Read More >>"> Weak (Bab 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Weak
MENU
About Us  

Burung dan tupai yang bertengger di pohon itu berhadapan di antara ranting-ranting besar. Burung merpati kecil itu mendekat dan menekan paruhnya pada si tupai yang langsung berlari masuk ke lubang tempat tinggalnya.

“Coba liat ke pohon!” Aku menunjuk dengan jari telunjukku yang agak bengkok.

Dio tidak menoleh. Ia memunguti sisa remah biskuit di bangku taman dan membuangnya ke tong sampah. Dio mengulurkan tangannya.

“Mana tisu lo?”

Aku membuka tas kecil sambil menyembunyikan helaan napasku. Kemudian, Dio membersihkan mulutku. Aku tidak bereaksi, sibuk memerhatikan burung dan tupai yang kembali bertemu itu. Mereka berbeda, tapi berkomunikasi seolah tidak ada perbedaan di antara mereka.

Dio mengacak poni rataku. Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi.

Mungkin salah satu alasannya adalah tindakannya sekarang. Dio memastikan kemeja kotak-kotaknya tidak dihinggapi satupun noda cokelat. Aku melompat kecil saat berdiri, lalu mengulurkan tanganku.

Dio membalik tisu yang dipakainya dan membersihkan noda cokelat di ujung lengan kemejanya. “Tunggu bentar.”

Dio cinta kebersihan sebesar ia mencintai untuk ibunya. Kekhawatirannya tidak bisa lepas dari setiap hal kotor yang bisa membuatnya bergidik ngeri.

Bekas tanah becek di sepatu Vans favoritnya bisa membuat Dio tidak beranjak selama lebih dari 20 menit. Dio tidak akan pergi dari restauran sebelum benar-benar yakin tidak ada yang tersisa di piringnya. Dio juga tidak suka duduk di kursi bus, terutama ketika bus mendadak berhenti dan tangannya terpaksa menyentuh besi dingin di bangku orang lain.

Oleh karena itu, aku selalu memahami setiap kali Dio hanya mengantarku ke halte bus, sedangkan ia menutup wajahnya dengan topi dan masker seakan ia seorang selebriti yang harus menyembunyikan identitas.

“Di, lo nggak nemenin gue ke toko buku?” Aku menarik maskernya dan hidung tegasnya tersingkap.

“Nggak bisa, Lana. Gue harus bantu Kak Jonah di kafenya.” Dio menarik tanganku.

“Tapi lo udah janji mau ngerekomendasiin novel bagus.”

“Novel sekarang nggak bagus, lo nggak usah baca dulu.”

Aku memutar bola mataku. Mungkin aku akan percaya kalau saja Dio tidak menunjukkan novel pilihannya kemarin dengan mata berseri-seri.

Dio menggenggam erat tanganku. Cowok di hadapanku ini memang tahu kelemahanku. Aku tidak bisa menolak ketika mata bulatnya menatapku intens, berusaha membuatku mengerti bahwa ia hanya terlalu sibuk.

“Kalau gitu, gue mau ikut ke kafe Kak Jonah.”

“Jangan.” Dio menyambut dengan cepat, ekspresinya langsung datar. “Lo nggak boleh ke kafe Kak Jonah.”

“Tapi hari ini hari pertama libur sekolah. Gue bosen.”

“Lo bisa nulis, ‘kan?”

Aku menggeleng. “Gue nggak ada inspirasi. Kena writer’s block.”

“Lo bisa cari. Nggak ada alasan yang bisa bikin lo berhenti nulis selain lo berusaha buat ngehindar dari hobi lo itu.”

Bus tujuan rumahku tiba. Dio mengangkat dagunya, menyuruhku segera masuk. Aku tidak bisa melepas genggaman tanganku. Rasanya begitu hangat, seolah cuaca panas kemarau ini memberikanku efek yang sebaliknya. Dio menghela napas, tapi tangannya mendekap tanganku lebih erat.

“Gue telat, Lana.” Dio berkata pelan.

