Aida Safitri
Mata sedikit berkerut, aku melihat kebawah dari blankon kamarku, sedikit rasa deg-degan dan khawatir melanda. Akankah benar aku akan menikah, benarkah calon yang orang tuaku pilih, aku sedikit deg-degan. Kapan orang tuaku akan memilih tanggal baik untuk pernikahanku. Tapi kali ini kumantapkan hati, siapapun yang akan menjadi imam besok, insyaallah ini yang terbaik. Mereka tak akan memilihkan aku imam yang tak baik untukku, insyaalah ini adalah lelaki yang terbaik yang Allah berikan padaku melalui ayah dan bunda.
Langkah kaki menderap diseluruh ruangan, abaya berwarna coklat susu dengan hijab yang senada menjadi sorotan mata setiap tamu yang hadir, sedikit salah tingkah namun aku hanya bisa membalas tatapan mereka dengan senyum yang terpancar dari bibirku.
Langkahku terhenti disebuah shofa berwarna merah maron yang berada ditengah-tengah tamu undangan, aku duduk bersebelahan dengan bunda dan ayah, mataku tertuju kepada sosok laki-laki yang berada dihadapanku, terlihat badannya yang tegap dan wajahnya yang memerah tak seperti biasanya. Aku sudah beberapa klai ini bertemu dengannya, sebelum aku berada di tempat ini. Aku sudah menjalani taaruf selama satu bulan, entahlah aku tak merasa ada yang salah dengannya, namun aku juga tak merasa ada buih cinta yang kini bersemayam dihati. Setiap sholat istikhorohku aku berdoa semoga aku diberikan jodoh yang terbaik diantara jodoh-jodoh yang terbaik. Dan sampai saat ini aku berada ditempat ini dengan situasi ini, aku berharap inilah jodoh yang terbaik diantara jodoh-jodoh yang terbaik yang Allah pilihkan bagiku.
Wajahnya memerah, pandangannya slalu kebawah, sayu. Mungkin ia letih atau, entahlah bukankah ketika ia berada diposisi sekarang berarti ia telah menerima perjodohan ini, atau ia hanya meneuruti kemauana orang tuanya karena ia dipaksa?. Astahgfirullah, aku mengelus dadaku, aku menggelengkan kepalaku bertanda aku telah seudzon kepada seseorang yang sebentar lagi menjadi imamku.
Acara dimulai, om Ridho selaku pemimpin acara mengawali acara ini, acara menjadi riwuh tat kala om ridho menghujani kami dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa kami jawab dengan gamblang, aku tersenyum sesekali begitupun dengannya terlihat wajahnya mulai sumringah tat kala om Ridho yang memang suka membuat orang tersenyum dengan berbagai tingkahnya, sayang kali ini kami yang menjadi obyeknya.
Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening, acara pinangan dimulai hatiku semakin deg-degan entahlah mengapa, aku diminta berdiri berhadapan langsung dengan seseorang yang mungkin sebentar lagi akan kupanggil dengan sebutan mama. Beliau memasangkan kalung kepadaku sebagai tanda pinangan yang diberikan kepadaku, aku sedikit mengkerutkan mata, bukankah pinangan itu biasanya berupa cincin. Namun mengapa kali ini berupa kalung, ah entalah toh mungkin ini yang mereka kehendaki, bukankah aku harus bersyukur dengan apa yang mereka berikan.
Suasana yang ditunggu-tunggupun dimulai pemilihan tanggal pernikahan, banyak yang mengusulkan tanggal pernikahan, ada yang mengatakan hari minggu biar semua keluarga bisa kumpul, ada yang mengatakan tepat waktu ulang tahunku, ada yang mengatakan waktu tanggal merah. Entahlah kali ini aku benar-benar menjadi anggota rapat yang pasif, aku hanya bisa pasrah dengan apa yang disetujui para tetua keluarga, apa yang baik itu pula yang baik menurutku.
Akhirnya disepakatilah hari jum’at tanggal 7 september 2018, tepat 2 hari sebelum ulang tahunku yang ke 22.
