Hari berlanjut hari, Rendi masih saja mencuekinya, dan Dela melakukan rutinitasnya, main hp, tidur dan main hp. Dela sudah tidak membujuk Rendi seperti dulu, Dela sudah berharap Rendi untuk pergi dari hidupnya, hingga tak ada seorangpun yang menyadari ketidak hadirannya.
Rendi masih berada diruang belajar, sementara anak-anak lain sudah pulang, karena waktu sudah menunjuk ke angka 17.30. Rendi membaca namun pikiran yang hanya tertuju ke Dela, apa yang dilakukan Dela, Dela makan apa selama ini, dan Rendi berfikir apakah yang dilakukannya benar? Rendi tidak mempedulikan Dela apakah baik? Apakah yang dilakukan Rendi memuat Dela sadar bahwa Dela butuh Rendi? Rendi sebenarnya sudah tidak tahan dengan penghakimannya sendiri, sudah 3 hari tidak ada kontak dengan Dela membuatnya menderita, merasa bersalah, tidak ada fokus, dan kekanak-kanakan. Rendi memutuskan untuk pergi keruangan rawat Dela.
Rendi mengetuk ruangan Dela pelan dan langsung membukanya perlahan. Terlihat punggung Dela yang ditutupi selimut dan sepertinya sedang tidur, tak ada siapa-siapa diruangan tersebut. Rendi mendekati Dela dan duduk didepan wajah Dela. Rendi mengelus wajah Dela yang terlihat sangat pucat dan hampir membiru. Rendi menahan air matanya, dan mengutuki dirinya sendiri yang membuat Dela sendiri menahan semua kesakitannya dan malah menambahnya. Rendi mengangkat selimut Dela dengan tujuan memperbaikinya, dan mata Rendipun terbelalak melihat darah di kasur dan disekitar pergelangan tangan kanan Dela. Rendi bergetar dan mengepal kedua tangannya sekuat tenaga. Nafasnya terdengar sangat pendek dan terhempas kasar dari mulutnya.
“Rendi, lo mau diam? Rendi, lo kesini ngapain? RENDI, Dela mau mati Rendi. Ini yang lo pengen? Lo ga bisa tanpa Dela. Rendi pencet tombol itu kalo lo ga bisa. Rendi, lo bakal nyesal seumur hidup lo. Rendi.” Pikiran Rendipun terpenuhi dengan ucapan sumpah serapah yang mengutuki dirinya sendiri dan pandangan Rendi tiba-tiba fokus ke Dela, Rendi mendekati Dela dengan santai dan memanggil suster untuk membawa Dela ke IGD. Rendi ikut mendorong tempat tidur Dela, ekspresi Rendi yang sangat tenang, membuatnya seperti meninggalkan dirinya dulu.
Dengan perjuangan dokter-dokter dirumah sakit itu, Delapun selamat dan sudah melewati masa kritis, dan dikembalikan keruangannya. Rendipun meminta langsung kepada Aris untuk mengurus Dela penuh, Rendi memutuskan untuk tinggal diruangan Dela, dan merawat Dela sampai donor ditemukan. Rendi sudah membawa baju dan buku-bukunya keruangan Dela, dan membuat ruangan Dela seperti apartemennya.
“Rendi?” Ucap Dela lemah.
“kamu udah sadar?” ucap Rendi datar sambil berjalan ke arah Dela sambil memeriksa impusnya dan membuat Dela terkejut karena ga biasanya make kamu.
“kamu ngapain?” tanya Dela sambil mencoba duduk.
“aku? Aku lagi jagain kamu, aku udah bilang sama Prof Aris kalo mulai sekarang, aku bakal rawat kamu.” Ucap Rendi dengan ekspresi yang masih datar.
“kenapa?”
“karena aku ga bakal biarin kamu mati, apapun alasannya. Dan kalau kamu nyoba buat bunuh diri lagi, aku sendiri yang bakal bunuh kamu.” Ucap Rendi sambil memberikan senyuman tipis. Dela hanya memandangnya.
Dela hanya diam melihat Rendi yang sudah menghilang dibalik pintu. Dela hanya menatap pergelangan tangan kanannya dan mengingat apa yang telah dia lakukan. Dela merasa sangat tertangkap basah, tak ada lagi yang tersembuyi dan tak ada lagi yang bisa dijadikan kelemahan ataupun kelebihan. Tak lama kemudian Rendi datang dan membawa makan malam.
“kamu makan dulu La.” Ucap Rendi sambil membenahi meja makan Dela. Tiba-tiba Dela memegang tangan Rendi namun Rendi langsung menariknya “kenapa? Kamu butuh sesuatu.” Dela tertegun hanya menggeleng. “ini makan.”
“aku ga lapar Rendi.” Ucap Dela lemas sambil mendorong meja makannya ke sampingnya. “aku mau bobo ajah.”
