Abriel sedang serius mengerjakan buku Latihan Ujian Nasional ketika ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Setelah ia menyahuti, papanya kemudian masuk dan mengambil tempat di ujung tempat tidurnya.
"Sudah jam satu malam, kamu belum mau tidur, El?" ujar papanya seraya memungut bola bisbol di dekat keranjang jaring-jaring tempat Abriel menaruh barang-barangnya.
"El kan udah janji sama Papa Mama, kalau El bakal menyeimbangkan antara sekolah dan proyek komik. Papa sendiri, tumben banget belum tidur jam segini padahal besok Papa kan ngantor."
Papanya memindahkan-mindahkan bola bisbol dari kepalan tangan ke kepalan tangan yang lain. "Nggak apa-apa, Papa lagi susah tidur. Pengin aja Papa ngobrol sama kamu. Kata Mama, tiap hari kamu tidur larut," sahutnya. "Gimana komik kamu? Beres?" Papanya tahu-tahu bertanya.
Abriel menaikkan alisnya. "Dua chapter lagi beres, Pa. Tinggal diperhalus, siap El bawa ke penerbit. El dibantu kenalannya Irena."
"Good, kalau gitu semakin besar peluang kamu, dong," papanya memuji.
"Mudah-mudahan."
"Kalau si Adit, gimana? Suka kamu ingetin juga tuh anak belajar? Anak itu kan kerjaannya main melulu. Kasihan sih Papa lihatnya, orangtuanya kan sibuk banget, jarang di rumah. Kayak tetangga depan rumah itu, sibuk banget mamanya sampai anaknya jadi nggak bener, telantar."
Abriel otomatis terkesiap. "Maksud Papa Isabel? Nggak bener gimana, Pa?"
"Iya, Isabel, keluyuran melulu kan, kerjaannya? Papa sama Mama pernah ngobrol sama Bu Lastri, yang rumahnya di belokan itu. Dia katanya sering lihat anak gadis itu pulang malam-malam. Kadang naik taksi. Kadang diantar cowok, beda-beda."
Abriel tidak tahu harus menanggapi apa. Otot-ototnya terasa kaku.
"Dia itu teman kamu, kan? Temannya Adit juga?" tanya papanya. "Papa beberapa kali lihat mobil Adit parkir di depan rumahnya. Apa anak itu pacaran sama si Adit, barangkali?"
"Dia bukan pacarnya Adit, Pa."
"Ya, syukurlah kalau bukan. Kamu boleh berteman sama dia, tapi jangan terlalu dekatlah. Kasih tahu juga Adit—"
"Pa, kayaknya ada yang perlu Papa tahu, deh," potong Abriel, tidak lagi bisa menahan diri mendengar papanya terus-terusan memojokkan Isabel tanpa tahu yang sebenarnya dialaminya. "Sebenernya, El dekat sama dia; El suka sama Isabel. Dan dia itu nggak kayak yang Papa bilang, kok. El berani jamin, kalau Papa ngobrol sama dia, pasti Papa berubah pikiran. Isabel itu gadis paling cerdas, unik dan tulus yang pernah El kenal..."
Kacamata papanya sedikit melorot. Dengan telunjuknya papanya cepat-cepat membetulkan posisinya. "Ah, becanda kamu...," dengusnya sambil terkekeh.
Abriel bergeming menatap papanya. "El nggak bohong, Pa. El beneran suka sama dia. Bahkan perasaan El mungkin lebih dalam dari itu."
"Lantas, kalau kamu yang cinta sama dia, kenapa Adit yang sering nongkrong di rumah dia, bukannya kamu?"
Abriel tidak menjawab atau memandang papanya lagi. Gantinya ia mencorat-cotet sisi yang kosong di buku latihannya dengan hati tak nyaman, dongkol, kesal. Tak ambil pusing, papanya mengedikkan bahunya sebelum meninggalkan kamar Abriel, meninggalkan perasaan putranya yang berkecamuk.