Ya kini usiaku baru menginjak 21 tahun, 21 tahun lalu aku dilahirkan tepatnya pada tanggal 9 september 1996. Nikah muda yah mungkin banyak orang yang mengatakan seperti itu, benar memang. Namun aku tak takut dan tak khawatir akan adanya pernikahan yang Cuma seumur jagung, bagiku nikah adalah ibadah penyempurna iman, insyaallah dengan menikah ibadah kita akan menjadi seumpurna. Aku jadi mengingat kisah Rasulullah saw. yang menikahi Siti Aisyar ra, diusia siti Aisyah yang baru berumur 9 tahun, Alhamdulillah beliau bersama sampai ajal memisah. Bukankah Rasul telah memperlihatkan, usia muda bukan menjadi alasan untuk membina rumah tangga yang asal-asalan, insyaallah jika iman kita yang kita tanamkan dalam hati kuat, dalam pernikahan pastilah akan menjadi jalan menuju surganya Allah
“Da lo seriusan bakalan nikah 3 minggu lagi, H-2 dari ulang tuhun lo” ujar Pricil
“tanggal udah ditentuin, gedung udah dipesen, baju penganting udah fithing, tinggal undangan aja yang belum disebar, ya masak gue boong. Tunggu aja ada undangan yang nyamber kerumah lo pada” ujarku
“tapi lo gak dipaksakan?” ujar Warda tiba-tiba
Aku hanya tersenyum
“jadi lo cinta sama dia” ujar Pricil tiba-tiba yang seperti petir menyambar
“entahlah” jawabku singkat
“gimana sih Da?” ujar Pricil
“Cil, yang penting ayah bunda udah suka. Masalah aku suka apa enggak itu bisa difikir belakangan, gue percaya kalo ayah sama bunda milihan lelaki yang terbaik yang bisa dampingin gue” ujarku sambil tersenyum
“tapi lo jangan kabur ya waktu pernikahan!” seru Warda
“enggaklah gila apa, gue udah serahin semua sama yang diAtas, apapun yang etrjadi gue yakin itu kehendak yang diatas” ujarku sedikit bijak
“tapi kalo lo habis nikah diapa-apain sama dia, bilang sama gue ya Da. Ntar gue kesana gue bejek-bejek muka suami lo, terus gue lempar ke empangnya neneknya Warda biar kapok” ujar Pricil
“iya-iya yang jago karate” ujarku
“kok bawa empangnya nenek gue sih Cil” ujar Warda
Ya begitulah kehidupkanku jika dikampus, mereka adalah teman-teman terbaikku, teman-teman yang slalu ada disetiap saat, saat aku susah saat aku senang mereka pasti menjadi pelopor buat maksa aku tersenyum lagi. Jangan disangka mereka orang-orang yang jahat, mungkin kehidupanku sedikit berbeda antara dirumah dan bareng sama temen-temen, bukan berarti aku bermuka dua. Tetapi aku hanya memosisikan diriku dimana aku tinggal. Siapa sangka Warda adalah anak salah satu ustad kondang di Banyuwangi. Siapa juga dengan percakapan lo gue, orang bakal tahu kalo Warda sudah menyelesaikan hafalan qur’annya 30 juz. Sama sepertiku tat kala dirumah ia bisa memosisikan dirinya sebagai anak seorang ustadz yang disegani masyarakat sekitar.
Yah mungkin sedikit berbeda dengan Pricil, apa yang dilihat sekarang itulah Pricil dirumah, sedikit kasar tapi sebenarnya dia orang yang baik. Mungkin diantara kita bertiga Cuma Pricil yang belum menutup auratnya dengan hijab, aku dan Warda faham dan mengerti dilahirkan dikeluarga yang broken pasti menjadi pukulan yang sangat berat buat setiap anak bagaimanapun keadaannya. Namun syukur tak banyak anak yang bisa lolos dari ancaman pergaulan bebas yang mungkin akan mengancamnya. Pricil memang belum menutup seluruh auratnya, namun setidaknya ia sudah menutup seluruh bagian tubuhnya dengan rapat, sayang hanya hijabnya saja yang belum bisa melekat pada tubuhnya. Pricil dibesarkan dengan lingkungan kehidupan yang kacau, beruntung pembantu Pricil yang bernama bik Isah, slalu ada dan menjadi satpam 24 jam bagi Pricil, hingga ia bisa berada disini bareng kau dan Warda. Mungkin jika taka da bik Isah, entah bagaimana kehidupan Pricil saat ini.
Diantara ketiga bertiga memanglah Pricil yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang paling sedikit, namun Pricil slalu bilang bahwa ia harus menikah dengan lelaki yang memiliki ilmu agama yang cukup, sehingga ia bisa membimbing Pricil nanti kejalan yang benar. Pricil bisa dikatakan primadona kampus, dengan wajah yang cantik dan body yang semampai tak membuat sedikit laki-laki bisa berkedip ketika melihatnya. Tak sedikit juga dari mereka yang terang-terangan menyatakan perasaannya kepada Pricil, dari yang anak biasah, anak band, bahkan sampek ketua BEM juga nyantol sama Pricil. Alhasil tat kala banyak dari mereka yang mencari Pricil, aku dan Wardalah yang menjadi umpannya, “boong dikit-dikit gak papalah demi temen” ujar Pricil tat kala ia harus bersembunyi dari kejaran para lelaki pecinta Pricil sebutnya.