Muhammad Adkhal Irsyadi
Jam menunjukkan pukul 09.00, aku baru saja pulang dari kantor. Ada rasa menderu dihatiku, aku merebahkan badanku dikasur, ada rasa letih yang mendera tiada tara. Yap benar sekali pekerjaanku kali ini sangatlah banyak, bahkan sampai makanpun aku tak sempat, ujarku dalam hati. Aku melirik sebuah kalender meni, dimeja dekat dengan kasurku. Aku melihat ada tanggal yang aku lingkari menggunakan pena berwarna merah, iya ini adalah tanggal pernikahanku. Ada rasa takut mendera dalam hati secara tiba-tiba, detak jangtungku seakan berderap kencang. “aku telah beristikhoroh padamu ya Rob, meminta yang terbaik untuk perjalanan hidupku, jika memang Aida jodohku lancarkan semuanya ya Rob” doaku disela nafas panjang.
Entahlah tat kala melihat Aida, aku seperti melihat bidadari yang Allah kirimkan untukku, senyumannya yang bersahaja dan sikapnya yang begitu santun, membuatku jatuh hati padanya. Ya Rob, aku tak pernah merasakan jatuh sedalam ini. Aku tak pernah melihat wanita secantik ini. Untukku, namun apakah iya untuk Aida, apakah mungkin ia terpaksa menerima pinanganku, karena orang tuanya. Akankah sebenarnya Aida mencintai lelaki lain. Jarak usiaku dan Aida yang terpaut 3 tahun, akankah membuat Aida ragu. Pertanyaan ini terus menderaku terus dan terus. Tak kusangka jam telah menunjukkan pukul 01.00. aku tak tahu apakah ini yang dinamakan jatuh cinta. Atau inikah yang dinamakan galau, kata yang sering disebutkan oleh anak-anak jaman now. Aku galau, “Oh Tuhan bimbinglah hati hambamu menuju cinta yang kau ridhoi, jangan sampai perasaan yang Engkau titipkan ini malah menjadi mala petaka bagi hamba” doaku kembali terpanjat.
Beruntung beberapa saat aku sempat memejamkan mataku sebentar, aku langsung pergi kekamar mandi mengambil air wudhu dan sholat tahajud dilanjutkan sholat istikhoroh. Aku bersykur disela-sela pekerjaanku yang bisa dikatakan sangatlah padat, aku masih bisa menyempatkan diri untuk sholat baik sholat wajib maupun sunnah, insyaallah masih terjaga dengan baik.
Jam menunjukkan pukul 06.00 aku telah bersiap dimeja makan, sarapan kali ini sangatlah lengkap ada mama, papa, mbk Rifa, mas Rio, Fadil dan Risda. Hari ini memang hari sabtu waktunya weekend, jadi mas Rio dan mbk Rifa bisa kerumah sambil membawa Fadil. Memang setelah menikah mbk Rifa diboyong sama mas Rio, kerumah yang telah disediakan mas Rio untuk ditinggalinya bersama mbk Rifa. Mas Rio sengaja memilih rumah yang agak jauh dari sini, agar tidak terjadi saling iri, antara orang tua mas Rio dan mbk Rifa. Waktu liburpun mereka bagi, jika minggu ini mereka liburan kerumah mbk Rifa, berarti minggu depan kerumah mas Rio, biar adil katanya.
“Di ini hari sabtu lo, bukannya kantor libur” ujar mas Rio
“iya mas, kantor libur. Tapi meeting menghadang mas” ujarku sambil membalikkan piringku
“biarin mas mumpung masih lajang, ntar kalo udah nikah gak boleh lo Di” ujar mbk Rifa
“kenapa?” tanyaku yang memang belum faham dengan apa yang sedang dibicarakan
“nanti ada yang ngunci pintu rumah dan nyuruh kamu tidur dalam mobil” ujar mas Rio sambil menyaptap makanan yang tersedia dimeja karya mama dan mbk Rifa
“gak usah nyindir” ujar mbk Rifa dengan ketus
Aku hanya tersenyum renyah
“benar yang dikatakan masmu, kamu sekarang boleh leha-leha cari uang yang banyak buat istri kamu kelas, tapi ingat kalo udah nikah, kerja jangan jadi prioritas. Kamu tahu” tambah papa
“iya pa” jawabku singkat
“emang mas Adi sudah nanya ke mbk Aida minta mas kawin apa?” ujar Risda
Sontak apa yang dikatakan Risda menjadi pukulah yang sangat besar bagiku. Aku benar-benar lupa, mas kawin yang diberikan sang suami kepada istri tat kala ijab qabul adalah mas kawin yang diinginkan istrinya. Bukan kita asal memberi.
