Aku pernah membaca artikel mengenai dunia parallel. Singkatnya, alam semesta ini bukan hanya kita yang menempati. Dunia dengan dimensi lain akan terbentuk ketika kita memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi dalam hidup kita sendiri.
Kemungkinan itu nantinya akan membentuk ortodoks kehidupan kita yang lain dalam dimensi yang tidak dapat kita lihat. Siapa sangka jika ternyata diri kita sudah mati dalam ruang waktu lain?
Ini seperti yang sedang kualami. Entah mengapa sesuatu seperti sedang mengutukku. Dunia parallel itu memang betulan terjadi, tapi pikiran sadarku seperti dibawa dalam tiap-tiap dimensi. Tepatnya setelah Kak Arja mati, dimensiku akan berubah kala itu juga. Dan selalu diawali dengan scene yang sama, yaitu acara makan malam di rumah teman Ayah. Mungkin karena itu pertemuan awalku dengan Kak Arja.
Awal kehidupan anehku terjadi, Mama maupun Ayah tidak percaya bahwa aku telah menjalani kehidupan itu sebelumnya. Mereka bilang aku hanya Déjà vu. Tapi kejadian itu terus berulang, hingga mereka akhirnya membawaku ke psikiater ketika aku yang semakin takut jika bertemu laki-laki bernama Arja. Itu alasan kenapa aku menyimpan pil yang tidak kuketahui namanya apa, tapi Mama bilang itu bisa membantuku ketika serangan panik itu muncul.
Tapi semakin kesini, aku mulai terbiasa. Terbukti dengan dimensi terakhir yang aku lalui, aku mulai akrab dengan dia. Dan sekarang skenarionya akan kuubah kembali.
“Udah lama?” Suara laki-laki yang dilanjut dengan derit kursi ditarik membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum sekilas lalu menggeleng, padahal sudah sejak 20 menit yang lalu aku datang. Iya, aku memilih kemungkinan jika datang lebih awal dan tidak membawa Devina.
Aku menunggu Kak Arja selesai memesan minuman sebelum bicara. Pikiranku lalu melayang-layang ke dimensi lain yang pernah kulalui sebelumnya. Waktu itu boro-boro pesen minum, duduk aja lamaan di motor.
“Jadi, Kak Arja mau ngapain ngajak aku ketemu?” tanyaku.
Laki-laki itu berdecak pelan, “ck, baru juga nyampe Ras. Nggak mau ngobrol dulu gitu?”
“Ya tapi apa sih yang mau diobrolin? Aku sama Kak Arja itu beda pemikiran. Emangnya mau aku ajak ngobrol tentang fangirling?” Kuangkat alis berkali-kali.
“Ya jangan itu juga sih. Ngobrol apa gitu biar nggak sia-sia nih bensin kesini,” ucap Kak Arja sambil menyilangkan dua tangannya di depan dada. “Eh btw, putihan dikit ya lo sekarang.”
Aku melotot. “Ngarang! Aku mana pernah item? Salah liat kali, waktu itu kan malem jadi keliatan gelap,” alibiku, padahal ucapan Kak Arja benar, dulu waktu masih SMP kulitku eksotis karena keseringan ketemu matahari di lapangan basket pas jadi pemandu sorak.
“Halah ngeles!” cibir laki-laki itu sambil mengangkat cangkir kopinya yang baru saja datang.
“Ras!” Kak Arja menatapku lagi setelah menyesap kopinya.
“Hm?”
“Menurut lo tujuan hidup itu gimana?” tanyanya.
Aku menelan ludah lalu menggaruk-garuk dagu. “Tujuan hidup?” ulangku sementara Kak Arja hanya mengangkat alis.
“Kan lo bilang gue itu tipe koleris yang masa depannya udah tertata bakal ngapain, somehow gue merasa itu bener. Gue punya tujuan buat apa gue hidup.”
Aku mengangguk pelan.
“Jadi, perspektif lo tentang itu apa?” tanyanya.
Aku mengangkat alis. “Ini serius mau muter-muter dulu ngomongnya? Nggak langsung aja gitu nanya tujuan hidupku apa?” tanyaku yang kedengaran sok tahu.
“Enggak, ini gue bener-bener pengen denger premis mereka tentang tujuan hidup itu gimana. Lo bilang tipe kaya gue itu pro banget sama masa depan, dan itu absolutely right karena gue nganggep destination of life itu penting,” jelas Kak Arja panjang.
“Oh gitu.” Kulirik laki-laki itu sekilas sebelum lanjut bicara. “Ya sama, menurutku tujuan hidup itu penting. Dia kayak jawaban dari pertanyaan siapa, kemana, dan mau apa. Cuma buat sebagian orang kaya aku, kita lebih santai aja nikmatinnya. Kayak God not playing dice with universe semua yang kita lakuin itu udah ada jalannya sendiri dari Tuhan.”
