Setelah bubaran Jumatan, ketika Abriel baru saja hendak membuka mobilnya di halaman sekolahnya, ia dikejutkan oleh tangan hangat merengkuh sikunya.
"El," panggil suara itu. "Kita perlu ngomong."
Abriel berbalik. Maskernya sudah kembali terpasang menutupi sebagian wajahnya.
"Na..." Bahunya merosot. "Kamu kok bisa di sini?"
"Adit nelepon aku tadi, pas aku lagi di kelas. Dia udah nyeritain semuanya. Aku sampe gemetaran dengarnya. Aku teleponin HP kamu dari tadi tapi nggak kamu angkat. SMS sama chat juga nggak dibalas. Gimana aku nggak panik coba?"
Abriel tidak berkata apa-apa. Otaknya sedang buntu membuat alasan tambahan.
"Tadi aku ketemu Adit. Dia bilang lihat kamu di Masjid, jadi aku tungguin di tukang es," sambung Irena. "Kamu nggak apa-apa, El? Coba aku lihat." Gadis itu sudah menurunkan masker Abriel sebelum Abriel mencegahnya. "Ya, ampun. Ini sih parah namanya. Mama Papa kamu udah lihat ini?"
"Masuk dulu yuk, Na. Jangan di sini ngobrolnya." Abriel segera membukakan pintu penumpang agar Irena masuk ke dalam mobilnya. Irena pun menurut. Sekejap, mereka sudah di jalan.
"Sebenarnya ini nggak parah-parah amat, kok," Abriel berusaha meyakinkan.
Irena mendesis. "Ih, gara-gara cowok yang suka sama Febby, kan ini?"
"Emang Adit bilang apa aja sama kamu?"
"Ya, dia bilang semalam kamu sempat ngilang. Tadinya dia ngiranya aku bareng sama kamu. Pas aku bilang aku nggak bareng kamu, dia kayak kaget, langsung diam lama. Kayaknya dia ngira kamu bareng aku. Sekarang aku ngerti kenapa kamu nggak pulang ke rumah. Kamu takut bikin ortu kamu cemas. Eh, emang kamu semalam nginap di mana?"
Abriel menghela napas. "Aku ke Lembang. Sekalian jernihin pikiran."
"Kenapa kamu nggak hubungin aku? Dulu, tangan kamu kejepit tutup rice cooker aja kamu langsung neleponin aku. Kok, sampai kasus separah ini aku tahunya dari teman kamu?"
"Kamu pasti cemas banget kalau sampai tahu," jawab Abriel jujur. "Kita ke mana, nih?" Mobil Abriel sudah sampai di Laswi. Ke arah rumah Irena.
"Sebenernya masih banyak yang mau aku omongin sama kamu. Kita ke Taman Lalu Lintas aja, yuk? Ngadem sebentar. Kayak dulu."
"Oke." Abriel merasa tak punya pilihan. Lebih tepatnya dikendalikan perasaan bersalah.
* * *
Setalah membayar tiket masuk, mereka pun berjalan kaki menyusuri jalan raya mini di taman edukasi tersebut, melewati berbagai rambu lalu lintas yang terpasang apik di sepanjang tepiannya. Irena pun berhenti sejenak, mengamati rambu-rambu di depannya: sederet rambu "dilarang".
"Ingat nggak, setahunan lalu kita makan es potong sambil ngelihatin rambu-rambu ini..." ujar Irena seraya melirik Abriel. "Aku ingat kamu bilang kalau sebagian besar rambu di sini nggak pernah kamu lihat terpasang di jalan. Terutama rambu itu." Irena menunjuk rambu di mana terdapat gambar gerobak yang beri tanda garis yang dimiringkan dan diliringkari dengan warna merah.
