Meja panjang dengan lebih dari 10 orang duduk mengelilingi itu hening. Aku melirik mereka semua dengan pandangan heran. Lalu terakhir melirik Mama yang duduk tepat disampingku, meminta penjelasan mengapa acara makan malam dengan keluarga temannya ini lebih mirip acara kedukaan dibanding jamuan. Mama memberiku kode agar tak banyak tanya, aku berdecak keras. Dan tak kusangka decakan itu mengambil alih perhatian mereka pada piring masing-masing. Kubalas mereka dengan senyum kaku.
"Jadi Arja ambil jurusan apa?" Itu suara Ayahku yang telah selesai menandaskan makanannya. Dan sekarang aku sadar cuma mangkukku yang isinya masih penuh juga laki-laki yang memakai jaket belel dan jeans hitam. Aku berdecih, padahal ini acara syukuran yang digelar untuknya, apa dia tidak bisa sedikit berpakaian formal sesuai acara?
"Teknologi Bioproses om," jawab si belel dengan senyum sopan. Aku mendapati sebagian orang di meja ini menatap kagum. Aku sih tidak, hal semacam itu tak berefek apa-apa pada emosi jenis admiration-ku.
"Itu semacam Biologi Ja?" Laki-laki seumuran Ayah ikutan bertanya.
"Lebih ke Bioteknologi sih Om masuknya juga teknik. Kalau Biologi MIPA lebih dekat ke penelitian dan menemukan suatu penemuan baru. Nah, Teknologi Bioproses cenderung memproduksi penemuan-penemuan tersebut secara massal, jadi kita lebih ke Industrinya." Si belel yang kuingat bernama Arja itu tersenyum diakhir penjelasannya.
"Wah, prospek kerjanya apa aja ngomong-ngomong?" tanya laki-laki yang kalau tidak salah bernama Om Herman. Dia sering datang ke rumah untuk sekedar ngopi bareng Ayahku. For your information, syukuran kali ini digelar untuk kelulusan dan masuknya si belel itu ke UI, kebetulan yang diundang keluarganya kali ini adalah teman-teman Ayahnya sejak SMA. termasuk Ayahku. Sementara Ayah maupun Ibu Kak Arja lebih banyak senyum-senyum bangga dibanding ikut bicara.
"Setahu saya banyak dibutuhin di food and beverage industry, material industry, chemical industry, farmasi, migas juga bisa, dan banyak lagi sih Om," katanya dengan bijak.
Ah, perlu kukatakan lagi untuk kesekian kalinya, ini ciri-ciri orang yang bisa kutebak. Kak Arja orang terencana dan tidak suka sesuatu yang tidak pasti. Jelas dia memilih jurusan yang banyak dilirik industri kerja. Sedikit kemungkinan orang seperti dia tidak akan masuk ke jurusan Biologi atau jurusan lainnya yang prospeknya sedikit abu-abu. He is perfectionist human, suatu hal yang dia kerjakan harus membuahkan hasil, dan dia berpikir kalau sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa hanya membuang-buang waktu. Orang seperti dia sangat ambisius terhadap hasil.
"Jelas ya masa depan kamu!" Mamaku ikut-ikutan.
Kulihat dari sudut mata Kak Arja tersenyum lebih lebar dari sebelum-sebelumnya. "Saya memang suka yang sudah pasti sih Tan. Jadi nanti nggak akan banyakan ekspetasi karena kedepannya belum jelas bakal ngapain."
Aku hanya diam, tidak tertarik untuk ikut dalam obrolan seputar Arja itu. Kupusatkan seluruh perhatianku pada semangkuk sup kerang yang sejak tadi kuabaikan. Entah kenapa kini dia lebih menarik perhatianku.
"Kalo Raras lulus SMP nanti mau masuk SMA mana? Ke tempat sekolahnya Kak Arja dulu? SMA 11?" tanya Om Herman dan semua orang kini memperhatikanku.
Aku tersenyum kecil, "belum tau sih Om. Tapi kayaknya mau masuk sekolah kejuruan yang khusus Seni aja soalnya saya hobi gambar." Jawabanku selalu begitu meskipun aku tahu kenyataannya nanti akan tetap masuk SMA. Karena mau sengotot apapun aku ke sekolah kejuruan, Mama dan Ayah sekalipun tidak mengijinkan. Di samping, seperti sebelum-sebelumnya,
Mama hanya menatap mangkuk supnya tidak percaya sedangkan Ayah yang tadinya tersenyum kala mendengar prospek-prospek dari Kak Arja seketika yang tercetak dibibirnya cuma satu garis lurus dan memandangku dengan tatapan bertanya-tanya.
"Wah, serius kamu Ras? Padahal Mama Papamu kan nggak jauh-jauh dari MIPA. Nggak mau kayak Kak Arja juga?" tanya Om Herman lagi.
Aku memaksakan seulas senyum lalu menggeleng pelan. "Ego saya bilang ke SMA, tapi hati masih ke Seni."
Satu-satunya orang yang memanifestasi ungkapanku itu dengan tawa renyah hanyalah Om Herman. "Kamu mirip saya waktu SMA dulu Ras, lebih ke sesuatu yang nggak banyak dilirik orang, nggak suka yang biasa ya?"
"Enggak juga sih Om, Raras cuma pengen nunjukkin ke orang-orang kalau jalan yang sepi itu kadang malah bermanfaat banget, ya meskipun kadang nggak jelas itu bener atau buntu."