“benar yang dikatakn Risda, kamu udah Tanya belum” tambah mama
“mama ajalah yang Tanya” ujarku
Diantara kita bertiga memang akulah yang paling cuek. Wajar aku lelaki yang dihimpit oleh dua putri, mungkin kebiasaan jadinya kalo mbk Rifa sama Risda bicarain boneka aku Cuma bisa diem karena aku punyanya, mobil-mobilan. Kalo mbk Rifa sama Risda ngomongin cinderellah, aku paling langsung kekamar orang aku taunya naruto, jadi kebawa deh sampai sekarang.
“Adi, kamu tuh 2 minggu lagi nikah, yang nikah kamu bukan mama bukan papa. Masak iya maskawin mama juga yang Tanya” kata mama sambil mengelus kepalaku
“tapi ma”
“tapi Di, kamu yang harus Tanya sendiri ke Aida” sorot mama yang tiba-tiba bicara memotong pembicaraanku
Sepertinya benar kali ini aku yang harusnya mengalah, bukannya aku tak mau bertermu dengan Aida, namun aku Cuma tak mau ada salah faham saja, jika aku harus bertemu dengan Aida. Apakah mungkin aku harus kerumahnya?, namun sepertinya tidak, karena mungkin ini juga bisa dijadikan alas an pertemuanku kepada Aida. Karna aku harus mencari jawaban sendiri atas pertanyaan yang mengahntui fikiranku semalah suntuk.
Meja nomor 15 telah kupesan, disebuah restoran ternama, kali ini adalah pertemuan pertamaku dengan Aida tanpa didampingin siapapun, pemilihan tempat ini bukanlah apa namun disini tempatnya terlihat privasi, namun banyak tamu juga yang datang jadi aku tak hanya berdua dengan Aida, pukul 10.00 siang aku janjian dengan Aida disini, sengaja datang lebih cepat agar Aida tak menunggu, setelah meeting selesai aku langsung menuju kesini, ada rasa gugup dan deg-degan akan bertemu dengan Aida seorang diri, entahlah bagaimana mulutku akan berbicara atau bahkah hanya terdiam seperti beberapa waktu aku bertemu dengan Aida.
Jam menunjukkan pukul 10.00 tepat, aku melihat kepintu depan depan. Datanglah seorang wanita cantik yang kutunggu beberapa menit yang lalu, dengan hijabnya ia terlihat begitu anggun, dan senyuman yang manis ia terlihat begitu bersahaja. Tat kala ia datang dihadapanku aku hanya bisa tertunduk, bukankah ini cara seorang laki-laki menghargai seorang wanita.
“assalamualaikum mas, mas udah nunggu lama” ujarnya yang terlihat begitu lembut
“waalaikumsalam, enggak baru saja” ujarku, tak mungkin aku mengatakan aku sudah menunggu beberapa menit disini. Sedangkan memang aku yang datang terlalu cepat.
“ada apa mas ingin bertemu denganku disini, kenapa bukan dirumah” Tanya Aida dengan wajah penuh penasaran, mungkin ia kaget yang melihtaku selama ini yang tergolong cuek dan pendiam, mengajaknya ketemuan yang tak seperti biasanya.
“maaf Da, bukan maksut mas. Tapi mas ini menanyakan sesuatu” ujarku yan sedikit deg-degan dan grogi
“iya mas, mas mau Tanya apa?”