“Dela, lo udah, humhh...” terlihat Rendi menarik nafas dan sangat menahan emosinya, namun “ kamu udah ga makan seharian Dela, makan sikit ajah.” Ucapnya lagi sambil mengembalikan meja makan Dela.
“Rendi, kalau kamu ga suka, atau ga nyaman kamu bisa pergi Rendi. Aku ga nyaman kalau kamu gini.” Ucap Dela pelan.
“ga nyaman kenapa? Aku biasa-biasa ajah ko.” Ucap Rendi.
“kamu ga harus ngurus aku Rendi.” Dela marah sambil menepis tangan Rendi yang sedang membuka tutup makanan Dela. Namun Rendi mencoba sabar dan tetap membukanya. “Maafin aku Rendi.” Dela menjatuhkan semua makanannya. Rendi hanya melihat makanan itu jatuh dan Rendi mengepal tangannya.
“kenapa gue ga boleh ngurus lo? Kenapa La? Karena gue ga mampu? Atau karena yang mampu itu cuma lo?” ucap Rendi datar dan memfokuskan matanya ke Dela, sementara Dela hanya menunduk. “Gue terlalu berarti yah sama lo, sampe gue ga bisa ngapa-ngapain? Iya?” Dela masih diam dan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. “La, lo nge treat gue selama ini kaya raja La, orang paling bahagia di dunia kayanya. Berapa lama gue nyakitin lo, lo ga pernah marah dan lo tau, semua yang lo lakuin selama ini yang buat gue takut. Ini. Ini yang gue takutin Dela. Lo ga pernah mikir kan? Gimana gue kalo ga ada lo? Gue bakal mati La kalo ga ada lo.” Luapan Rendi yang tanpa disadari menjatuhkan air matanya, namun langsung ditepisnya, dan Rendi membalikkan badannya menhadap jendela dan tertawa namun air matanya tak berhenti mengalir.
Delapun menangis, Dela tak menyangka semua perlakuannya ke Rendi menjadi bumerang yang menyakitinya.
“Rendi maaf kalo semua yang aku lakuin selama ini...”
“what? Lo minta maaf? Mau lo apa sih La? Lo mau buat gue jadi orang terjahat didunia ini?”
“engga Rendi, aku ga bermaksud kaya gitu.”
“terus apa La? Tapi itu bener kok, gue orang terjahat. Gue baru tau kalo lo ga suka coklat, tapi selama lo sama gue, gue selalu ngasih coklat dan lo selalu makan. Lo ga pernah bilang kan, karena apa? karena gue suka makan coklat. Gue juga baru tau lo suka main game, tapi karena gue ga suka main game, lo ga pernah main game, dan sekarang lo sakit? Semua orang tau lo sakit, tapi kenapa La, gue yang paling deket sama lo rasanya jauh banget.” Ucap Rendi dengan penuh emosi.
“maaf Rendi. Aku cuma mau kamu bahagia.” Ucap Dela yang melihat Rendi menjatuhan air matanya.
“hahaha, gue juga pengen lo bahagia Del. Gue juga pengen lo bahagia karena apa yang gue lakuin, bukan karena kebahagiaan gue. Ini air mata pertama dan terakhir gue buat lo La.” Ucap Rendi sambil melap wajahnya kasar.
“mulai hari ini, aku bakal anggap kamu orang lain La, supaya aku kuat disamping kamu. Walau aku berubah, aku yakin, rasa cinta kamu ga bakal berubah buat aku.” Ucap Rendi sambil melangkah keluar dari ruangan Dela dan membuat Dela terpatung.
Hari-hari terlewati, Rendi merawat Dela dengan sangat baik, tak ada pecakapan yang terjadi, tak ada sentuhan yang terjadi, semua seperti pasien dengan dokter yang tidak dikenal namun tak ada perubahan yang terjadi kepada Dela, keadaannya tidak membaik, malah memburuk. Dela menjadi sangat kesakitan menerima obat suntikan, sehingga terkadang membuatnya menjerit dan menangis.
“Dela, please, kamu harus kuat, kalau aku bisa ngasih kamu ginjal aku sekarang, aku bakal kasih La. Jadi tolong kuat La, sabar.” Ucap Rendi yang mencoba membujuk Dela agar mau di suntik.
“Rendi. Udah please, aku udah ga kuat.” Ucap Dela sambil menangis. Dela sudah berada di sudut ruangannya, karena menghindari Rendi.
“Tapi kamu harus kuat Dela, itu kewajiban kamu.” Ucap Rendi.
“what? Rendi kalo kamu gini terus, aku bisa benci sama kamu.”
“aku ga peduli kamu benci sama aku La, aku cuma mau kamu hidup, itu ajah.” Ucap Rendi sambil mendekati Dela.
