Aida Safitri
Hari ini adalah hari senin, tepat setelah 10 hari berlalu pernikahnku dengan mas Adi. Hari ini aku ada jam kuliah siang, seperti setiap hari mas Adi mengantarku menjemputku. Entah aku juga sering bingung mengapa ia bisa mendapatkan izin semudah itu keluar kantor, tapi yang jelas kegiatan ini tak mengganggu kegiatannya di kantor. Terkadang aku juga merasa tidak enak, harus membuat mas Adi bolak-balik tapi apa daya mas Adi melarangku untuk pergi menggunakan kendaraan umum, baginya lebih tenang jika aku pulang pergi kampus bersamanya.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.15 beruntung tadi aku sudah sholat dzuhur bersama Warda dan Pricil, namun sayang mereka sudah pulang tinggal aku yang sekarang menuju jemputan. Tak seperti biasanya mas Adi telat menjemputku, sengatan matahari terasa begitu menusuk dikulit, sesekali keringat menetes tanda memang matahari tak bisa bersahabat. Ada sedikit fikiranku untuk pulang menggunakan angkutan umum, namun terbesik difikiranku wajah mas Adi yang slalu setia menantiku jika aku telat pulang. Lalu mengapa aku saat ini harus meninggalkannya. Jam menunjukkan pukul 01.30. akhirnya mobil mas Adi berlalu dihadapanku.
“maaf ya Da, kamu nunggu lama” ujar mas Adi dari dalam mobil
“iya mas gak papa” ujarku lirih, sambil membuka mobil
Mas Adi mengeluarkan tisu yang berada dalam mobil, ia mengelapkan tisu pada mukaku. Terlihat wajah mas Adi yang sedikit cemas melihat wajahku yang peluh dengan keringat.
“maafin mas ya Da, kamu harus capek-capek nungguin mas. Mana mas telatnya lama lagi. Ini lagi matahari berani-beraninya kasih terik yang panas banget. Hingga istriku yang cantik ini harus penuh piluh” ujarnya tat kala mengelapi mukaku
“apaan sih mas, kok nyalahin matahari” kataku sedikit tersenyum kecil
Hem, aku saja yang nunggu agak lama, mas Adi sekhawatir itu ke aku. La terus mas Adi sendiri harus wira-wiri kerja pulang, ntar kalo aku lagi ngampus ia wira-wiri. Itu kenapa ia gak merasa letih sedikitpun. Dan untuk semua itu, masihkah aku memfikirkan bahwa mas Adi bukan yang terbaik. Tidak, inshaallah benar berpacaran setelah menikah itu yang terbaik. Apapun yang kini kita lakukan bernilai pahala dimata Allah. Tidak ada lagi yang dinamakan pandangan yang dinamakan syahwat. Karena pada dasarnya semua pandangan yang mungkin aku dan mas Adi berikan itu adalah ibadah.
“Da, kita hari ini gak pulang kerumah mama ya?” ujar mas Adi tiba-tiba
“kita mau pulang kemana mas, kerumah bunda?” tanyaku
“enggak” jawabnya singkat
“terus?” tanyaku kembali
“ada deh” ujar mas Adia
“Mas kalo misalkan mas mau ngajak aku jalan-jalan atau kemana. Jangan dulu ya uangnya mending ditabung, lagiankan uangnya mas juga abis, buat aku bayar kuliah, buah biaya sehari-hari. Aku gak mau kalo mas kerja capek-capek. Sedangkan aku, Cuma bisa nimbrung ngerepotin sama ngabisin uangnya mas” ujarku sambil menundukkan wajah
“kamu kenapa sih Da, kamu itu kewajibannya aku. Yah gak papakan kalo aku harus banting tulang demi kamu. Lagian kamu kan istri aku, kamu tuh lucu Da” ujar mas Adi
“ya bukannya gitu mas”
“udah, senyum” ujar mas Adi sambil mencubit pipiku untuk tersenyum
Mungkin benar sekarang interaksiku dan mas Adi sedikit sudah berjalan dengan baik, tak terlalu kaku. Entahlah namun aku juga harus sadar bahwa aku harus sedikit terbuka dengan berbagai interaksi yang mungkin akan dilakukan mas Adi padaku. Terkadang panggilan sayang dan kecupan itu sudah menjadi hal yang wajar.
