Read More >>"> Dimensi Kupu-kupu (18. Zona Nyaman (2)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dimensi Kupu-kupu
MENU
About Us  

Devina itu sahabatku sejak SMP, pertama aku kenal dia waktu pertama masuk kelas setelah 3 hari MOS. Pagi itu aku duduk sendirian di pojok belakang karena kebetulan aku masuk kelas yang hampir semua orangnya belum kukenal. Waktu itu aku pasrah-pasrah saja kalau harus duduk sendirian. Lagipula pasangan di depanku saat itu juga ramah, sering sekali mengajakku mengobrol.

Lalu kulihat dari pintu kelas, gadis yang seragamnya kebesaran dengan muka polos seperti anak SD datang. Matanya memindai satu ruangan kelas, lalu berhenti padaku. Aku tersenyum, dia juga. Tapi bukannya mengajakku duduk bersama, anak itu malah menghampiri meja kosong belum berpenghuni di barisan laki-laki, sesekali dia melirikku.

“Vin jangan duduk disini, ini tempatnya anak cowok,” ucap anak laki-laki di depannya.

“Nggak mau, mau duduk disini aja. Disana ceweknya judes-judes, nggak kenal.”

Anak laki-laki di depan Devina lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Duduk sama dia aja,” ucapnya dengan jari telunjuk mengarah ke kursi yang masih kosong sampingku.

Devina juga ikut menoleh, memperhatikanku, lalu menggigit bibir. Setelah itu dia berbisik pada anak laki-laki tadi. Bisikan ala anak SD yang masih terdengar jelas telinga jarak lima meter. “Dia itu judes, mukanya juga galak.”

Kuperhatikan Devina dengan raut sinis, anak laki-laki itu juga. Aku mendapati mereka berdua kemudian berbisik-bisik lagi tapi tidak bisa kudengar. Lalu dengan perasaan dongkol, kupalingkan muka dari mereka berdua dengan gaya judes-sejudes-judesnya.

Beberapa menit kemudian guru wali kelas datang. Menyampaikan ini itu mengenai kelas baru kami. Lalu hingga perhatian guru wanita itu terpaku pada anak perempuan yang duduk sendirian di barisan laki-laki, dia mengernyit. Sialnya setelah itu dia mengalihkan perhatiannya kearahku, lalu kembali lagi ke Devina.

“Kamu namanya siapa?” tanyanya pada Devina.

“Devina,” jawab Devina pelan.

“Kalau kamu?” kali ini guru itu bertanya padaku.

“Raras.” Aku menjawab pelan juga. Kulihat wanita itu tersenyum.

“Devina duduk sama Raras aja ya? Kamu cewek sendirian loh disitu,” ujarnya lembut. Tidak perlu diperintah dua kali, gadis itu betulan angkat kaki dari barisan laki-laki dan membopong tasnya kearahku. Sampai di kursi kosong yang akan dia tempati, Devina melirikku singkat, lalu tersenyum singkat juga.

Setelah kedatangan Devina di sampingku, awalnya kami sering ribut. Mulai dari kehilangan pensil, bolpoint, penghapus, bahkan posisi buku yang melanggar batas. Entah kenapa, hal sekecil apapun dulu seakan jadi alasan kami bertengkar. Hingga lama-kelamaan, ribut maupun membully satu sama lain sudah jadi cara berteman kami. Hingga saat ini.

“Jadi tuh gue ada tiket nih 2, dikasih sama temen. Kesana mau nggak?” tanya Devina sambil memakan eskrim yang kami beli di minimarket. Aku menoleh lantas ikut memperhatikan tiket yang dikeluarkan Devina dari saku sweaternya.

“Hah? Tiket apaan?”

“Katanya sih ada acara tahunan di Alaska, udah dari tadi pagi sih mulainya. Tapi kayaknya jam-jam segini tuh lagi puncak-puncaknya acara.”