Abriel masih ingat hari itu. Irena dan dirinya sedang bertengkar karena sudah dua minggu mereka sulit bertemu karena kesibukan masing-masing. Saat itu Irena mendapat giliran latihan instensif di Jakarta, sedangkan Abriel di Bandung. Seperti dua gergaji beda ukuran yang dihadapkan dan direkatkan bersama, ada kekosongan-kekosongan kecil yang tidak terisi. Kata orang, kangen juga bisa membuat manusia berpikir tidak masuk akal. Saat mereka akhirnya bertemu, kekosongan itu menuntut lebih untuk dipenuhi. Akhirnya pertengkaran itupun tersulut. Rambu-rambu lalu lintas itu saksinya. Bagaimana mereka berdebat, hingga akhirnya bibir-bibir penuntut itu dihabisi dengan es potong yang cair di lidah keduanya. Manis, gurih, rasa khas kacang hijau.
Di pekarangan rumah Irena, setelah ia mengantarnya pulang dengan motor lamanya, akhirnya untuk pertama kalinya napas mereka hanya terpaut satu sentimeter. Ciuman itu singkat, tapi sanggup membuat Abriel terjaga semalaman sambil mesem-mesem sendiri.
Malam itu, Abriel merasa dunianya begitu utuh. Kapan saja ia merasa bisa memecah langit dan menggeser inti bumi. Kira-kira perasaannya sekuat itu. Atau malah segila itu...
Sakarang, tempat ini terasa kehilangan maknanya bagi Abriel. Ia tidak tahu sejak kapan hatinya mulai menghapus bagian-bagian solid dalam setiap bilik kenangannya. Padahal, sejak ia memutuskan melepas Irena dulu, ia sudah mengunci setiap bilik-biliknya dengan hati-hati. Irena bisa saja lepas dari genggamannya, tapi ia memegang kunci ke dalam setiap kenangannya. Dulu, ia berpikir bisa datang untuk mengintip setiap bilik itu kapan saja. Meski menyakiti hatinya, sekalipun ia tidak pernah menyesal untuk datang berkunjung.
"Aku sengaja bawa kamu ke sini, mau ngomongin hubungan kita," lanjut Irena. "Aku ngerasa kayaknya kita harus mikirin semua ini lagi deh. Kamu pasti tahu ada yang nggak beres di hubungan kita ini." Ia menyentuh lebam-lebam di wajah Abriel, mengelusnya ringan, alisnya tertekuk. "Masih sama nggak rasanya kayak dulu? Sedikit pudarkah perasaan itu sekarang? Atau udah menghilangkah aku dari hati kamu..."
Abriel menelan ludah. Kering. "Apa menurut kamu kita ini udah salah ambil keputusan?"
Irena menggeleng. "Aku nggak mikir gitu. Karena buat aku, setiap waktu yang aku abisin bareng kamu, nggak ada yang patut disesalin. Nggak ada yang nggak bermutu. Sesakit apapun, sebikin sedih aku kayak apaan. Aku tetap nggak akan nyesal. Dan aku nggak pengin ngembaliin waktu hanya untuk mengubah keadaan ke depannya. Semuanya indah, El. Bahkan saat kamu natap aku dengan sorotan nggak bermakna seperti sekarang, menurutku ini masih indah."
Abriel meratapi wajah Irena. Mulutnya kelu.
Irena mendongak. Air mata menggenang di matanya. "Aku mau minta tiga hari waktu kamu: buat mikirin sekali lagi tentang hubungan kita. Apapun keputusan kamu nantinya, akan aku terima. Tapi selama tiga hari itu, bisa nggak kamu hanya mikirin aku—nggak ada yang lainnya. Termasuk sama sumber inspirasi kamu?"
Kening Abriel berkedut. Ia paham sekarang. "Kamu udah baca komik aku... dan karena itu kamu ngasih aku waktu untuk berpikir?"
Irena mengangguk. "Itu alasan kedua. Alasan pertama karena memang ada yang salah sama hubungan kita yang sekarang. Komik kamu cuma penguat aja."
"Kamu cemburu sama tokoh dalam komik aku?" Abriel menebak ragu-ragu.