“Rendi jangan mendekat, kalo kamu mendekat aku... aku...” ucap Dela sambil melihat sekelilingnya mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengancam Rendi, namun sebelum itu terjadi, Rendi sudah menarik paksa tangan Dela dan langsung menyuntiknya, dan teriakan Delapun sangat terdengar menyakitkan. 2 menit kemudian, Delapun diam karena lelah, Rendi menggendongnya dan meletakkannya di tempat tidurnya dan meninggalkannya.
Hal itulah yang terjadi setiap harinya. Rendi menghukum Dela, dengan tidak pernah menyentuhnya atau sekedar memberi ciuman di pipinya. Rendi ingin membuat Dela termotivasi untuk sembuh, dengan itu. Rendi akan menyentuhnya dan menciumnya ketika Dela sudah sembuh.
“Rendi kemana?” akhirnya Dela bertanya pada suster yang mengantar makananya 2 hari terakhir.
“Rendi? Anak koas yang sering jagain kamu? Dia sedang sakit. Dela kamu harus makan, nanti kamu tambah parah.” Ucap perawat yang sudah lumayan dekat dengan Dela.
Deg... jantung Dela bergebu sangat cepat dan nafasnya sangat pendek. Dela pingsan. Perawatnya memencet tombol emergency call, Aris datang dan langsung menyuruh perawat untuk memindahkan Dela ke ruangan ICU.
“dia kenapa sus?” tanya Aris kepada perawat tadi sambil membuka mata Dela.
“saya ga tau dokter, tadi tiba-tiba saja Dela begitu.”
“jangan sekarang Dela.” Aris terlihat sangat khawatir dan terlihat takut, sampai tidak sadar membentak perawat yang bergerak lamban. Terlihat anak koas mulai berdatangan ke ICU dan perawatpun berkumpul melihat Aris yang sudah kewalahan.
“Adek, please.” Ucap Aris sambil mengambil defibrilator.
“energi siap.” Ucap seorang perawat yang membantu Aris.
“satu... dua... clear.” Ucap Aris sambil meletakkan alat itu ke dada Dela dan Dela masih tidak merespon alat itu. “naikin lagi.” Ucap Aris.
“baik dok. Energi siap.”
“satu dua clear.” Dela tetap merespon dan suara alat penghitung detak jantung Delapun sudah berbunyi panjang sedari tadi. Aris membuang nafasnya kasar dan meneteskan air matanya. Tiba-tiba Rendi datang dan merebut defibrilator itu dari tangan Aris dan
“naikin lagi.” Ucap Rendi yang telihat sangat marah, rahangnya yang sudah sangat keras, dan air matanya mengalir tanpa isakan. Yang ada dipikirannya hanya cacian dan makian kepada Dela.
Perawat itu menaikan tenaganya dan tanpa basa-basi Rendi langsung mengkejutkan Dela, lagi, dan lagi, sampai Aris menarik Rendi dan meninju wajahnya.
“SADAR.” Ucap Aris didepan wajah Rendi.
Rendi hanya diam, seluruh tulangnya serasa patah, dan jantungnya di remas kuat. Rendi jatuh berlutut disamping tempat tidur Dela. Rendi tak sanggup berkata maupun teriak. Rendi hanya menatap kosong seakan keputus asaan mengelilinginya, lidah yang kelu dan yang ada dikepalanya hanya kesakitan Dela akhir-akhir ini. Seluruh jiwanya seperti melayang mendengar suara elektrokardiograf itu, yang kini terdengar putus-putus.
“Thanks GOD.” Ucap Aris sambil mencium kening Dela. “Rendi, Sia kembali.” Ucap Aris sambil memegang bahu Rendi yang masih berlutut.
Rendi berdiri dan memandang Dela datar, sepertinya jiwanya belum kembali. Setelah Dela melewati lintasan alamnya, Dela masih keadaan kritis dan belum sadar. Rendi duduk disampingnya dan tak mengalihkan pandangannya sama sekali dari Dela.
“kenapa lo ga membaik Del? Apa cara gue salah? Gue bersyukur banget Del, lo balik. Tuhan mungkin masih sayang sama gue. Maafin gue Del, kalo lo sadar gue janji Del, gue bakal dengerin lo, dan nurutin semua mau lo. Gue ga mau ngerasain yang kaya tadi lagi La sumpah.” Ucap Rendi dalam hatinya sambil mencium tangan Dela.
Setelah kritis selama 2 hari akhinya Dela bangun dan orang yang pertama di lihat Dela adalah Rendi. Senyuman Rendi yang sangat merekah, dan sepertinya Dela sudah lupa kapan terakhir melihatnya.
“good morning.” Ucap Rendi sambil mengancing kemejanya.
“good morning. Kamu mau kemana?” tanya Dela.
“mau koas lah sayang. Nanti makan siang bareng yah, gue udah manggil Prof Aris buat cek keadaan lo.” Ucap Rendi sambil menggunakan jas putihnya.
Dela masih bingung melihat Rendi yang sepertinya kembali ke Rendi yang dulu.