“Ih ngapain kesana, paling juga acara dies natalies kan? Emang acaranya buat umum?” tanyaku sedikit menolak. Karena you know why lah, datang ke acara sekolah lain itu sedikit seneng banyak risihnya. Sialnya lagi, nggak ada seorangpun yang kukenal di SMA elite sarangnya selebgram itu.

“Buat umum acaranya, tapi ya gitu, tiketnya mehong jadi kemungkinan cuma orang-orang hits yang kepikiran kesana. Makanya ini daripada tiketnya mubazir, kita kesana aja, jajan apa gitu kek atau enggak cuci mata. Temen gue yang ngasih ini juga anak Alaska kok, dia panitianya.” Devina terkekeh pelan.

“Ih tapi cerita dulu dong Vin, lo itu kenapa sampe nangis-nangis gitu tadi?” tanyaku untuk kesekian kali tapi belum pernah dapat jawaban dari sahabatku itu.

“Gue ceritanya di angkot aja deh Ras, janji deh.” Devina mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. “Yuk nyari angkot,” lanjutnya sambil menarik lenganku yang masih memegang cup eskrim yang isinya sudah habis. Buru-buru kubuang wadah itu kemudian menyusul Devina.

Setelah berhasil mendapat angkot ke Alaska, kami bergegas naik.

“Jadi gimana?” tanyaku tidak sabaran.

Devina diam sebentar, kemudian berdecak kesal lalu mengomel pelan. Kuperhatikan sahabatku itu dengan dahi berkerut. “Gue dipindahin ke Solo coba sama Papa.”

“APA?” teriakku reflek yang seketika menyedot perhatian orang-orang di angkot. Kubalas mereka dengan senyum minta maaf. “Kenapa?” tanyaku pada Devina lagi dengan volume suara lebih pelan.

“Papa resign dari kantor, katanya dia bakal pindah ke Solo terus nerusin batiknya Eyang disana.”

“Jadi lo nolak?” tanyaku.

Devina menggigit bibir. “Iya, tapi Papa gue bilang kaya gini ‘Vin kamu itu udah terlalu nyaman sama kehidupanmu disini, jadi kamu nggak akan tau gimana enaknya hidup di Solo. Yang belum pernah dicoba punya dua kemungkinan, gagal apa enggak. Jadi kamu udah ngeyel dulu bilang hidup di Solo bakalan nggak punya temen’ gue bingung Ras.”

Aku mengerucutkan bibir. “Yaah, Devina pindah. Terus disini gue sama siapa dong?” tanyaku lesu sambil memeluk tubuh  Devina dari samping.

“Pengennya sih tetep disini, keluarga lengkap, temen deket punya biarpun satu doang, sekolahnya enak. Udah nyaman deh disini tuh, kalo harus ganti buku di Solo, isinya kaya apa ya?” Devina menggenggam lenganku yang memeluknya.

“Jadi yang kaya gini yang namanya keluar dari zona nyaman mungkin Vin. Setelah lo pindah nanti, gue juga out of the zona dimana gue jarang berbaur sama teman lain, kan temen gue cuma lo doang.”

“Terus setelah kita keluar dari zona nyaman itu, yang kita cari lagi apa?” tanya Devina.

Aku menggeleng. “Enggak tau, tapi kayaknya kita diajarin adaptasi setelah itu. Jadi kita udah punya banyak pengalaman nyaman dimana aja.” Setelah itu aku dan Devina diam cukup lama, mencerna baik-baik apa yang barusan kami obrolkan.

“Kayaknya ini weekend terakhir kita Ras,” ujar Devina yang seketika membuatku mendongak.

“Emang berangkatnya kapan?”

“Lusa, anterin ya ke Bandara!” pinta Devina sambil giliran memelukku dari samping. Dari suaranya, aku bisa menebak kalau dia sedang menangis. Terbukti dengan mukanya yang dia sembunyikan di lengan kiriku. Beberapa orang yang mendengar percakapan kami turut prihatin ketika melihat dua remaja peluk-pelukan karena akan berpisah. “Bakal kangen banget deh sama lo, temen terbaik yang gue punya,” kata Devina pelan.