Kak Arja mengangkat alis dengan raut sedikit tidak terima, tapi kemudian tersenyum sekilas. “Jadi buat sebagian orang-orang kaya lo itu tujuan hidup udah diatur sama Tuhan?” tanyanya dengan senyum miring. Tunggu-tunggu, ini sifat asli Kak Arja aku prediksi bakal keluar sebentar lagi.
“Ya kita ini kan hidup atas scenario yang udah ditulis, mau gimana lagi?”
Lalu laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Seperti menertawai kebodohan zaman jahiliyah di tahun 2018..
“Hei, nggak usah ketawa deh. Udah kubilang kita itu beda pemikiran, masih aja ngajak ngobrol,” ujarku kesal.
“Abisnya lucu banget sih. Scenario yang ditulis Tuhan itu menurut gue takdir Ras, ya semacem mati, jodoh, jenis kelamin dan lainnya yang emang itu udah jadi ketentuan. Selebihnya kita bisa buat sendiri kan skenarionya? Lo mau kaya apa miskin, sukses apa enggak.”
Aku memutar bola mata malas. “Aku juga tau kali yang itu. Aku juga punya tujuan hidup kok, yah setelah melalui masa-masa kelam aku jadi lebih menghargai sedikit tentang tujuan hidup.”
“Nah, berarti kita sama kan, hidup buat melakukan sesuatu bukan melakukan sesuatu buat hidup.”
“Yah agak berat sih, yang poin pertama itu kayak kita punya waktu singkat banget buat hidup,” ujarku setelah menyesap minuman yang sejak tadi kuanggurin.
“Enggak juga, justru lo merasa heran nggak sama orang-orang yang merasa punya banyak waktu di dunia, yang nggak berpikir jangka panjang gitu. Maksudnya gini, ada orang santaaai banget sama masanya, misalnya pas muda kaya kita gini. Jadi dia tuh nggak gerak-gerak dari zona nyaman, apa-apa nggak bisa dilakukan sendiri, okelah manusia emang makhluk sosial dan bukan berarti jadi tergantung banget. Tapi sometimes kan kalo umurnya panjang itu orang bakal tua juga, minimal dewasa lah. Nah pas itu dia baru sadar kalu dia belum siap. Lo paham nggak maksud gue?” Kak Arja menatapku dengan pandangan mewanti-wanti jika aku tidak paham padahal dia sudah capek-capek ngomong.
“Iya-iya paham. Tapi menurutku itu bukan salah mereka sepenuhnya, iya mereka emang salah, tapi nggak mutlak. Kepribadian itu beda-beda Kak, ada orang kayak Kak Arja yang pro banget sama tujuan hidup, tapi ada juga orang-orang yang nggak tahu gimana caranya nentuin rencana-rencana hidup mereka sendiri. Misalnya orang yang pesimis gitu,” jawabku sekaligus menentang argumennya. Aku mendapati laki-laki berjaket belel itu mengerutkan kening.
“Eh tapi kalau yang dimaksud Kak Arja itu orang egois plus manja sih beda lagi jawabannya, kita satu tim,” lanjutku diiringi tawa pelan, Kak Arja juga mengikuti tawaku.
“Gue hampir ceramah nih kalo lo nggak cepet-cepet klarifikasi barusan. Perasaan gue ngomongnya orang-orang yang nggak mikir jangka panjang, eh lo malah nyerempet-nyerempet kepribadian.” Laki-laki itu memberiku tatapan kesal.
“Ya maaf dikit.”
Kak Arja mengagguk lalu kembali menyesap kopi yang uapnya hampir lenyap dimakan waktu. “Gue mau ngasih sesuatu buat lo, ya semoga aja bisa buat tujuan hidup lo itu terealisasi.” Laki-laki itu menunjukanku sesuatu dari ponselnya. Banner lomba design universitas luar negeri yang sama persis dengan sebelumnya. Aku tersenyum.
“Tapi ajarin,” pintaku.
“Ngehina gue lo?” ucap Kak Arja sewot.
“Dikit. Sekali-kali orang sombong emang harus dihina.” Aku tertawa pelan ketika menyaksikan raut laki-laki itu yang berubah nggak enak.
“Oke. Lo tinggal kabarin aja kalo mau latihan.” Kak Arja bangkit dari kursinya dan bersiap-siap akan pergi. Sebelum benar-benar melenggang keluar Kopi Bar, dia memberiku uang 50 ribu yang dengan bodohnya kuterima dengan tampang cengo.
“Loh loh, maksudnya?”
“Duluan ya, gue buru-buru ada urusan.” Hanya itu jawaban Kak Arja sebelum benar-benar lenyap ditelan pintu.