“waktu pinangan kemarin, aku belum sempat menanyaimu. Mas kawin apa yang kau inginkan dariku” mulutku serasa terkunci sesaat setelah mengucapkan kata tersebut, ada rasa deg-degan yang menderma, aku takut jikalau iya meminta lebih dari apa yang kumampu aku bisa apa. Semoga iya tak meminta diluar batas kemampuanku.
Aida tersenyum, terlihat gingsul manisnya sebelah kanan yang membuat iya begitu terlihat manis. Aku langsung menghindari pandangan itu, aku beristighfar aku memohon maaf atas jelalatannya mataku ini.
“seikhlas mas saja, apapun yang mas berikan itulah yang Aida terima” ujar Aida dengan begitu lembut
Ya Allah begitu baikkah wanita yang Engkau kirimkan pada hambamu ini, jikalau memang dia yang akan menjadi pendamping hamba, berikan hamba jalan untuk menjadi imam yang baik untuknya.
“namun bukankah mas kawin itu seharusnya permintaan dari pihak wanita” ujarku yang memang seakan berat seklai ebrkata seperti itu
“mas, bukankah aku sudah meminta” ujar Aida
“meminta apa?” tanyaku yang memang tak mengerti dengan apa yang dikatakan Aida
“aku meminta keikhlasan mas untuk memberikan mas kawin padaku, apapun itu asalkan mas ikhlas memberikannya akupun juga akan ikhlas menerimanya” ujar Aida
Subhnalllah, mas kawin yang seperti apa yang pantas diberikan kepada wanita yang solekhah seperti ini. Gerutuku dalam hati
“insyaallah aku akan memberikan mas kawin yang terbaik untukmu” ujarku
“amin” tambah Aida
“sebelum mengakhiri ini, aku ingin bertanya padamu” tanyaku, keeingatku kemucur dari ujung kepala bahkan hingga kaki, aku tak pernah merasakan perasaan yang sedemikian ini sebelumnya. Mungkinkah benar aku sedang jatuh cinta.
“mas Adi mau tanya apa lagi” ujar Aida dengan begitu sabarnya
“apakah kamu ikhlas menerima perjodohan ini?” tanyaku yang sontak membuat Aida kaget, ada sedikit takut untukku yang mungkin akan membuat Aida merasa tersinggung. Namun ia kembali menjawabnya dengan tenang
“mas Adi sendiri ikhlas menerima perjodohan ini?” tanyanya kembali padaku.
Aku ingin menjawab, aku ikhlas Aida karena memang aku belum pernah menemukan wanita sepertimu, wanita yang bisa membuatku kelibengan, wanita yang bisa membuatku mati kutu, wanita yang bisa benar-benar membuatku jatuh cinta. Namun tak mungkin, tak mungkin aku mengatakannya, bibir ini terlalu kelu, untuk mengatakan hal tersebut.
“aku selalu beristikhoroh setelah aku tahu orang tuaku mempertemukan kita. Aku dalam doaku aku slalu meminta yang terbaik dan jika aku saat ini berada diposisi ini, mungkin ini yang terbaik yang Allah jalankan untukku” jawabku yang aku susun sedemikian rupa
“jika itu yang mas rasakan begitu pula denganku, melihat orang tuaku bahagia dengan pernikahan ini sudah sangat cukup bagiku. Aku juga terus meminta untuk memberikan jodoh yang terbaik diantara jodoh-jodoh yang baik. Jika memang saat ini yang dihadapanku ini adalah jodoh yang Allah berikan padaku aku ikhlas dan aku ridho”
Jawaban Aida seakan memantabkan niatku untuk meminangnya, aida benar pernikahan ini bukanlah hanya pernikahan antara aku dan Aida, melainkan antara kedua buah keluarga, keluargaku dan keluarga Aida. Pernikahan ini bukan Cuma perasaan antara aku dan Aida melainkan perasaan kedua keluarga kita. Alhamdulillah kita ditemukan atas restu kedua orang tua kita, insyaallah pernikahan kita nanti juga akan menjadi sumber kebahagiaan antara orang tuaku dan orang tua Aida.