* * *
Kompleks perumahan itu begitu sepi dan hening meski malam itu langit bertaburkan banyak bintang. Cemerlangnya malam terus berlangsung hingga akhirnya bulan menggelinding sedikit demi sedikit, lenyap digulung awan yang mengabut.
Pukul empat pagi, truk sampah itu masuk ke dalam pemukiman itu. Lolos tanpa kecurigaan melewati dua satpam di gerbang kompleks yang berpikir bahwa mungkin departemen mengganti petugas mereka dengan yang baru dan jadwal pengangkutannya yang seharusnya besok, diganti jadi hari ini.
Deruman rendah itu akhirnya berhenti. Dalam keheningan, sampah-sampah mulai ditebar oleh seorang pria yang tampaknya sudah terbiasa bersentuhan langsung dengan benda-benda yang mengeluarkan bau tak sedap itu. Setelah semua sampah itu dikeluarkan, ia kembali ke dalam mobil dan mengajak si sopir untuk melaju.
Di sebuah mulut gang, si sopir pun menurunkan rekannya setelah mereka membagi dua sejumlah uang yang diberikan gadis cantik yang mengupah mereka kemarin.
* * *
Abriel bangun pagi-pagi sekali, dan langsung masuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Ketika ia sedang mengenakan seragam sekolahnya, Jensen nyelonong masuk ke dalam kamarnya dengan wajah panik.
"Kak! Lihat keluar, deh," ujar anak lelaki yang sudah berseragam SD lengkap itu.
Abriel masih mengancingkan bajunya seraya memandang bayangannya di cermin. "Ada apaan?"
"Lihat deh, Kak. Banyak sampah, bau banget."
"Sampah apaan?"
"Itu... halaman rumahnya Kak Isabel penuh sampah. Heboh, Kak. Banyak orang."
Abriel berusaha menyerna; otaknya memroses cepat. Tanpa menunggu lagi, ia segera bergegas turun dan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Beberapa tetangganya tampak berkerumun di depan halaman rumah Isabel, sementara Bi Iceu dengan ekspresi tak nyaman berusaha memasukkan sampah-sampah yang menggunung itu ke dalam kantong plastik besar. Abriel segera menghampiri wanita berdaster itu.
"Bi, kenapa ini? Kok bisa banyak sampah gini?"
Bi Iceu mendesah resah. "Nggak tahu, A. Bibi juga nggak ngerti. Bibi barusan diketuk sama Ibu sebelah yang ngasih tahu ini. Barusan Pak RT juga abis dari sini."
Pak Wawan, tetangga mereka yang lain menghampiri Bi Iceu, tanpa diminta, Abriel mengambil alih apa yang sedang dikerjakan Bi Iceu. Setelah berbicara dengan Pak Wawan, Bi Iceu kembali memunguti sampah-sampah di teras rumah. Tetangga-tetangga yang lain mulai membubarkan diri melihat kekacauan tersebut sedang ditangani.
"Abel belum pulang, Bi?" tanya Abriel.
Bi iceu menggeleng. "Ibu juga baru pulang nanti sore dari Bogor. Barusan saya udah telepon Ibu, kata Ibu saya teh harus bersihin semua ini sebelum Neng Abel pulang..."
Abriel menunggu Bi Iceu melanjutkan, karena ucapannya masih terasa menggantung.
Bi Iceu meraup gulungan tisu bekas yang basah di dekat kakinya. "Ibu kayaknya teh berpikir ini kerjaan temen-temen yang dulu jahatin Neng Abel... Ibu pernah cerita, waktu Neng Abel SMA dulu Neng Abel teh suka dikerjain, tapi nggak pernah bilang ke Ibu. Dipikir-pikir, sok geura, memang asa mustahil kalau ini kerjaan orang lain mah."
Abriel terkesiap. Semuanya terasa masuk akal. Bisa jadi ini kerjaan orang-orang itu. Orang-orang sial itu. Mereka barangkali masih di Bandung, sengaja untuk mengerjai Isabel karena merasa tak puas...