Senyum Om Herman merekah lalu dia mengangguk sekilas. "Haha, betul juga sih. Jadi kamu seriusan nggak mau masuk SMA?"
Aku tersenyum simpul lalu menggeleng perlahan. Lalu kulirik laki-laki berjaket belel bernama Arja sekilas. Maka ketika dia pun sedang memperhatikanku, pandangan kami bertemu saat itu juga. Kak Arja tersenyum.
Aku terkesiap meskipun kubalas senyuman itu dengan canggung lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Semesta, ini apa lagi? Kenapa dia senyum?
Bayangan Kak Arja dengan senyum yang jarang kulihat itu terus berputar seperti potongan film dalam kaset rusak. Bukan, ini bukan tentang baper atau jatuh cinta. Senyum Kak Arja selalu misterius dan tak dapat kutebak.
Terakhir dia senyum seperti itu adalah ketika satu jam sebelum dia mati dalam dimensi lain yang masih kuingat jelas.
Dan kini, seperti kejadian sebelum-sebelumnya yang kualami, setelah hampir dua tahun, sepotong pesan kembali menemuiku lagi. Aku lelah dipermainkan semesta terus-terusan seperti ini.
081234567890
Udah gede belum? Btw ini Arja
Aku melotot ketika tau-tau saja nomor yang mengirimiku pesan itu tiba-tiba menelfon. Kutarik napas perlahan kemudian hembuskan, tarik lagi hembuskan lagi sampai kiranya tiga kali sebelum kugeser ikon telepon ke warna hijau. Aku hanya diam, tak berniat menyapa terlebih dahulu. Sekilas terdengar kasak-kusuk tidak jelas dari seberang sampai akhirnya...
"Lo udah lulus SMP belom?" tanyanya yang sedikit tidak jelas karena lebih banyak suara kresek-kresek yang mendominasi. Aku memutar bola mata malas.
"Belum nih, malah terancam diturunin ke SD lagi," jawabku asal.
Terdengar tawa renyah yang bagiku sangat annoying dari sana. "Hahaha, ditanya malah ngelawak."
"Lagian pertanyaannya juga nggak worth it banget. Aku udah kelar SMP 9 bulan lalu."
"Jadi masuk SMK?" Suara kasak-kusuk disana sudah lumayan reda.
"Enggak, aku masuk SMA 11 sesuai kemauan orang tua," jawabku sambil mengeluarkan skethcbook serta pensil dari dalam tas, kemudian mulai menggoreskan garis demi garis disana.
"Emang enak ya, disuruh-suruh kaya gitu? Nggak sesuai kemauan pula."
"Loh? Bukannya Kak Arja juga selalu jadi pemimpin ya? Kan otomatis Kak Arja sering nyuruh-nyuruh anak buah. Menurut Kak Arja gimana respon mereka waktu disuruh-suruh sama si pemegang kendali?"
Suara dengusan terdengar dari sana. "Gue emang sering jadi pemimpin Ras, tapi bukan berarti gue jadiin mereka pesuruh. Jadi yang terdepan adalah suatu kebutuhan buat seorang Arja, karena gue nggak suka di perintah-perintah. Tapi meskipun kenyataannya nggak bisa jadi pimpinan orang lain, minimal gue harus jadi pemimpin diri gue sendiri," ujar Kak Arja panjang, suara ramai kembali terdengar.
"Dimana sih tu? Rame banget?" tanyaku ingin tahu sekaligus mengalihkan pembicaraan.
"Di suatu tempat lah pokoknya."
"Paling lagi rapat kan? Situ kan ketua BEM." Aku berujar santai.
"Lo stalker gue?" tanya laki-laki itu dengan nada datar. Ini orang ngerasa penting banget ya, sampai harus aku kepoin?
"Tipe orang koleris kaya Kak Arja mana mau sih cuma jadi anak buah?" Pandanganku lurus tertuju pada sketsa halaman sekolah yang sedang kubuat.
"Emang gue tipe koleris?"
"Masa depan yang udah ditata dengan baik, suka jadi pemegang wewenang dan paling nggak suka diperintah, ambisius, berpikir apa yang dikerjakan harus membuahkan hasil. Kayaknya hal itu cukup membuktikan kalau Kak Arja bukan masuk ke tipe melankolis deh." Aku mengangkat bahu sementara Kak Arja berdecak panjang.
"Ras, ketemu yuk?"
Aku menghentikan kegiatanku mencoret-coret buku sambil mengangkat alis. "Emang ketemu sama aku bakal menghasilkan sesuatu Kak? Awas lho, ntar kecewa."
"Ck. Bukannya lo yang mikir kalo ketemu sama gue itu nggak guna?"
Aku terkekeh pelan, ternyata percakapanku dan Kak Arja kali ini sama persis dengan yang terjadi di dimensi lain yang kujumpai terakhir kali. Kalian bingung maksudku apa? Aha, bagaimana kalau sekarang aku ubah sedikit skenarionya.
“Boleh. Tentuin aja tempatnya!” jawabku.
“Oke, gue tunggu besok di Kopi Bar jam 3,” ucap Kak Arja sebelum mengakhiri sambungan telepon dengan salam.
Setelah itu sambungan telepon terputus. Menyisakan aku yang masih diam dengan senyuman puas. Semesta bermain lagi, dan aku sudah siap dengan permainan selanjutnya.