“tunggu yang sabar yah sayang.” Ucap Rendi sambil mencium kening Dela dan menepuk kepalanya. “lo bauk banget.” Rendi menutup hidungnya dan pergi menghilang dibaik pintu.
“Dela, kamu udah sadar.”
“Om Aris. Kemarin Dela kenapa Om?” tanya Dela.
“kamu kritis, kamu sih bandel. Tapi untung kamu udah balik kedunia, jadi Om ga perlu tanggung jawab ke Haruna.” Ucap Aris sambil mencek keadaan Dela. “keadaan kamu baik-baik ajah. Makan yang banyak. Om pergi dulu.”
Aris menghilang begitu saja dan Dela kembali tidur. Pukul 12 tepat pintu Dela terbuka dan membangunkan Dela.
“mandi yuk, lo kayanya udah setahun ga mandi.” Ucap Rendi sambil melepas impus dan menyikap selimut Dela untuk menarik kateter Dela, namun tanganya ditahan Dela.
“kamu mau ngapain?”
“nyopot kateter? Kenapa?” tanya Rendi dengan ekspresi yang menuntut jawaban yang terbaik. Kerena Dela diam saja, Rendi mencabut kateter itu dengan sedikit teriakan dari Dela karena lumayan perih.
“sakit tau.”
“ye itu doang.” Ucap Rendi sambil mencubit pipi Dela dan membantunya turun dari kasur dan masuk kekamar mandi. Rendi memandikan Dela dan mencuci rambutnya.
“wess.. akhirnya selesai. Seger banget Ren, makasih yah.” Ucap Dela sambil duduk di kursi tamu dan pintu terbuka.
“wahh... katanya ada yang mau mati, tapi masih mesra-mesraan seakan api neraka tidak ada.” Ucap Figo sambil meletakan makanan yang dibawanya keatas meja.
“hahahah”
“lo baru mandi la?” tanya Tara. “mana perawatnya?
“gue yang mandiin.” Ucap Rendi yang fix menarik mata Axel, Tara dan Figo untuk melototin Rendi.
“gila sih, kawin ajah sana, jangan kebanyakan dosa.” Ucap Axel.
“kita ga ngapa-ngapain kok.” Ucap Dela.
“iya terserah mau ngapain juga terserah, lu dah gede juga.” Ucap Figo sambil membuka makanan yang dibawanya “makan siang bareng kuy.” Figo membagi box makanan satu-satu kecuali Dela.
“aku kok ga dapet.”
“lu kan sakit La, makan makanan rumah sakit ajah.” Ucap Axel.
“bentar gue ambilin.” Ucap Tara dan Rendi.
“Tara kamu disini ajah, biar Rendi yang ambil.” Ucap Axel untuk menghindari momen tegang.
Selesai makan mereka ngobrol-ngobrol sampai malam dan akhirnya Tara, Axel, dan Figo pulang.
“lo ga ngantuk.”
“iya ini mau bobo.” Ucap Dela yang sudah berada diatas kasur. Dela memegang tangan Rendi yang sedang memperbaiki selimutnya.
“kenapa?”
“makasih Rendi.” Ucap Dela dan langsung memejamkan matanya untuk tidur. Rendi hanya tersenyum.
“tapi Rendi kamu bisa ga balik kaya dulu lagi?” ucap Dela yang sepertinya belum tidur.
“kenapa?” Ucap Rendi sambil meletakkan bukunya dan melihat punggung Dela.
“supaya aku ga ngerasa bersalah banget kalo udah ninggalin kamu.” Ucap Dela.
“ninggalin? Ngapain ninggalin?”
“Rendi aku ga main-main.” Ucap Dela sambil mengambil posisi duduk dan Rendi sudah berada sangat dekat, didepan matanya.
“aku juga ga main-main Dela.”
“kamu gak penasaran kenapa keluarga aku ga ada yang ngunjungin aku? Dan Tara, Figo dan Axel juga datang cuma sekali.”
“mungkin mereka sibuk dan juga gue ga peduli dan ga penasaran.”
“karena mereka udah rela aku pergi Ren, mereka ga mau ngelihat aku kesakitan kaya dulu lagi.”
“terus? Itukan mereka, gue beda. Gue cuma mau lo hidup, sehat, gimanapun caranya. Udah lo bobo, gue ga mau bahas-bahas gini.” Ucap Rendi sambil memeluk Dela dan tidur disampingnya.
Setelah Dela tertidur Rendipun bangun dan berjalan ke teras. Rendi memandang lampu-lampu dikota, Rendi terlihat berapa kali menghela nafas, dan akhirnya Rendi menangis sejadi-jadinya. Rendi sebenarnya tidak sanggup untuk selalu bertindak sok tegar didepan Dela, namun dia harus, karena semakin lemah dia, maka Dela semakin ingin mati saja.