Mobil mas Adi melaju dengan cepat, entahlah mau dibawa aku menggunakan mobil ini. Jalan yang jarang aku lewati, namun beberapa kali aku sempat kesini karena ini masih dekat dengan kampus. Aku hanya diam dan termangu, kalo mas Adi mau ngajak aku jalan-jalan bagiku tak mungkin, karena memang tidak ada tempat wisata disekitar sini. Akhirnya mobil sampai disebuah rumah yang tergolong mewah cukup besar bahkan bagiku rumah ini sangat besar dan bersih. Dari luar terlihat rumah ini mengusung tema warna pankromatik, warnanya sederhana namun terlihat sangat berkelas.
Ketika aku datang pintu gerbang langsung terbuka. Ketika aku tanya kepada mas Adi siapa mereka, katanya orang kantornya. Aku hanya mengiyakan saja apa yang dikatakan mas Adi, ada sedikit perasaan bingung mengapa pegawai kantor mas Adi disini. Namun entahlah, mungkin mas Adi mau mengajakku bertemu rekan bisnisnya atau malah ini rumah bosnya.
Mas Adi langsung membuka pintu utama, lengan yang digandeng mas Adi membuatku langsung mendampingi langkahnya dengan pasti. Bagiku rumah ini terlihat begiku sempurna, selayaknya rumah yang aku impikan. Ruangan rumah terlihat begitu nyaman, beberapa lukisan terlihat jelas membuat cantik ruangan ini. Tak lupa beberapa kaligrafi membuat ruang tamu ini menjadi lebih religious, aku menapakkan kakiku langkah demi langkah menuju sudut ruang. Aku hanya bisa berdecap kagum melihat semua isi rumah, begitu bahagianya jika seseorang memilki rumah yang semacam ini, jika aku yang harus menjadi nyonya bakal enggan keluar rumah sepertinya, mau yoga ada ruangannya, mau renang ada kolamnya, mau masak tinggal pilih dapur yang mana basah atau kering, mau nyiramin bunga ada taman didepan rumah, dan yang paling aku suka sudut yang membuat kita akan terus dan terus dekat dengan Yang Maha Esa, mushola kecil dibelakang rumah, yang tepat berada disamping kolam renang. Jadi kalo kita shola serasa adem karena dekat dengan gepyakan air. Dari mushola itu juga terlihat air terjun mini yang sangat indah, yah meski itu hanyalah air terjun buatan, itu sangat terlihat begitu nyata.
Seperti layaknya seseorang yang sedang berwisata kesebuah tempat yang didampingi guide, mas Adi juga layaknya guide yang sedang mengantarkan wisatawan menuju tempat wisata, iya juga menjelaskan satu persatu isi rumah dan sampai ditempat tujuan terkhir.
“ini kamar utama Da” ujarnya sambil membuka pintu rumah
Terkadang aku juga bingung mengapa mas Adi mengajakku berkeliling rumah sebesar dan semewah ini. Ini rumah siapa coba, mana tuan rumahnya, terus mengapa mas Adi bisa sebegitu santai dan hafal tiap sudut rumah ini.
Mas Adi menghantamkan tubuhnya dikasur kamar yang dikatakn sebagai kamar utama. Hatiku bergumam, mengapa ia berani sekali, kalau ada tuan rumahnya apa mas Adi gak takut gumamku. Aku melirik sebuah foto berukuran besar dikamar itu, fotonya disusun dari bingkahan uang pecahan 100 perak, aku sedikit melirik kekanan dan kekiri foto tersebut seperti foto pernikahan tapi siapa disana. Alisku sedikit mengkirut. Seperti foto pernikahnku dan mas Adi, tapi aku tidak menghiraukannya, yah mungkin itu hanya mirip saja. Kemudian aku melihat sebuah kasur yang kini menopang tubuh mas Adi dengan nyaman, seperti furniture yang aku beli selepas aku menikah dengan mas Adi, aku semakin bingung. Kau melihat meja rias aku semakin yakin dengan apa yang aku lihat, berbagai macam alat make up yang ada disini seperti alat make upku. Kebingunganku semakin membuncah, akhirnya aku langsung memberanikan diri bertanya kepada mas Adi.
“mas Adi ini rumah siapa sih, kok mas ngajak aku kesini” tanyaku sedikit bingung
Mas Adi sedikit menghela nafas panjang
“kamu suka gak?” tanyanya secara tiba-tiba
Aku tersenyum tipis, sambil menghampiri mas Adi yang kini sedang duduk dikasur tersebut
“sukalah mas, siapa coba yang gak suka rumah semewah dan semegah ini, mana warnanya lucu lagi, ornamennya asik. Yang paling aku suka ada mushola disamping kolam renang. Beruntung banget ya mas yang punya rumah ini” ujarku sambil merebahkan kepalaku didada mas Adi
“syukur deh kalo kamu suka” ujar mas Adi
“kok syukur” ujarku
Mas Fadil mengecupku dengan begitu hangat, terlihat wajahnya berbinar. Entahlah apa maksut dari itu semua, ia menatapku dengan begitu puas. Lalu ia menggandengku menuju pintu kamar, ia menunjuk kesebuah foto yang tadi sudah aku lihat.