Butuh beberapa saat bagiku untuk melepas tangannya. Dio bilang akan mendatangi rumahku setelah kafe tutup. Setelah mengacak poniku sebagai kesukaannya, Dio mengawasi busku dan pergi. Aku melambaikan tangan pada punggung Dio yang mulai menjauh.

*****

Seperti biasa, begitu pintu rumah terbuka, hal pertama yang kulihat adalah Kak Ryan yang menonton siaran komedi dengan volume besar. Popcorn bertebaran di atas karpet, ditambah kaleng sodanya yang terbaring asal di bawah meja.

“Kak, bisa nggak jorok?” Aku merebut mangkuk popcorn dari pangkuannya. Kak Ryan selalu mencampur popcorn asin dengan madu dan itu membuatku jijik.

Kak Ryan menganggapku transparan. Ia menendang kakiku agar aku menyingkir dari pandangannya. Mungkin Kak Ryan memang termasuk salah satu kakak paling pengertian di dunia, tapi kalau soal menyebalkan saat santai, dia nomor satu.

Aku menatap sekeliling ruangan. Malam ini akan sangat berisik dengan suara mesin penyedot debu dan ocehan panjang Dio. Dio seperti seorang ibu dalam rumah ini. Ia memarahi setiap orang yang mengotori rumah, tidak lelah saat memungut setiap pakaian yang bertebaran, juga bersemangat tiap kali Kak Ryan memanfaatkannya untuk mencuci piring.

“Kak, malam ini makan Pizza aja,” usulku seraya menghempaskan badan ke sofa tunggal di samping sofa Kak Ryan.

Kak Ryan tertawa, matanya masih tidak mau lepas dari layar. “Telpon sendiri. Gue sibuk.”

Aku mengepal tanganku seperti hendak memukulnya, tetapi aku tidak akan berani melakukan itu. Kak Ryan punya semacam keahlian bela diri sejak kecil dan tidak ada yang berani melawannya.

Ponsel di tas kecilku bergetar. Aku membaca layar ponselku dengan bersemangat, tapi senyumku hilang. Aku melempar ponselku sampai menyelip ke belakang punggung Kak Ryan.

Kak Ryan memeriksa ponselku, lalu meringis. Nada dering Yesterday tidak lagi berbunyi. Kak Ryan melempar ponselku balik, tapi aku segera menangkapnya.

“Kalau lo nggak mau ditelpon, kenapa nggak diblokir aja?” Kak Ryan memasang wajah bingung sekaligus jengkel. Ia memang tahu selama ini aku tidak pernah menerima panggilan “orang itu”, tapi ia tidak pernah bisa memikirkan alasanku tidak memblokir nomornya. Kak Ryan tahu, ia hanya kurang mengerti.

Tawa dari TV menggema di ruangan. Aku hanya diam menunduk, tidak bisa melihat ekspresi selanjutnya di wajah Kak Ryan. Cowok itu bangkit, meraih ponsel di saku celananya. Di saat mulutnya hampir membuka, seseorang mengetuk pintu.

Kak Ryan menunjukku. “Hati-hati. Siapa tahu dia yang ngetok. Kalau beneran, nggak usah dibuka.”

Aku tersenyum miring. Kak Ryan tidak perlu mengingatkanku karena itu memang tujuan utamaku. Menghindarinya.

Aku mengintip lewat tirai jendela. Badan jangkung yang disemat dengan kaos hitam polos dan celana putih berdiri di depan pintu dengan kotak Pizza di tangan kanannya. Aku tidak perlu mengira-ngira siapa orang itu karena aku selalu tahu, orang itu bukan pengantar Pizza. Lebih dari itu.

“Dio!”

Dio tersenyum kaku. Ada tulisan Jonah’s Café di bagian dada bajunya, tapi disamarkan dengan kotak Pizza. Aku menerima kotak itu dan Dio buru-buru merangkap kaosnya dengan jaket putih.