“Jangan nangis dong Vin, kan masih ada Skype, kita kalo di rumah kan suka gitu,” ujarku berusaha menenangkan Devina.

Devina menggeleng, “pengen disini aja. Nggak mau ke Solo. Di Solo nggak ada orang yang kaya Raras gini.”

“Ish nggak boleh gitu, ntar kalo liburan gue main deh ke Solo, seminggu.”

“Beneran ya?” Devina menetapku dengan mata berairnya. Aku mengangguk kemudian mencubit dua pipi sahabatku itu sampai dia mengaduh kesakitan.

“Bang Denial juga ikut ke Solo?” tanyaku.

“Enggak, Abang gue ngekost. Nggak tau deh Papa tuh kenapa sampe bikin keadaan jadi sulit begini.” Devina menghela nafasnya pelan.

“Nggak ada orang tua yang berniat bikin susah anaknya Vin, mungkin di Solo lo bakal diubah jadi lebih baik lagi, disana kan emang kampung  halamannya.”

Aku mendapati Devina menetap arah depannya kosong. “Harusnya gue ngajakin jalan udah dari tadi pagi, tapi karna mata gue berat banget buat melek jadi ya weekend terakhir kita cuma setengah hari doang.”

Aku tersenyum mengiyakan. “Nggak papa kok, kan kalo liburan nanti kita bisa travelling.” Aku terkekeh.

“Janji ya, kita habisin liburan full berdua, terus rutin vidcall-nya, kalo ada masalah lo harus cerita jangan dipendem sendiri, kasian tuh hatinya. Janji juga lusa anterin ke Bandara, tapi disana lo jangan nangis.” Devina berceloteh panjang, di samping aku malah mulai sesenggukan.

“Tuh kan, lo itu penguat gue Raras. Kalo lo nangis gue juga bakal nangis juga.”

“Jadi berat ditinggalin.” Kupeluk tubuh Devina itu kian erat. “Tapi janji deh. Kita liburan jalan-jalan berdua ya ke Solo, Semarang, Jogja. Maafin gue kalo selama kita temenan suka bikin kesel.”

Sahabatku itu mengangguk. “Iya, maafin juga ya!”

“ALASKA! ALASKA!” teriak kenek angkot membuat kami mau tidak mau harus turun. Setelah membayar sejumlaah uang ke kenek, aku dan Devina bergegas ke pintu gerbang besar SMA Alaska.

“Udahan dulu sedih-sedihannya ya Ras, kita seneng-seneng disini.”

Aku megangguk degan senyum lalu bergegas masuk ke gedung sekolah elite itu. Setelah menyerahkan tiket ke satpam—karea seluruh panitia sudah masuk acara—kami diarahkan menuju lapangan basket luas tempat acara berlangsung. Senyumku dan Devina mengembang lebar. Puluhan stand-stand makanan, minuman, maupun souvenir benar-benar memanjakan mata kami berdua.

Di tengah lapangan megah itu terdapat panggung serta lautan manusia di sekelilingnya. Aku mendapati ternyata sedang ada band yang perform. Kalau tidak salah nama band itu adalah Harvest, band kekinian yang seringkali kulihat di timeline instagram. Personilnya juga tidak kalah keren, mereka semua anak Alaska.

“Mau jajan dulu nggak Ras?” tanya Devina di sela-sela musik yang berdentum-dentum.

Aku menggeleng. “Enggak ah, masih kenyang. Tadi kan baru makan eskrim,” tolakku. Devina akhirnya menangguk.

“Yaudah, kesana aja yuk.” Devina menunjuk arena sesak manusia di tengah lapangan itu. Seketika aku menggeleng.

“Iiih, ngapain kesana? Enggak deh, risih.” Aku mengedarkan pandangan ke seluruh area acara, mencoba mencari tempat yang enak daripada harus memenuhi permintaan Devina untuk ikut joget di tengah lapangan.

“Ah ayok Ras, weekend terakhir lho ini.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Devina menarik paksa lenganku ke tengah lapangan. Seketika suara riuh sesak itu terdengar sangat jelas ketika tubuhku kini ikut serta di dalamnya.