“itu siapa?” tanyanya
“foto pernikahan sih mas, kayak foto kita sih tapi”
“tapi ini rumah memang sengaja aku renove buat kamu” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku
“buat aku” ujarku sedikit kaget
Mas Adi menatapku dengan begitu dekat, terlihat wajahnya yang berwibawa membuat hatiku ciut, dengan tersenyum ia mulai menjawab.
“ada satu hal yang banyak orang lupa tentang pernikahan. Mampu, sebelum menikah seorang laki-laki harus mampu dari segi apapun, terutama financial. Yang kita nikahi adalah seorang wanita yang akan kita nikahi, bahkan kita sudah berjanji kepada Allah, untuk membahagiakannya. Aida maafin mas ya, kamu harus tinggal dirumah mama setelah kita menikah, bukannya apa tapi memang pernikahan kita yang cepat membuat rumah ini agak lama renovenya. Memang sebelumnya rumah ini sudah jadi. Tapi aku memang sengaja merubah beberapa model dan bentuk rumah ini seperti yang kamu mau, dengan bantuan mas Fazri ia banyak merombak beberapa ruang yang menurutnya tak perlu, masalah mushola itu memang atas ide mas Fazri, dan syukur kamu suka. Jadi sekarang rumah ini punya kamu, kamu yang akan menjadi tuan dirumah ini dan satu hal lagi. Jika kamu bilang tabunganku habis buat biaya kuliah kamu itu gak benar, karena yang benar uang aku habis buat renove rumah ini” ujar mas Adi
Sungguh aku tak mengerti siapa aku hingga aku bisa mendatkan suami sesempurna mas Adi, yang slalu baik, yang slalu bersahaja. Bahkan ia selalu meminta maaf atas semua perbuatan yang tak ia perbuat, ia slalu mencoba membahagiakanku dengan semua yang ia punya, sungguh ia suami yang sangat sempurna. Aku tak tahu harus bagaimana aku bersyukur atas anugrah yang sangat luar biasa Allah berikan padaku. Bahkan mas Adi juga tak pernah menuntutku apapun itu, baginya aku adalah wanita pelengkap hidupnya.
Air mataku menetes seiring robohnya tubuhku didada mas Adi, mas Adi mengelusku dengan penuh perhatian, air mataku terus mengalir, terus dan terus. Bahkan lidahku tak bisa sama sekali digerakkan, inginku berkata terimakasih. Tapi apa daya aku tak bisa lidahku kelu, hanya air mata bahagia yang mungkin saat ini bisa kulakukan.
“hei kenapa sih kok nangis, aku maunyakan kamu seneng. Gak nangis” ujar mas Adi
Aku hanya diam dan terus meneteskan air mata, bahkan kini air mataku jatuh semakin deras, hingga tak kusangka aku telah membasahi tubuh mas Adi.
“makasih ya mas” ujarku sesaat setelah menghapus air mataku
“untuk?” tanyanya
“semua yang sudah mas lakukan padaku” ujarku
Mas Adi hanya tersenyum
“yang penting kamu suka, apa yang aku punya itu juga dan Cuma buat kamu” tambahnya sambil berlalu meninggalkanku
Aku membuntuti langkah mas Adi, dibawah sudah menunggu 4 orang berbaris dengan begitu rapinya.
“Aida kenalis yang ini namanya bik Isah, ini bik Siti. Yang ini mang Ali dan mang Cipto” tegas mas Adi
“mereka ini”
“mereka ini orang-orang yang akan bantu kamu. Gak mungki mas biarin kamu beresin rumah segede ini sendirian” ujar mas Adi
“maksut mas, ART” tambahku yang sedikit bingung
“iya” jawabnya
“salam kenal nyonya” ujar mereka kompak
“maaf jangan panggil saya nyonya, panggil saya Aida. Jangan hormat pada saya karena saya bukan siapa-siapa seharusnya saya yang hormat pada bibik dan mamang yang jauh diatas saya” ujarku denga nada tersendat-sendat.
Mereka ber 4 tersenyum tanda mengiyakan. Mas Adi lagi-lagi membuatku menjadi istri yang paling bahagia didunia, tak cukup dengan perhatiannya, kini ia malah menimpaliku dengan berbagai kekuasaan, bahkan ia memilihkan 4 asisten rumah tangga untukku. Aku menghela nafas panjang, akankah sampai dititik ini aku harus merelekan semua yang kupunya untuknya.