Diliputi perasaan dongkol, Abriel memunguti sampah dengan lebih kasar namun lebih cepat. Ia sadar, semua kekacauan ini harus segera dibereskan sebelum Isabel pulang. Isabel tidak boleh tahu mengenai kejadian ini. Namun, saat itulah, ketika Abriel sedang memasukkan sampah yang bertebaran di dekat pohon, ia melihat Isabel sedang berjalan ke arahnya.
Abriel berhenti memasukkan sampah. Kakinya terasa membatu.
Isabel tampak kehabisan kata-kata melihat keadaan pekarangan rumahnya yang dipenuhi gundukan sampah, menyebar hingga teras rumahnya. "Kok rumah saya bisa gini, El?" tuntutnya pada Abriel. Abriel bisa melihat bibir Isabel gemetar dan pucat.
Abriel menggeleng, tak tahu harus menjawab apa. "Udah, kamu masuk ke dalam aja. Biar aku sama Bi Iceu yang beresin, ya..."
Tampak tidak puas dengan jawaban Abriel, Isabel buru-buru menghampiri Bi iceu. Bi iceu pun terperanjat mendapati bahwa Isabel sudah pulang, dan kini berdiri di belakangnya.
"Bi, ini kenapa, sih? Kok bisa ancur gini rumah?"
Bi Iceu menunduk kikuk. Abriel segera mengambil posisi di antara mereka. "Bel, udah ya, nggak apa-apa, kok. Just a little accident. Barusan ada truk sampah yang baknya keguling... "
Isabel mengerang. "Don't you dare lying to me!" tukasnya tajam.
Abriel menghela napas. "Tolong, Bel. Kamu masuk dulu, ya. Nanti kita ngomong lagi. Sekarang biar aku beresin semua ini dulu."
Seolah dirambati sesuatu, Isabel mengerang lebih keras. "I know it!" Ia pun mengumpat berkali-kali. Abriel belum pernah melihat Isabel sefrustasi itu. "Dan setelah saya merasa telah menang, telak, mereka kembali menghancurkan saya!"
"Bel...," Abriel baru saja akan menenangkan Isabel, ia mendengar namanya dipanggil. Abriel melihat Papa dan mamanya sudah berdiri di depan teras rumah mereka. Ia bisa melihat kegusaran di wajah papanya.
"Abriel! Kemari! Pulang kamu!" perintah papanya, keras.
Abriel mengalihkan pandangannya pada Isabel. Tampak tidak memedulikan, Isabel masih merunuti sampah-sampah di sekitarnya. Entah kemana perginya pikiran Isabel saat itu, Abriel membatin.
"Abriel! Masuk!" panggil papanya lagi.
"Bel," Abriel berkata, lembut sekaligus lirih pada Isabel. "Aku ke rumahku dulu, ya. Nanti aku ke sini lagi. Kamu masuk aja dulu, ya." Namun, Isabel masih tidak memerhatikan Abriel. Abriel lalu memberi isyarat pada Bi Iceu agar membujuk Isabel. Bi Iceu mengangguk paham.
"El," kali ini mamanya yang memanggil, karena papanya sudah masuk ke dalam rumah mereka dengan gusar.
Abriel tidak punya pilihan. Ia menyandarkan kantong plastik besarnya ke dekat keran air rumah Isabel sebelum berjalan menuju rumahnya.
Sebelum ia menginjakkan kaki di terasnya, untuk yang terakhir kalinya, ia memandangi punggung gadis itu. Mendadak, ia merasakan firasat yang membuat hatinya mencelos. Sebersit yang berarti sesuatu. Entah apa itu...
* * *
Pagi itu Abriel dan papanya bertengkar hebat. Belum pernah kata-kata setajam itu dimuntahkan dari mulut papanya. Pun Abriel, belum pernah seumur hidupnya ia melawan papanya sekeras itu.
"Bodoh kamu! Buat apa kamu ikut-ikutan bersiin sampah kotor di rumah itu—ikut campur urusan orang!"
"El udah bilang sama Papa barusan, kalau itu kerjaan orang yang nggak suka sama Isabel. Isabel nggak salah..."
