Setelah mengucapkan salam, pak Andre masuk ke mobil dan aku melihat mobilnya hingga menghilang di jalan besar baru aku masuk kembali ke rumah. Cangkir dan piring aku bereskan sebelum aku masuk ke kamar ibu yang dimana sudah ada kakakku dan adikku.
"Gimana bu, mas?"
"Orangnya sopan dan ramah. Itu baru kesan pertama mbak, jadi ibu belum bisa berkomentar apa-apa."
"Kalian ngobrol apa saja tadi?" tanya kakakku.
"Dia bilang ingin hubungan ini berjalan lancar."
"Ya sudah, itu keputusanmu. Kamu yang menjalani, kamu harus tanggung juga akibatnya. Pesenku cuma satu, jangan pernah mau kalau diajak keluar sebelum dia minta ijin ibu atau aku. Ngerti?" wanti-wanti kakakku.
"Ciap bos!"
Setelah itu minggu pertama dan kedua kenalan kami, pak Andre sering main ke rumah atau lebih tepatnya mengunjungi ibu dan kakak saat hari minggu. Beliau lebih banyak mengobrol dengan keluargaku dibandingkan denganku. Sms dan telfon jarang sekali kami lakukan. Memang kami sepakat untuk mengurangi intensitas komunikasi.
Minggu ketiga, pak Andre datang kerumah dan minta ijin ke kakakku dan ibu untuk mengajakku keluar. Beliau ingin mengajakku liburan dengan jalan-jalan di sekitar Surabaya, karena pak Andre tahu bahwa liburanku hanya aku habiskan di rumah saja. Ibu dan kakak pun mengijinkan. Pak Andre benar-benar mengerti, ia membawa mobil sehingga mengurangi sentuhan jika memakai motor akibat dari berboncengan. Di mobil aku bertanya, pak Andre akan mengajakku kemana. Beliau hanya tersenyum. Kulihat jalanan, ini seperti jalan menuju kampusku dulu. Seperti yang aku duga, ia mengajakku ke kampusku dulu yang juga kampusnya dulu saat mengambil jenjang S2.
"Jurusan Fia dan jurusanku bertetangga kan?" Katanya saat keluar dari mobil, beliau memarkir mobil di jurusan lamaku. Sepi karena memang sedang masa libur kuliah.
"Iya, gedung manajemen teknik kan di seberang itu." Aku menunjuk ke arah di balik parkiran motor.
"Nggak nyangka ya." Aku tersenyum dan mengangguk. Kami berjalan menyusuri jalan setapak keluar dari parkiran mobil. "Setelah lulus, Fia nggak pernah kesini lagi?"
"Masih kesini dengan teman-teman, tapi setelah dapat kerja dan aku kuliah lagi jadi jarang."
Kami memutuskan berjalan menuju ke arah perpustakaan, sampai di perpustakaan kami memilih duduk-duduk di luar yang biasa di sediakan untuk tempat belajar mahasiswa. Kami sama-sama bercerita tentang suka duka belajar di kampus ini dulu. Sejam lebih kami ngobrol di depan perpus, memang tak ada yang menandingi cerita masa lalu tentang kehidupan di sekolah maupun kampus hingga tak lama kemudian hp pak Andre berbunyi tanda sms masuk. Ia membacanya sebentar lalu meletakkan lagi di meja.
"Fia nggak laper atau haus?"
"Sedikit haus, tapi kantin dalam pasti tutup." Kataku menoleh kearah dalam perpus.
"Kalau misalnya kita kerumah gimana?"
"Maksud bapak kerumah bapak?" tanyaku tak percaya.
"Iya, ibu baru sms bilang kalau makan siang sudah siap, dan rumahku kan tak jauh dari sini. Gimana mau?"
Duh, kenapa pak Andre dadakan sih ngomongnya? aku masih belum siap ketemu keluarganya.
"Gimana Fia?" memandangku lekat. Aku pun mengangguk pelan dan menunduk. Pak Andre tersenyum dan berdiri. "Ayo!"
"Bentar pak, boleh ke toilet sebentar? Nanti aku akan menyusul ke parkiran."
"Oke, akan aku tunggu di mobil." Aku berjalan menuju toilet perpus. Ku basuh tanganku sambil berkaca. Mengecek wajah dan pakaianku. Normal. Setelah mengatur nafas beberapa kali untuk menenangkan diri, aku keluar dari toilet.