Hari-haripun berlanjut dan belum ada donor ginjal yang cocok untuk Dela, pengobatan yang dilaksanakan Delapun bertambah berat dan seperti biasa Dela akan mengekspresikan apa yang dirasakannya dengan teriakan dan tangisan, Rendi tak pernah melihat Dela menangis ketika dulu mereka pacaran normal kecuali masalah kemarin, tapi sekarang, Rendi melihat Dela menangis hampir setiap hari.
Sore hari Aris mendapat telepon yang mencurigakan ketika memberi ujian post test kepada anak-anak koas. Aris langsung berlari meninggalkan ruangan ujian setelah mendapat telepon dan Rendipun mengikutinya, meninggalkan ujiannya.
“Suster, Dela ga mau lagi.” Teriak Dela yang sudah menangis berdiri didekat pintu teras dan menyodongkan pisau buahnya ke arah perawat dengan ancaman akan bunuh diri.
“Dela kamu tenang dulu.” Bujuk seorang perawat.
“jangan dekat-dekat Dela.” Ucap Dela lagi. Pintupun terbuka, Aris datang dan langsung memijit kepalanya.
“kamu ngapain disana Dela?” tanya Aris.
“Om please, Dela ga mau lagi Om.” Dela memohon dengan air mata sudah sangat memabasahi pipinya
“ya udah kalo kamu gak mau, silahkan saja. Do it fast.” Ucap Aris sambil meninggalkan ruangan Dela dan mengajak suster yang lain untuk keluar dan benar saja Dela langsung pergi kedepan wastafel dan berkaca, mencari nadi dilehernya. Wajah Rendi muncul dikaca dan tak ada respon terkejut dari Dela, hanya air matanya yang langsung menetes.
“lo mau ngapain?” tanya Rendi dengan ekspresi datar, namun tanganya sudah mengambil pisau yang diletakkan Dela diatas wastafel. Dela secara langsung mencari pisaunya, dan tidak ketemu. Tiba-tiba Dela memeluk Rendi, memeluknya dengan hangat, air mata Rendi langsung menetes namun langsung ditepisnya,
“hahahha segampang ini yah Ren lo ditakhlukin, tadi diluar gue kira gue bakalan bunuh lo disni La, tapi cuma dengan pelukan lo, hahahha.” Ucap Rendi sambil tersenyum.
“Rendi, Rendi sayangkan sama Dela.” Ucap Dela yang masih memeluk Rendi. “kalau Rendi sayang sama Dela, Rendi ga mau kan lihat Dela kesakitan tiap hari, Rendi ga mau kan lihat Dela nangis.” Rendi masih diam dan terhanyut. Dela mencoba mengambil pisau ditangan Rendi dan
“gue tau La, tapi gue sanggup kok lihat lo nangis tiap hari.” Ucap Rendi yang menjauhkan diri dari Dela. Dela terlihat gemetaran, hampir terjatuh saat melangkah.
“Hahaha.” Dela tertawa garing. Dela terlihat sangat berusaha agar bisa sampai ke kursi tamu. Dela menggepal tangannya sampai darah mengalir dari tangannya.
“kita putus saja.” Ucap Dela, yang kini berdiri sambil bersandar di kursi tamu, sangat terlihat, untuk berdiri saja, dia tak sanggup.
“lo ngomong apa sih, ya udah lo tidur ajah.” Ucap Rendi sambil memegang Dela untuk membantunya kembali ketempat tidur namun langsung ditepis Dela, terlihat Rendi sangat menjaga emosinya.
“jangan sentuh gue.” Ucap Dela yang mencoba untuk bertahan berdiri namun Rendi mengacuhkannya dan tetap mencoba membawa Dela ke tempat tidurnya, dan satu tamparanpun mendarat di pipi Rendi. Rendipun terdiam sambil mengelus pipinya dan melihat darah ditangannya.
“tenaga lo kuat juga.” Ucap Rendi dan kembali memegang Dela untuk membatunya kembali ke tempat tidur dan hasil yang sama langsung di tepis Dela, dan PLAKK. Satu tamparan kuat cukup membuat Dela langsung terjatuh dan memecahkan sudut bibirnya. Dela gemetaran hebat sampai membuatnya sulit bernafas. Rendi langsung menolong Dela, dan lagi-lagi Dela menepisnya lagi.
“Dela gue cuma mau lo itu sehat, salah? Gue cuma mau lo berjuang sedikit Dela, dikit ajah.” ucap Rendi dengan emosi yang sudah sangat diubun-ubun sambil meremas kuat kedua lengan Dela. Dela hanya diam, Dela sudah terlihat sangat lemas, pandanganyapun sudah tidak fokus.
“lepasin gue please.” Ucap Dela yang sedari tadi berusaha melepaskan tangan Rendi, Dela tidak menyangka akan mendapat tamparan lagi dipipinya.
“kalo lo mau mati Dela, ya udah, tunggu disini.” Ucap Rendi sambil berlari keluar ruangan Dela.