Irena langsung mengangguk lagi, lebih pelan namun sorot matanya lebih kuat. "Iya. Aku memang cemburu sama Mazzy. Karena dia sangat indah, El. Mengerikan sekaligus manakjubkan. Komik kamu luarbiasa keren—bagus banget. Dan itu jelas dibuat dengan hati dan ketulusan kamu yang paling dalam. Tapi aku cemburunya lebih sama Mazzy di dunia nyata. Aku iri sama dia. Kamu pasti mikirin dia sepanjang proses pembuatan komik kamu itu—atau barangkali sepanjang waktu."
Lagi, Abriel tidak tahu harus berkata apa. Perasaannya campur aduk antara tersanjung dan tersudutkan.
"Na..."
"Tiga hari aja, El. Kasih semua waktu kamu buat aku. Mikirin aku. Mikirin semua kebersamaan kita dulu," sela Irena. "Aku mohon."
"Tapi, kita nggak bisa terus hidup dalam masa lalu, Na. Hubungan kita yang sekarang harus berlandaskan harapan ke depan."
"Tiga hari. Cuma tiga hari nggak akan merugikan kamu apa-apa," Irena menegaskan, tampak tidak tergoyahkan. "Habis itu, kamu bisa putuskan kemana arah hubuhan ini. Yang jelas, aku mau selama tiga hari kamu berhenti mikirin sosok lain. Aku janji nggak akan minta apa-apa lagi dari kamu."
"Na... kamu tahu kamu cuma menyakiti diri kamu sendiri dengan ini. Aku yang salah, Na. Seharusnya aku nggak pernah menyetujui ide kamu, permintaan kamu waktu itu. Nyatanya, aku yang sekarang, bukan lagi aku yang dulu. Begitupun dengan kamu. Cara kita berpikir sekarang beda dengan cara berpikir kita di masa lalu," Abriel mengatakan kata-kata itu dengan selembut mungkin.
"El... ini bukan soal aku atau kamu. Ini memang soal rentang yang misahin kita dulu, meski kita berevolusi jadi kita yang lain, kalau perasaan kita sejati, nggak akan ada pengaruhnya. Kita cuma butuh banyak waktu untuk sama-sama lagi sekaligus koreksi diri masing-masing. Setelah kamu kabulin permintaan aku, aku baru bisa yakin itulah perasaan kita yang real. Kita lanjut atau pisah sekali lagi, keputusannya kita sama-sama buat nanti."
"Na, masalahnya sejak kita mulai lagi, hati kamu juga masih ragu. Kamu belum bisa langsung jujur sama Papa kamu. Kamu belum bisa ngasih tahu Andre. Aku ngerti kamu nggak ingin mengecewakan siapapun. Aku ngerti Andre yang ngisi kekosongan kamu selama ini. Tapi kalau cuma itu alasannya, sejak awal kamu yang nggak percaya sama masa depan hubungan kita. Makanya kamu butuh back up. Kamu sama aku, kita berdua sama, Na. Fisik kita mungkin sama-sama, tapi hati kita yang ragu-ragu sering meninggalkan kita. Dan ironisnya, kita tahu kemana jiwa kita itu terbang."
Irena tercenung. Pandangannya mengabur. Ia tidak menyanggah semua ucapan Abriel. "Aku janji bakal bilang ke papaku dan Andre setelah kita buat keputusan nanti. Selama tiga hari yang sama, aku juga bakal hanya mikirin hubungan ini. Mikirin kamu. Jadi bukan hanya kamu yang aku minta waktunya," ujarnya, tampak sepenuh hati. "El, setelah kita sama-sama yakin, nggak ada lagi jalan kembali, nggak ada lagi keragu-raguan setelah ini. Aku janji. Sekarang, gimana kamu. Apa kamu bisa?"
"Kalau ada salah satu dari kita—"
"Kalau sampai salah satu dari kita nggak bersungguh-sungguh, hati kita sendiri adalah wasitnya, hati nurani adalah wasit yang paling jujur. Aku tahu kamu bukan orang yang memandang rendah janji, aku yakin kamu akan menuhin dengan sepenuh hati. Sekalipun nggak ada konsekuensinya," sela Irena. "Lagian, kalaupun kita nggak jujur pada diri sendiri, nggak akan ada yang tahu. Dunia di bawah kita masih akan berotasi, dan langit di atas kita masih terbagi antara terang dan gelap. Hanya aja, perasaan kita yang nggak akan pernah tenang. Aku yakin kamu tahu, perasaan semacam itu, nyiksa banget."
