan. Memori Kak Arja itu kecil, jadi kejadian sialan yang berulang-ulang itu tak ada yang dia ingat. Dan kenapa semesta? Kenapa aku?
Mobil berhenti di pekarangan rumahku tanpa kusadari. Gerimis kecil samar-samar telihat dari dalam kaca mobil. Sebelum turun, aku menatap Kak Arja yang telah mematikan mesin mobilnya.
"Sekarang aja ya? Ya? Ya? Ya?" pintaku kerena besok dan lusa hari terakhir Devina disini, jadi aku akan sibuk. Sibuk sedih ditinggal satu-satunya bestie.
"Masuk sana!" perintahnya.
Bahuku terkulai lesu, gagal deh main sama kuas lagi. Padahal tanganku sudah gatel pengen ngelukis. Tapi sepertinya malam ini aku kembali menyalurkannya hanya dengan sketchbook.
"Lo mandi, nanti gue yang bilang ke Tante Sekar."
Aku melotot, "jangan!" reflekku. "Aku bilang sendiri aja."
"Nggak, nanti lo boong."
"Jangan bilang aku pergi buat ngelukis, pliss. Orang rumah nggak ada yang tau aku bakal ikut lomba." Aku menangkupkan dua telapak tangan di depan dada dengan meta terpejam.
"Kenapa?" tanya Kak Arja.
"Malu kalo nanti akhirnya gagal. Aku nggak mau ngasih harapan ke mereka, yang aku aja nggak tau sanggup apa enggak ngelakuinnya."
Kak Arja diam sebentar, seperti sedang menimang-nimang sesuatu. "Oke," putusnya setelah lima detik kemudian. Aku menghela nafas lega.
∞
Sesuai yang laki-laki itu itu katakan, akhirnya aku berhasil keluar rumah lagi setelah Kak Arja bohong ke Mama kami akan pergi ke seminar. Kejutan untuknya, Mamaku itu terlihat senang sekali anaknya dibawa ke hal-hal yang bermanfaat. Tapi setelah keluar rumah, Kak Arja melirikku dengan raut super dongkolnya. Kubalas ekspresi itu hanya dengan nyengir kuda.
Sepanjang perjalanan kami berdua banyak diam. Langit yang sejak setengah jam tadi sudah gelap tak menyusutkan setengah dari penghuni jalan tadi siang. Sesekali kami tejebak macet, ditambah jalan yang lembab habis diguyur hujan manjadikan genangan diasana-sini. Untung saja Kak Arja bawa mobil.
Mobil menepi di depan kafe kecil di daerahan Margonda yang pengunjungnya tidak ramai. Kerena tempatnya yang menjorok ke dalam di antara tanaman hias, aku baru sadar kalau di daerah situ ada tempat nongkrong mini.
Kami berdua turun dari mobil dan berjalan menghampiri bangunan kecil yang di depannya terdapat plang kecil yang bertuliskan 'La La Land', aku mengernyit, "kayak judul film" gumamku.
Bunyi lonceng berdenting menyambut kedatangan kami ketika Kak Arja membuka pintu. Dan aku baru menemukan surga disana. Surga untuk orang yang suka menggambar sepertiku. Tempat ini bukan tempat nongkrong, ini sarangnya para pelukis. Satu hal yang menambah tempat ini makin keren adalah satu set meja bartender lengkap dengan alat-alat pembuat minuman.
"Wassup si Raja!" teriak orang di pojok ruangan dengan meja berantakan. Di hadapannya terpampang lukisan hampir jadi penyebab meja tercecer alat lukis. Laki-laki gondrong yang menyapa Kak Arja itu tersenyum lebar. Aku ingat dia, dia Kak Bian yang pernah kutemui waktu pameran lukisan di Galeri.
"Wah, seniman!" Kak Arja geleng-geleng kemudian tersenyum lebar juga. Setelah itu dia berjalan menghampiri Kak Bian dan meninggalkanku yang masih terkagum-kagum oleh La La Land. "Nggak usah ngajak high five kalo tangan lo kotor." Kak Arja mengambil tempat duduk di samping Kak Bian.
"Gaya lo, proyek sendiri aja main sampah mulu," jawab laki-laki gondrong itu kemudian mereka berdua tertawa bersama.
"Pacarnya Arja ya?"
Aku sedikit terlonjak ketika seorang perempuan telah berdiri di belakang meja bar. Reflek aku menggeleng. "Bukan Kak, temennya," jawabku cepat. Kak Wanda tertawa. Iya, dia Kak Wanda teman Kak Arja asal ITB jurusan Seni Rupa yang juga pernah kutemui di Galeri.
"Ah aku kirain pacarnya." Dia tertawa, "jarang-jarang Arja bawa cewek."
Aku ikut tersenyum kecil. "Kak, ngomong-ngmong ini tempat apa ya? Kafe? Tempat nongkrong?" tanyaku.
"Oh, tempat ini? Lebih tepat dibilang sarang sih sebenernya. Btw nama kamu siapa?" Kak Wanda mengulurkan tangannya yang dengan senang hati kubalas. "Wanda," lanjutnya.