“Sesuai janji.” Dio menyatukan jari telunjuk dan jempolnya. Ia masih tersenyum kaku, kebiasaannya setiap kali udara malam membekukannya.

Aku menarik Dio ke dalam. Kak Ryan mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi sambil tersenyum lebar. Kini kotak Pizza itu telah ada di tangannya, jelas siapa yang telah meminta Dio repot-repot membelinya.

Thanks, Dio! Emang adik ipar yang paling pengertian!”

Dio tidak membalas perkataan Kak Ryan. Matanya sudah terpaku pada setiap sudut ruang keluarga. Aku, tanpa perlu mendengar permintaan Dio, masuk ke kamar penyimpanan di dekat dapur dan mengeluarkan mesin penyedot debu.

“Mau ditolongin?” Aku memiringkan kepalaku dan tersenyum semanis mungkin, kalau-kalau Dio jadi lebih ingin bersamaku ketimbang mengurung diri di kafe Kak Jonah.

Namun, seperti biasa, Dio meraih mesin penyedot debu itu. Ia menyalakannya dengan suara berisik sampai-sampai Kak Ryan melemparinya dengan popcorn.

“Lo makan aja, gue yang urus.”

Aku menghela napas, tapi tetap tersenyum. Sulit untuk mengerti sikapnya sehingga banyak orang yang menghindari Dio, dan aku bukan salah satu dari mereka. Aku tidak pernah merasa bermasalah dengan kecintaannya pada kebersihan. Dio adalah Dio.

Aku menyukainya. Namun, tidak bisa kupungkiri, terkadang aku tidak tahu apakah aku benar-benar mencintai kebersihannya.

Aku memerhatikan Dio sembari menghabiskan Pizza di meja bersama Kak Ryan. Butuh kurang lebih satu jam hingga Dio benar-benar memastikan semua bersih, tanpa sisa. Setelah Dio membuang kotak Pizza ke tong sampah, ia mencuci tangannya dan bergabung denganku di ruang keluarga.

“Lo udah mandi?” Dio duduk bersandar padaku meskipun masih banyak ruang di sampingnya. Ia memerintah Kak Ryan memutar film Heart dan aku tertawa puas melihat ekspresi kesal Kak Ryan, merasa terbayar atas kejengkelan yang dibuatnya.

Aku menggeleng, menjawab pertanyaan Dio. Sesaat aku berpikir Dio akan langsung menyingkir lalu memaksaku mandi. Dio tidak melakukannya. Jemarinya diselipkan di antara jemari tanganku, sedikit basah karena tangannya belum sepenuhnya kering.

“Tapi lo masih wangi vanilla,” bisik Dio pelan di telingaku.

Aku merunduk sedalam mungkin. Dio bisa menertawakan wajahku yang telah memerah sampai ke kuping. Iblis dapat menggambarkan dirinya. Dio sebenarnya orang yang dingin dan jahil, dan itu membuatnya berkali-kali lipat lebih terlihat seperti manusia biasa dan itu baik. Khususnya dengan fakta bahwa ia hanya melakukannya kepadaku.

Saat Rachel menangis membayangkan kakinya diamputasi, Dio tidak menunjukkan respon apapun. Tidak menangis, atau setidaknya meneteskan air mata meskipun semua film favoritnya selalu berhubungan dengan akhir yang menyedihkan.

Dio hanya pernah bilang, “Film sedih bikin gue sadar kalau masih banyak orang yang lebih menderita dari gue. Gue harus bisa ngejalanin hidup dengan baik karena gue lebih bahagia.” Alasan logis yang kalau diingat lagi, hidup Dio tidak pernah menyedihkan. Hal paling menyedihkan hanyalah dia tidak bisa berjabat tangan dengan orang lain. Karena phobianya.

Setelah film mencapai ending, Kak Ryan  buru-buru mengusir Dio. Dia hanya terlalu iri karena kehidupannya membosankan sejak hubungannya berakhir tiga tahun yang lalu. Aku mengantar Dio sampai ke depan pintu.