“Aida kamu sudah sholat?” tanya mas Adi ketika melihatku tengah membawa rukuh untuk sholat berjamaah dimushola bawah
Ada sedikit kebiasaan yang mas Adi coba banging dirumah ini, kebiasaan untuk sholat berjamaah, sebisa mungkin mas Adi selalu mengajak sholat berjamaah dan ini sudah tertulah kepada bik Irah, bik Siti, Mang Ali dan Mang Cipto. Bagi mas Adi jamaah itu baik, bukannya dengan jamaah kita mendapatkan pahala yang jauh berbeda dengan sholat sendirian. Meski ini sederhana, namun aku yakin jika kita sungguh-sungguh dengan apa yang kita niatkan Ishaallah hasilnya akan indah.
Kali ini mas Adi pulang normal, layaknya jam kantor jadi kita bisa sholat berjamaah maghrib bersama. Aku tahu mas Adi sangatlah letih setiap hari kerja berangkat pagi, pulang sore bahkan kadang sampai tengah malam, melihat ia pulang sore seperti ini adalah kejadian yang sedikit langka terjadi dirumah. Untuk sekarang sudah ada mang Ali yang antar jemput waktu kuliahku jadi mas Adi gak harus bolak-balik deh. Kecuali kalo aku kampus pagi, baru mas Adi akan mengantarku sekalian ia pergi kekantor.
Kalo boleh jujur rumah ini sangatlah strategis, dekat dengan kampus, dekat dengan kantor dan yang jelas berada ditengah-tengah rumah mama dan bunda. Jadi gak bakal ada yang iri-irian nih yang bilang dekat sama yang sana lah dekat sama yang sinilah. Jadi inshaallah adil.
Setelah adzan isya’ berkumandang kita langsung sholat isya’ berjamaah dilanjutkan dengan wirid. Setelah itu kita semua bergegas menuju ke aktivitas selanjutnya, aku memasuki kamar diikuti mas Adi dari belakang, aku melepas mukenahku dan menaruhnya ditempatnya, aku sedikit kikuk bukan apa, tapi kali ini adalah kali pertamaku suci setelah menikah kembali ada rasa deg-degan yang muncul saat aku baru pertama kali melewati malam pertamaku bersama mas Adi. Aku tiba-tiba gugup aku salah tingkah entah mengapa aku seperti terjebak disebuah bangunan yang dimana aku tak bisa pergi dari situ. Mas Adi melihatku dengan seksama mungkin ia bingung dengan apa yang aku lakukan karena aku memang terlihat begitu kikuk.
“Aida kamu kenapa sih kok kayak salah tingkah” ujarnya
“enggak kok mas, enggak” jawabku sedikit kikuk
“masih jam setengah delapan sih, kamu ada tugas?” tanyanya sambil melihat jam yang berada dilengan sebelah kirinya
“enggak mas” jawabku sedikit menunduk
“tidur yuk” ujarnya sambil menggandeng tanganku
Jujur aku semakin deg-degan entahlah mengapa, mas Adi menggandeng tanganku dan tak seperti biasanya, aku semakin bersalah dengan apa yang aku lakukan mas Adi telah memberikan segalanya sedangkan aku sendiri belum bisa memberikan hal yang paling mendasar menjadi seorang istri.
“kamu gak mau tidur” tanyanya tiba-tiba
“enggak mas, bukan begitu” dengan terbata aku tiba-tiba meneteskan air mata
Mas Adi menghampiriku dan memelukku, seperti peramal ia seakan tahu apa yang aku rasakan, ia mendekapku dengan hangat, mengecup keningku dan menghapus air mataku. Ia mengunbar senyum dihadapanku.
“aku tak pernah meminta apapun dari kamu, aku tak memaksa. Itu tanda kamu belum percaya dan nyaman denganku. Aku tak masalah ini akan menjadi tugasku untuk lebih berusaha membuatmu nyaman dan percaya denganku. kamu maukan menunggu usahaku untuk memberikan semua itu padamu” ujarnya sambil mengembangkan senyumannya.
Aku semakin menangis dipelukan mas Adi, kali ini aku benar-benar merasa bersalah sepenuhnya, aku tak bisa namun apa daya mas Adi malah tetap menjadi orang yang baik, tanpa menghardikku ia malah menghapus air mataku. Aku tak tahu istri macam apa aku. Mengapa aku tak bisa sedikitpun bisa membalas kebaikan suamiku. Aku berharap kelak aku akan dengan ikhlas dan rela memberikan diriku seutuhnya kepada suamiku.