Perdebatan itu tidak selesai dengan cepat. Papanya berangkat ke kantor dengan kemarahan menggelegak. Meski terlambat, Abriel pun berangkat ke sekolahnya. Karena mamanya sudah menelepon ke petugas piket di sekolah untuk meminta izin, ia bisa langsung mengikuti jam pelajaran selanjutnya tanpa dikenakan sanksi.
Adit sudah kembali duduk di bangku yang sama dengan Abriel, meski begitu, tak satu pun dari mereka membahas persoalan pribadi mereka lagi. Ada jarak dan aturan tak kasat yang mereka sepakati tanpa perlu kata-kata. Keduanya mendadak tahu batas dan benteng masing-masing. Dan itu sebetulnya cukup melegakan.
Sepulangnya dari sekolah, Abriel langsung mengunjungi rumah Isabel. Meski sampah-sampah telah dibersihkan, Abriel masih bisa mencium aroma tak sedap menguar ketika ia mengetuk pintu rumah tersebut. Namun, seolah mengetuk batu, lama ia menunggu, tak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu tersebut untuknya. Begitupun malam harinya, rumah itu masih juga hening dan sunyi.
Firasat tak enak Abriel terbukti.
Hari berganti hari. Kediaman itu masih juga tanpa penghuni. Lampu depan tetap mati, tidak lagi pernah dinyalakan. Penerangan rumah itu hanya mengandalkan lampu taman yang menyala otomatis setiap pukul enam sore dan mati pukul lima pagi, sesuai setting-an. Dan bahkan hingga satu bulan berikutnya, Abriel masih juga menunggu ada tanda-tanda kehidupan dari rumah itu. Tapi segalanya tetap sama. Rumah itu masih gelap, kosong—memberikan aura dingin, seolah telah ditinggalkan bertahun-tahun lamanya dan telah dikuasi sesosok bentuk kemuraman nan ganjil.
Abriel merasa segalanya mengabur. Realitas bagaikan potongan mimpi, dan ia tenggelam di benua alam mimpinya yang paling rumit. Pada satu malam, Abriel sempat tersentak dalam tidurnya, merasakan namanya dipanggil. Tapi, yang ia dapatkan hanyalah cucuran keringat di dahi. Ia memang belum makan sejak pagi, tapi ia yakin bukan itu saja penyebabnya.
Berbagai upaya sudah dilakukannya untuk mencari Isabel. Berkali-kali ia menelepon Tante Jane, ibu Isabel, tapi telepon itu tidak pernah lagi aktif. Ketika Abriel menyambangi usaha katering milik ibu Isabel di Jalan Buah Batu, tak satupun pegawai bersedia memberikan informasi yang akurat. Hanya kartu nama dengan nomor baru, yang dihubungkan ke sekretaris wanita itu yang ia dapatkan. Sama sekali tidak membantu. Karena Abriel yakin ibu Isabel dengan sengaja menghindarinya.
Lagi, waktu pun berlalu tanpa makna, seakan ada orang yang menjulurkan remote dan menekan tombol next, next, next padanya, karena tahu-tahu ia sudah dihadapkan dengan minggu tenang menghadapi Ujian Nasional dan hari-hari sibuk persiapan serangkaian test untuk masuk universitas.
Hanya proyek komiknyalah satu-satunya jalan mengobati kerinduannya pada Isabel. Setidaknya, ia bisa memberi Mazzy dialog yang akan menguatkannya. Kadang, itu membantu. Namun sebagian besar, Abriel menjalani hidupnya dengan monoton dan statis, seperti mode autopilot pada pesawat. Tak berkesan ataupun berarti.
Bahkan ketika ia dinyatakan lulus dari sekolahnya dengan nilai yang tinggi, pun ketika ia lolos ujian masuk fakultas impiannya, semuanya terasa hambar. Yang ia inginkan hanya mengetahui kabar Isabel... Dramatisnya, ia berpikir mungkin saja ia rela menukar pencapaiannya hanya agar dapat bertemu dengan gadis itu, memastikan Isabel baik-baik saja.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.