Dela masih duduk ditempatnya terjatuh tadi, dan Rendi datang membawa 2 pisau.
“lo tau ini kan, yuk mati bareng.” Ucap Rendi sambil menunjukkan pisau bedah kepada Dela. Rendi mengambil spidol merah, dan “lo bisa potong disini, gue jamin lo langsung mati.” Ucapnya sambil menyingkirkan rambut panjang Dela kebelakang, dan mencoret lehernya. Sementara Dela hanya diam, pandangannya hanya lurus kedepan dan kosong dan iklas dengan apapun yang dilakukan Rendi terhadapnya.
“okay, kita harus ke toilet, biar beresinnya ga repot.” Ucap Rendi sambil menggendong Dela masuk kedalam toilet. Dela berdiri didepan cemin, dan disampingnya ada Rendi.
“okay sebelum kita mati, gue pengen ngomong sesuatu sama lo La. Gue disini, karena gue tau ini endingnya, kalo seandainya lo mati minggu depan atau besok, gue juga pasti ngelakuin ini. Karena gue ga bisa hidup tanpa lo, bullshit emang, tapi itu bener, selama lo tinggal disini, gue uda ngerasa jiwa gue udah hilang, dan kalo lo mati, ya berarti raga gue udah ga ada.” Dela meneteskan air matanya.
“kamu pernah mikir panjang gak Rendi?” Ucap Dela. “kamu pernah mikirin apa yang aku rasain? Aku sayang sama kamu Ren, bahkan sangkin sayangnya aku selalu diam kalau kamu buat aku sakit hati atau kecewa, aku selalu buat yang terbaik untuk kamu. Karena itu Ren, sebelum itu semua terlalu jauh, Rendi aku bakal gini lagi satu hari nanti, sementara kamu, kamu bisa nikmatin hidup kamu, berkarir bagus, dan masa depan kamu panjang banget. Kalo kamu bertahan sama aku, ga da yang bisa kamu capai Rendi.” Ucap Dela.
“yang nentuin mana terbaik buat gue itu, gue del, bukan lo. Dan yang gue mau itu, elo. cuma lo Dela.” Ucap Rendi sambil memegang bahu Dela dari belakang dan langsung di tepis.
“disini kan?” ucap Dela yang sudah mengarahkan pisaunya ke garis yang dibuat Rendi tadi. Rendi menegang, Rendi tak tau ingin berbuat apa, namun terlihat dimatanya, ketidak iklasan. Seperti tidak tau harus melakukan apa lagi akhirnya Rendi
“STOP. Seminggu lagi del, please.” Ucap Rendi yang sudah mengambil posisi berlutut dibelakang Dela. “Please Dela, gue bakal lakuin apapun yang lo mau, please tunggu seminggu lagi.” Ucap Rendi yang terlihat sangat hopeless.
“Rendi please jangan kaya gini.” Ucap Dela sambil melemparkan pisaunya ke dinding kamar mandi lalu Dela terduduk dan menangis.
“please La. Please pikirin gue, kalo lo sembuh gue bakal mikirin lo tiap waktu La, tapi kali ini please, pikirin gue ajah. Seminggu Del.” Ucap Rendi yang terlihat sangat putus asa, Rendi sudah membuang semua harga dirinya dan semua yang dimilikinya untuk Dela.
Dela hanya diam dan melihat Rendi yang masih menundukkan kepalanya, Dela melihat bercakan darah dipinggang Rendi.
“Rendi pingang kamu kenapa?” tanya Dela, seakan tak merespon apa yang telah dikatakan Rendi sedari tadi. Terlihat Rendi terkejut melihat ada bercakan darah di kemeja putihnya.
“gak papa kok Dela, kamu istirahat yah, seminggu please.” Ucap Rendi yang menolong Dela dan menggendongnya untuk kembali ke tempat tidur, lalu tiba-tiba Dela memukul bagian bercakan darah di baju Rendi dan langsung membuat Rendi teriak dan hampir kehilangan keseimbangan. Rendi meletakkan Dela diatas tempat tidur dan Dela menarik Rendi agar mendekat dan memcoba membuka kancing kemejanya, namun tangannya ditahan Rendi.
“kamu mau ngapain?” tanya Rendi yang masih menggenggam tangan Dela.
“awh...” teriak Dela pelan yang langsung membuat Rendi membuka gengaman tangan Dela, namun Dela langsung menarikknya. “sebentar kok.” Ucap Dela melanjutkan membuka kancing kemeja tersebut.
Rendi terlihat seperti berpikir keras dan takut, Rendi terlihat berkeringat.
“badan kamu kenapa?” tanya Dela yang melihat badan Rendi yang penuh luka sayatan dan tusukan yang kecil-kecil namun hampir memenuhi lingkar pinggangnya.
“bukan apa-apa kok.” Ucap Rendi yang mencoba mengancing bajunya kembali namun ditahan Dela.