Selagi Dio memasang jaketnya, aku memasanginya masker. Dio tersenyum padaku dengan matanya. Untuk hari ini, Dio menggenggam tanganku untuk yang terakhir kalinya. Mobil City di depan rumah berbunyi dua kali, seakan mengajak Dio cepat-cepat pulang ke rumah.

Bye,” ucapku seraya melambaikan tangan.

Dio mengacak poniku, tapi lebih pelan sehingga poniku masih tertata rapi. Ia menatapku sejenak lalu mencubit pipiku yang agak tembam. Tatapannya adalah bagian terfavorit dari hubungan kami. Ketika ia melempar tatapan lembut sekaligus tajamnya, aku tahu ia benar-benar menyukaiku.

Dan setiap kali ia melakukannya, aku harus menutup matanya agar tidak terjebak di antara mata itu. “Gue malu.”

Sebagai akhir dari malam menyenangkan ini, Kak Ryan yang berperan sebagai antagonis paling jelek merangkap berengsek melempari kami dengan popcorn, jelas tidak terima ada orang lain yang lebih bahagia darinya.

“Gue nggak bakalan ijinin kalian nikah duluan!”

*****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pacarku Arwah Gentayangan
4199      1391     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Malaikat Hati
9814      1807     1     
Romance
Sebuah persinggahan dalam menjalin sebuah ikatan tidak lagi terasa dan bersemayam dihati. Malaikat hati yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah senyuman dan pelukan. Mengenalkan arti bahagia dan arti kenyamanan hati. Disaat itu, aku sadar bahwa hidup bukan untuk menentukan sebuah pilihan tapi hidup untuk menjalin sebuah kepercayaan.
Surat Kaleng Thalea
3589      1020     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-
Jika Aku Bertahan
11391      2348     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Havana
664      304     2     
Romance
Christine Reine hidup bersama Ayah kandung dan Ibu tirinya di New York. Hari-hari yang dilalui gadis itu sangat sulit. Dia merasa hidupnya tidak berguna. Sampai suatu ketika ia menyelinap kamar kakaknya dan menemukan foto kota Havana. Chris ingin tinggal di sana. New York dan Indonesia mengecewakan dirinya.
Lilian,Gelasmu Terisi Setengah
799      528     2     
Short Story
\"Aku bahkan tidak dikenali oleh beberapa guru. Sekolah ini tidak lain adalah tempat mereka bersinar dan aku adalah bagian dari figuran. Sesuatu yang tidak terlihat\"
My Secret Wedding
1300      560     2     
Romance
Pernikahan yang berakhir bahagia adalah impian semua orang. Tetapi kali ini berbeda dengan pernikahan Nanda dan Endi. Nanda, gadis berusia 18 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Sedangkan Endi, mahasiswa angkatan terakhir yang tak kunjung lulus karena jurusan yang ia tempuh tidak sesuai dengan nuraninya. Kedua nya sepakat memutuskan menikah sesuai perjodohan orang tua. Masin...
You*re My Star
313      195     0     
Short Story
Mengagumi pesona lelaki cantik di sebuah rumah sakit, Brian, membuat hari Zora menjadi penuh dengan kejengkelan dan debaran. Tanpa sadar satu hari yang terasa panjang menjadi singkat, sejenak Zora melupakan ketertekanan dan kesepiannya selama ini. Zora adalah langit Brian. Dan Brian adalah bintang Zora. Kisah singkat yang terjadi dalam satu hari menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
To The Girl I Love Next
357      249     0     
Romance
Cinta pertamamu mungkin luar biasa dan tidak akan terlupakan, tetapi orang selanjutnya yang membuatmu jatuh cinta jauh lebih hebat dan perlu kamu beri tepuk tangan. Karena ia bisa membuatmu percaya lagi pada yang namanya cinta, dan menghapus semua luka yang kamu pikir tidak akan pulih selamanya.
Dear Diary
462      283     1     
Fantasy
Dear book, Aku harap semoga Kamu bisa menjadi teman baikku.