"Raras Kak. Maksudnya sarang apa? Kok keren banget gini. Sarang seniman ya?" sekali lagi kedarkan pandangan ke seluruh ruangan itu.
"Haha, iya kamu bener. Sarang seniman abal-abal," ucap Kak Wanda mencoba merendah, padahal La La Land ini tempat super keren dengan alat lukis super lengkap.
"Serius deh Kak, lukisannya keren-keren banget." Sesekali aku berdecak kagum.
"Lukisan-lukisan yang kamu bilang keren itu sih udah lewat tahap seleksi ketat pentes apa enggak dimuat publik, dan cuma setengahnya yang lolos."
"Dimuat publik? Maksudnya bakal digelarin pameran?" aku memandang sekitar, di ruangan ini ternyata hanya ada aku, Kak Arja, Kak Wanda dan Kak Bian. Tapi di tiap-tiap pojok dan meja terdapat tas maupun jaket yang sengaja ditinggal. "Jadi ini beneran markasnya seniman?" aku berdecak kagum lantas mengingat kejadian aku mengunjungi pameran di Galeri waktu itu, Kak Arja bilang pameran itu digelar oleh mahasiswa/mahasiswi Seni Rupa dari berbagai universitas. Ternyata markas mereka disini.
Kak Wanda hanya tertawa kecil. Belum sempat kami lanjut mengobrol, suara Kak Arja dari belakang sudah mengintrupsi Kak Wanda lebih dulu. "Wanda, kopi satu ya!" ujarnya.
Kak Wanda mengacungkan jempol kemudian teresenyum. "Sip! Kamu mau minum juga Ras?" tanya Kak Wanda.
"Eh? Aku the anget aja kalo ada," ujarku. Kudengar Kak Arja tertawa mendengus karena meledek. Aku melirik dia sekilas sebelum laki-laki itu mendorong bahuku ke pojok ruangan tempat alat lukis disimpan.
"Sana cepet! Kalo hasilnya nggak bagus gue pecat jadi adek angkat," ucap Kak Arja mengancam.
"Apa? Emang siapa yang ngaggep Kak Arja Kakak aku?" aku tertawa.
"Tadi di halte lo bilang gitu kan sama si Devina Devina itu?"
Skakmat Raras! Aku bungkam. Dua pipiku juga panas. Duh, kok dia dengar ucapanku yang lumayan pelan itu. Setahuku Kak Arja tidak punya kemampuan super hearing.
"Udah, nggak usah blushing gitu. Nih teh angetnya," ucap Kak Arja sambil memberikan cangkir teh yang baru saja diantarkan Kak Wanda beserta dengan kopinya. Aku menerimanya sambil diam sebelum kemudian kuletakkan teh itu di atas meja. Kegiatanku selanjutnya adalah menyiapkan alat-alat untuk melukis.
Kak Arja menyesap cairan kafeinnya itu juga dalam diam. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Aku mendengar Kak Wanda menyalakan musik tapenya dan memutar lagu Pierce dari One Ok Rock, dan aku menikmati alunan musik itu dengan seksama. Kutatap muka Kak Arja yang kali ini serius dengan ponselnya. Aku pernah melihatnya mati, di depan mata kepalaku sendiri. Aku juga membayangkan kematiannya yang rata-rata akulah penyebabnya seperti pada dimensi yang kutemui akhir ini. Kenapa semesta membuat hidupku rumit?
"Kak, tujuan hidup Kak Arja yang sesungguhnya itu apa?" tanyaku serius. Awalnya laki-laki itu mengernyit saat mendongak, tapi karena dia melihat rautku yang tidak main-main, dia menegakkan tubuh sebelum menjawab lalu memajukan posisinya mendekatiku karena kami berdua memang berhadapan.
Kemudian Kak Arja menggeleng pelan. "Yang asli dari hati, gue nggak punya tujuan hidup Ras. Tujuan hidup itu cuma buat jadi pegangan aja. Tapi..." Kak Arja menggantungkan kalimatnya. "Keinginan gue yang sebenernya itu jadi manfaat buat orang lain."
Aku memperhatikan laki-laki itu dengan serius kemudian tersenyum. "Pasti bisa kok," ujarku.
"Jadi gue juga mau nanya, keinginan lo yang sebenernya apa Raras?" tanya Kak Arja pelan tapi serius.
"Enggak nyusahin orang lain," jawabku pelan sambil memalingkan muka. Nyatanya akulah penyebab tiap kematian laki-laki di depanku ini. "Maaf ya!" ucapku hampir tidak terdengar.
"Nggak ada yang salah sama skenario Tuhan Ras." Kak Arja menjawab dengan senyuman kecilnya.
Selanjutnya kami saling diam, aku berusaha mengarahkan semua perhatianku pada lukisan. Sesekali kulirik Kak Arja yang duduk diam ditemani kopi dinginnya.
Mood-ku tiba-tiba kacau. Aku kembali mengingat detail kematian orang yang kini duduk di hadapanku itu. Entah apa nanti hasilnya, aku tetap menggoreskan cat air pada kanvas dengan perasaan gelisah. Tapi sebenarnya itulah yang saat ini kubutuhkan. Pelampiasan.