“jawab aku Ren. Please.” Ucap Dela dengan pandangan yang tidak lepas dari luka yang sebagian telihat sudah kering dan sebagian terlihat basah.
“ini luka buat ngimbangin sakit yang lo rasain La.” Ucap Rendi. Dela menyiritkan keningnya. “waktu lo pertama sakit, dan gue pengen lo sembuh, lo pasti bilang, gue ga ngerti sakit yang lo rasain, dan juga ini buat hukuman buat gue yang udah buat lo kesakitan tiap nerima obat dari gue. Gue ga pernah absen buat ngerasain apa yang lo rasa La, mungkin rasanya ga seberapa, tapi gue mau berjuang sama lo.”
Dela hanya terdiam, Dela seperti tak bisa berkata-kata, hanya air matanya yang menetes.
“hati lo sakit ga La? Itu yang gue rasain La, kalo tiap saat lo nyoba buat nyakitin diri lo sendiri.”
“Rendi.” Ucap Dela sambil menghapus air matanya dengan tanganya “Rendi, aku ga tau tujuan kamu buat gini, mau balas dendam atau gimana, tapi please stop. Aku ga mau kamu sakit, please.” Ucap Dela.
“kalo lo ga mau gue sakit, fight Dela. Kalo lo masih kaya gini, mungkin luka gue makin banyak.” Ucap Rendi sambil memegang kedua pipi Dela. Dela mengangguk. “please janji, lo ga bakal aneh-aneh lagi.”
“aku janji.” Ucap Dela yang terlihat seperti anak-anak yang sedang dimarahin papanya.
“janji, lo bakal fight. Lo bertahan.” Ucap Rendi lagi yang membuat Dela tidak menjawab. “La, lo pasti bisa sembuh la, gue Cuma butuh lo kuat dan punya keinginan untuk sembuh.”
“aku ga mau janjiin sesuatu yang ga bisa aku tepatin Rendi.”
“Dela, please.” Ucap Rendi sambil memeluk Dela, Dela menghirup aroma tubuh Rendi yang sepertinya sudah sangat lama tidak dihirupnya. Hangat.
“hangat, ini gimana? Aku mau kamu Rendi, aku mau kamu, tapi aku ga mau kamu menderita bareng aku, aku ga kuat buat bertahan.”
“La, please, setidaknya lo janji buat mau berjuang. Gak papa La, kalo nanti lo ga kuat, setidaknya lo udah nyoba.” Ucap Rendi yang masih sangat nyaman memeluk Dela.
“iya Rendi, aku janji. Tapi please jangan lukain diri kamu lagi.” Ucap Dela yang kini membalas pelukan Rendi.
“God help me please. Aku akan lakukan apapun untuk dia Tuhan, jadi tolong jangan panggil dia dulu.” Ucap Rendi.
Hari-haripun berjalan dengan perjuangan Dela melawan penyakitnya dan bertahan untuk menerima segala jenis pengobatan yang dilakukan Aris dan Rendi, sampai akhirnya Dela mendapat donor ginjal yang cocok dengannya, walau waktu yang di janjikannya dengan Rendi sudah lewat beberapa minggu.
“Gimana keadaan Dela, Rendi.” Ucap Haruna yang baru datang bersama Saylendra ke ruang tunggu, dimana disana telah berkumpul Syandana, Tara, Axel, Figo dan Putu.
“masih didalam tante, doain yang terbaik ajah tante.” Ucap Rendi.
Dua jam kemudian, Aris keluar dari ruangan operasi dan langsung saya mereka semua menghampiri Aris.
“Gimana Dela, Aris?” tanya Putu.
“Dela baik-baik ajah kok, dia kuat.” Ucap Aris.
“thanks God.” Hampir semua yang diruangan tunggu itu mengucapkan syukur dengan cara masing-masing.
Dela dipindahkan keruanganya,
“Rendi, tante nitip Dela sama kamu yah, tante harus pergi rapat.” Ucap Haruna sambil merapikan tasnya.
“haha... Mama yang sangat baik.” Ucap Putu sambil tersenyum sarkas.
“kamu juga Papa yang baik.” Ucap Haruna kembali dengan tatapan yang mungkin mengalahkan elang sambil beranjak berdiri.
“mah pah kalau mau ribut diluar ajah deh.” Ucap Syandana.
“aku juga harus pergi hari ini.” Ucap Saylendra.
“kaka mau kemana?” tanya Syandana.
“aku harus ke Singapur nanti malam untuk rapat besok.” Ucap Saylendra sambil meminum tehnya.
Rendi hanya memandangi mereka berdebat, dan saling bertatapan sinis.
“Tante pergi dulu yah Rendi, mama pergi dulu Dana, Saylendra.” Ucap Haruna sambil melangkah keluar dari ruangan Dela.
“iya Tante hati-hati.” Ucap Rendi.