When you try your best, but you don’t succeed.

When you get what you want, but not what you need.

Suara vokalis band Harvest itu mengalun pelan, kulirik Devina yang melambai-lambaikan tangannya dengan raut senang. Ketika dia melirikku, kubalas dia dengan tatapan pura-pura kesal dengan dua tangan yang kulipat di depan dada.

Lights will guide you home.

And ignite your bones.

And will try, to fix you.

Devina merangkul bahuku erat setelah ikut-ikutan teriak menyanikan potongan lirik lagu Fix You dari Coldplay itu. Aku memejamkan mata, meresapi nada-nada yang masuk ke telinga itu, kemudian menatap Devina sambil teresnyum. Setelah itu aku juga turut bernyayi keras bersama sahabat terbaik yang sebentar lagi akan pindah itu.

Tears stream down your face.

Whwn you lose samething you cannot replace

Tears stream down your face and i

Tears stream down your face

I promise you I will learn from my mistakes

Tears stream down your face and i

Aku memeluk Devina dengan mati-matian menahan airmata, sahabatku itu juga sama. Lalu di tengan riuh rendah manusia disana, aku membisikan sesuatu ke dia.

“Kalau di Solo lo nemu yang kaya gue atau malah lebih, bilang ya Vin. Jangan lupain Raras.”

Devina mengangguk cepat. “Susah dilupain,” katanya, aku tersenyum.

Setelah itu kami kembali hanyut dalam kumpulan manusia disana ketika lagu Shape of You dari Ed Sheeran berdentum-dentum mengisi ruang kosong di segala penjuru Alaska.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PUBER
1786      735     1     
Romance
Putri, murid pindahan yang masih duduk di kelas 2 SMP. Kisah cinta dan kehidupan remaja yang baru memasuki jiwa gadis polos itu. Pertemanan, Perasaan yang bercampur aduk dalam hal cinta, serba - serbi kehidupan dan pilihan hatinya yang baru dituliskan dalam pengalaman barunya. Pengalaman yang akan membekas dan menjadikan pelajaran berharga untuknya. "Sejak lahir kita semua sudah punya ras...
#SedikitCemasBanyakRindunya
2943      1062     0     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.
NWA
2000      811     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
The Prince's Love
366      249     1     
Fantasy
some people are meant to meet, not to be together.
THE WAY FOR MY LOVE
418      323     2     
Romance
Because I Love You
605      445     1     
Romance
The Ocean Cafe napak ramai seperti biasanya. Tempat itu selalu dijadikan tongkrongan oleh para muda mudi untuk melepas lelah atau bahkan untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Termasuk pasangan yang sudah duduk saling berhadapan selama lima belas menit disana, namun tak satupun membuka suara. Hingga kemudian seorang lelaki dari pasangan itu memulai pembicaraan sepuluh menit kemudian. "K...
Lingkaran Ilusi
8288      1864     7     
Romance
Clarissa tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Firza Juniandar akan membawanya pada jalinan kisah yang cukup rumit. Pemuda bermata gelap tersebut berhasil membuatnya tertarik hanya dalam hitungan detik. Tetapi saat ia mulai jatuh cinta, pemuda bernama Brama Juniandar hadir dan menghancurkan semuanya. Brama hadir dengan sikapnya yang kasar dan menyebalkan. Awalnya Clarissa begitu memben...
Tentang Kita
1631      698     1     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
My Teaser Devil Prince
5564      1337     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
The Cundangs dan Liburan Gratis Pantai Pink
887      523     3     
Inspirational
Kisah cinta para remaja yang dihiasi fakta-fakta tentang beberapa rasa yang benar ada dalam kehidupan. Sebuah slice of life yang mengisahkan seorang pria aneh bernama Ardi dan teman-temannya, Beni, Rudi dan Hanif yang mendapatkan kisah cinta mereka setelah mereka dan teman-teman sekelasnya diajak berlibur ke sebuah pulau berpantai pink oleh salah seorang gurunya. Ardi dalam perjalanan mereka itu ...