Aku berjalan ke parkiran, pak Andre bersandar di pintu mobil sambil megang hp. Aku melihatnya, begitu tampan, pertanyaan itu kembali lagi ke pikiranku.
Apa aku pantas?
Pak Andre membukakan pintu untukku dan kami langsung menuju rumahnya. Benar saja hanya membutuhkan waktu 10 menit dari kampus ke rumah pak Andre. Selama di perjalanan aku hanya memandang keluar dan diam. Pak Andre memarkir mobilnya di depan sebuah rumah lantai dua dengan pagar besi hitam.
"Jangan gugup, cuma ketemu ibu dan kakakku." Pak Andre tersenyum padaku.
Kutarik dengan paksa bibir ini untuk membentuk senyuman, perasaan gugup semakin terasa. Aku keluar dari mobil dan mengikuti pak Andre dari belakang. Rumah berlantai dua dengan gaya minimalis cat putih dan hitam. Tentu lebih besar dari rumahku, ya mungkin karena memang ini di perumahan. Ini pertama kalinya aku ke rumah pak Andre dan bertemu orang tuanya. Di teras ada wanita paruh baya sedang duduk sambil bercanda dengan bocah yang baru bisa berjalan.
"Oh, itu om Andre datang!" serunya saat kami melewati gerbang.
Pak Andre di sambut oleh bocah tersebut lari ke arahanya, pak Andre langsung menggendongnya. Aku tersenyum melihatnya. Aku paling suka melihat laki-laki yang dapat dekat dengan anak kecil, aura kebapakannya keluar. Pak Andre asik dengan keponakannya, wanita paruh baya itu menghampiriku. Aku memandang beliau hati-hati sambil menyuguhkan senyum namun aku yakin senyumku terlihat kaku.
"Ah, ini yang namanya Fia??" sambil mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangannya.
"Iya, nama saya Fia."
"Cantiknya, ayo kita ngobrol didalam sambil makan siang." Aku pun digiring oleh ibunya Pak Andre untuk masuk kedalam rumah.
Suasana rumah terasa tenang karena tak banyak perbotan jadi terlihat lebih luas serta masih didominasi oleh warna putih. Kami menuju ke ruang makan dimana letaknya berdekatan dengan kolam ikan disamping rumah. Di ruang makan sudah ada perempuan dan laki-laki yang sedang menata meja.
"Akhirnya ketemu juga." Perempuan muda itu, aku rasa dia adalah kakakknya pak Andre yang menghampiriku dan cipika cipiki terhadapku.
Syukurlah sepertinya aku diterima baik oleh keluarga pak Andre.
"Ayo silahkan duduk, kita makan siang sama-sama." Ujar perempuan tadi.
Pak Andre duduk di sebelahku dimana didepan ku ada kakak perempuannya dan suaminya lalu ibu pak andre duduk di ujung meja. Setelah berdoa, kami memulai makan siang bersama. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan di kampus, sesekali pak Andre juga melontarkan gurauan. Suasana begitu menyenangkan, ini tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya.
"Andre kalau di kampus galak ya dek Fia?" tanya Kak Amel. Aku tersenyum sekilas.
"Hmmm... lebih tepatnya jaim kak." jawabku sambil melirik sekilas ke Pak Andre.
Memang seperti itulah kenyataannya, sebenernya sih kesan pertamaku begitu. Sok kecakepan, padahal sih emang cakep.
"Bukan jaim tapi berwibawa, aku kan dosen." sanggah pak Andre diikuti oleh suara tawa dari semuanya.
"Lagi pula Fia juga cuek dan selalu pasang wajah judes. Aku jadi bingung mau mulai ngomong." Lanjut pak Andre
Oh, begitu ternyata kesan pertamanya padaku tapi memang begitulah aku, topeng yang kupasang harus kuat untuk mencegah orang-orang yang ingin berbuat seenaknya padaku. Ini merupakan tips dari sahabat-sahabatku, mereka bilang aku terlalu baik hingga tak jarang waktu aku masih SMA sering dimanfaatkan oleh teman-teman yang hanya mau ambil untungnya saja. Maka dari itu selalu kupasang wajah ini.
"Ibu lihat Fia nggak ada tampang judes.." kata ibu pak Andre sambil memperhatikan raut wajahku. "Tapi itu bagus juga nak, jadi biar nggak ada yang ganguin kamu, termasuk anak ibu." aku tersenyum.
“Ibu…” sahut pak Andre. Lalu kami semua tertawa.