Suasana didalam ruangan sangat awkward, mereka ber 4 memiliki kegiatan masing-masing, Rendi membaca buku, Saylendra sibuk dengan tabletnya, Syandana dengan hpnya, dan Putu dengan bukunya. Malam haripun tiba dan Dela belum kunjung sadar, sampai akhirnya Saylendrapun kembali disusul oleh Syandana, dan juga Putu.
Perasaan was-waspun muncul diekspresi Rendi, dimana hari ini, hari ke tiga setelah Dela operasi, dan Dela belum menunjukkan tanda-tanda dia akan sadar.
“Prof Dela kok belum sadar yah?” tanya Rendi ketika Aris mencek keadaan Dela di ruangannya.
“kamu ga koas yah Ren, perasaan saya lihat kamu terus disini.” Ucap Aris.
“ini jam istirahat saya Prof.” Ucap Rendi.
“Dela gak papa, cuma butuh waktu untuk penyesuaian kembali, seharusnya saya tak menjelaskan ini, kamukan sebenarnya tau.”
“iya dok, saya juga berpikir demikian tapi saya selalu ragu jika itu berkaitan dengan Dela.” Ucap Rendi.
“hmm... saya pergi dulu.” Ucap Aris.
“makasih dok.”
Rendi memakan makan siangnya disamping Dela sambil menoton tv, dan sesekali mencium tangan Dela. Hobby baru Rendi. Setelah Rendi selesai makan, Rendipun kembali koas.
Sore hari dicafe Figo,
“Tara, tadi ada yang kirim salam sama lo, anaknya cantik dan pinter.” Ucap Figo sambil meletakkan minuman dimeja mereka.
“bacot. Gue mau juss ajah go.” Ucap Tara.
“ya udah buat gue ajah.” Ucap Axel. “biarin ajah Tara mati tua.” Ucap Axel disusul tawa Figo.
“lo ingat Bela gak? Yang pernah lo godain dulu? Dia udah punya anak, gila gak?” ucap Tara mengalihkan pembicaraan.
“gue tau. Btw gimana keadaan Dela?” ucap Figo.
“Dela, gimana? Iya ga kita ga pernah jenguk setelah operasi.”
“masih belum sadar. Tau ah males bahas Dela.” Ucap Tara.
“ya elah move on napa.” Ucap Axel sambil meminum capucinonya. Tara hanya diam dan memandang indahnya kota dimana matahari mulai tenggelam.
Diruangan Dela, Rendi sudah mandi dan mengganti pakaiannya, siap-siap untuk makan malam. Rendi membereskan ruangan Dela, merapikan buku-bukunya.
“Rendi.” Ucap Dela lemah yang sudah membuka matanya. “Rendi.” Ucap Dela lagi.
“Dela?” Rendi langsung beranjak ke tempat tidur Dela dan langsung memeluknya, dan memencet tombol call. “lo tau La, gue ngerasa beban di tubuh gue langsung hilang sekejap, makasih udah bangun sayang.” Rendi mencium kening Dela
“janji Ren, kamu ga bakal nampar aku lagi. Aku mimpi buruk.” Ucap Dela dengan tatapan khawatir..
“janji Dela, janji. Anything for you. Mimpinya gitu yah?”
Pintu terbuka, Rendi langsung berdiri tegap dan pandangan Aris langsung tajam ke arah Rendi dan Aris langsung memeriksa keadaan Dela.
“gimana?” tanya Aris.
“apanya yang gimana prof?” ucap Rendi bingung,
“okay, kamu istirahat pemulihan ajah. Om pergi dulu, kalo ada perlu bilang sama dia ajah.” Ucap Aris sambil menunjuk Rendi dan pergi dari ruangan Dela.
“udah gitu ajah?” ucap Dela.
“ni anak.” Ucap Rendi sambil menjitak pelan kepala Dela. “i miss you nyet.” Ucap Rendi sambil mengambil posisi tidur disamping Dela.
“sempit Rendi. Ntar pintu operasi gue kebuka.” Ucap Dela.
“Dela gue calon dokter masa depan yang hebat jadi dont worry, walaupun gue ga bisa ngobatin lo, gue bisa jagain lo.”
“iya iya sombong.”
“hahahaha gue sombongnya depan lo doang kok.”
“yashh i know it, kalo lo sombong diluaran sana, lo ga bakal jadi idaman cewe-cewe.”
“ntar kalo lo keluar dari rumah sakit pengen kemana?”
“humhh, belanja bulanan mungkin. Cafe Figo, naik Merbabu?” ucap Dela.
“anything kecuali aktifitas fisik La, kalo dari dulu gue tau lo sakit, gue ga bakal ajak lo naik gunung. Ga bolehin lo main futsal.”
“iyaa... iya....” ucap Dela sambil tersenyum. “hahaha sesederhana ini yah, kaya nya baru kemarin aku jerit-jerit mau mati, dan sekarang aku disini kya ga kurang apapun hahhaha.”