Abriel menghela napas putus asa. "Dan tiga hari tersebut dimulai dari kapan?"
Irena menggenggam jemari Abriel kemudian meletakannya di bawah dagunya. "Sekarang."
* * *
Isabel mengetuk-ngetuk permukaan mejanya dengan tidak sabar. Cowok itu sudah terlambat satu setengah jam. Dengan jengah, ia melirik kantong belanjaan yang tergolek di atas mejanya. Semua perlengkapan untuk menutup lebam di wajah Abriel, sudah dibelinya tadi, dipilihnya dengan cermat, yakin sesuai dengan warna kulit cowok itu. Ia juga sudah menuliskan step by step penggunaannya di bindernya, agar Abriel bisa melakukannya sendiri.
Tapi, ke mana cowok itu sekarang? Mungkinkah ia lupa? Atau ia malah mendengar tempat yang salah sehingga saat ini ia menunggu di tempat lain? Apa ada yang terjadi padanya? Karena menilik sifatnya, Abriel bukanlah orang yang suka melanggar janji.
Sementara ia menunggu, makanan yang sudah lama tersaji itu belum juga disentuhnya: dua buah burger beserta kentangnya sudah dingin, sedangkan dua gelas soda di dekat sikunya sudah hambar berkat es yang mencair. Awalnya, ia hanya akan menunggu sebentar, tapi ia terus yakin bahwa Abriel akan segera datang, hingga ia menunggu jauh dari batas sabarnya, dan akhirnya semua makanan itu terabaikan seutuhnya.
Setengah jam kembali berlalu. Isabel tidak lagi berselera untuk melakukan apapun. Ia hanya ingin duduk, menopangkan dagunya ke telapak tangan. Sementara kini hari sudah menggelap. Dua jam sudah ia menunggu, dan kursi di depannya masih juga kosong.
Akhirnya, ia menyerah. Dengan nelangsa ia mendorong pintu dan berjalan menyusuri trotoar Jalan Braga nan ikonik tersebut, yang malam itu tampak cukup padat berkat sepasang calon pengantin yang melakukan foto pre-wedding di sana, bersama satu tim fotografer.
Isabel meliukkan badannya yang langsing, menghindari sikut fotografer yang sedang mengambil gambar sekaligus memberi arahan pada pria yang membawa lampu neon besar. Namun, gantinya ia malah bertabrakan dengan salah saru kru foto tersebut.
"Sorry." Isabel refleks meminta maaf, namun sebelum ia menghindar dan bergegas, sosok yang sebersit dikenalinya, meraup lengan Isabel.
"Isabel, kan?" ujar cowok bertubuh pendek dan gempal tersebut. "Wah, lama nggak dengar kabar lo. Baik-baik aja lo? Banyak desas-desus yang beredar tentang lo belakangan—"
"Sorry. Kamu salah orang." Kuat, Isabel mengentakkan jemari cowok itu. Dengan jantung berdegup kencang, ia segera menyeberang jalan dan berjalan cepat tanpa menoleh lagi ke belakang.
Isabel akhirnya tidak dapat lagi menahan degup jantung yang memburunya. Tungkainya yang terasa lemas akhirnya meruntuhkannya. Isabel terduduk di pinggir jalan, dipeluknya kedua lututnya. Tertunduk, ia menangis tersedu-sedu. Tak peduli dengan apapun.
Ponsel di tasnya masih terus bergetar. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengangkatnya. Isak tangis dalam suaranya masih terdengar jelas, kali ini ia terlalu lelah untuk menahan diri.
"Bisa nggak jemput saya sekarang?" Isabel akhirnya berkata kepada lawan bicaranya yang sejak tadi memburunya dengan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak digubris Isabel.
Isabel mendengarkan kembali lawan bicaranya berkata.
"Oke. Makasih banyak ya, Dit..." Akhirnya Isabel sedikit bisa bernapas lega.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.