Isabel masih memalingkan wajahnya ke luar jendela, sementara Adit sesekali melirik untuk mengecek keadaannya. Di luar, langit sudah menirukan tinta. Gelap, dingin, pekat. Isabel mulai bertanya-tanya dalam hatinya, apa jadinya jika langit runtuh sekarang juga? Apakah ia akan tenggelam di dalam cairan gelap itu? Karena rasanya itu yang paling masuk akal dan menenangkan. Tenggelam dalam kegelapan dan tidak muncul-muncul lagi.
Dalam kondisi hatinya yang muram, Isabel dapat begitu saja mengingat kembali dengan jelas peristiwa itu. Peristiwa yang membawanya menemui para profesional yang konon dapat membantunya "sembuh". Kejadian yang mengawalinya tidur sambil berteriak. Pengalaman traumatisnya yang memaksanya bersahabat dengan pil-pil penenang.
"Dit, kalau bisa tempatnya yang agak jauhan. Jangan di sekitar sini. Saya masih pengin lihat lampu-lampu, jalan, langit, dan segalanya. Lebih enak buat berpikir."
"Oke."
Manut, Adit pun mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan dari jalanan yang familier baginya. Melewati Laswi, Gatot Subroto, Bypass Soekarno Hatta, Bundaran Cibiru, hingga mereka sampai di pertigaan Cileunyi yang padat berkat antrean angkot yang mengetem sembarangan. Mobil hitam Adit masih terus melaju, memasuki wilayah Jatinangor, Sumedang, hingga akhirnya ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, di depan kafe mungil yang pintunya terbuat dari kaca lebar dengan embos-embos vintage yang klasik.
"Udah cukup jauh?" Adit bertanya pada Isabel sembari mematikan mesin mobilnya..
Isabel mengangguk. Bibirnya tertarik sedikit mengupayakan senyuman. Ia gagal membentuk senyuman utuh
"Kayaknya kalau sejauh ini bisa dikategorikan sebagai penculikan, deh," gumam Isabel.
Mereka pun memasuki kafe mungil itu. Memesan makanan dan minuman, kemudian menunggu dalam keheningan.
"Udah siap cerita?" Adit membuyarkan lamunan isabel.
Isabel tersenyum muram. "Dit, apa yang ada di pikiran kamu sekarang?" Ia malah membalikkan pertanyaan Adit tadi.
Adit mencebik sedikit. Isabel sama sekali tidak bertanya mengenai keadaannya. Padahal ia yakin, kafe nan terang benderang ini mengekspos lebam di wajahnya.
"Aku lagi bertanya-tanya aja, kenapa kamu nggak penasaran sama bentukan wajah aku yang kayak gini." Adit menunjuk lebam di wajahnya.
Isabel mengangkat alisnya. "Emang aneh kalau anak bandel kayak kamu punya lebam di wajah?"
"Hmm. Nggak, sih." Ia tergelak, malu.
Isabel mengangguk, tampak sedikit puas. "Kenapa kamu bawa saya ke Jatinangor?"
"Kamu tahu tempat ini?"
Isabel mengangguk. "Siapa yang nggak tahu Jatinangor? Ada lebih dari empat perguruan tinggi terkenal di kecamatan sekecil ini. Keren, ya?"
Adit mengangguk setuju. "Penyebab yang bikin kamu tadi nangis... apa kamu berrantem sama... pacar kamu?"
Saat itulah pramuniaganya mengantarkan pesanan mereka. Isabel langsung mencomot kentang gorengnya dan melahapnya.
"Saya nggak punya pacar," akhirnya Isabel menjawab. "Kamu dulu juga pernah nanya, kan."
"Kalau gitu, kamu kenapa?" tanya Adit lebih berani setelah hal yang paling ia takutkan nyatanya bukan penyebabnya.
Isabel berhenti mengunyah. Gantinya ia menatap Adit lekat-lekat. "Kamu punya astma atau epilepsi nggak?"
Adit sontak menggeleng. "Mm... enggak."
"Oke, good." Isabel tampak berpikir sejenak. Matanya terlihat berkilauan. "Dit, pertama-tama, sebelum saya bohongin kamu terlalu jauh, saya mau ngasih tahu kamu satu hal penting. Nama saya sebenarnya bukan Audrey. Tapi, Isabel. Dan saya ini, cewek bayaran."
Untuk sesaat, Adit merasa ruhnya meninggalkan tubuhnya. "What?"
Isabel mengetuk-ngetuk piringnya dengan kentang gorengnya. "Yap."
Adit meneguk ludahnya. "Kamu serius?"
Isabel mengangguk sambil menjilat bibirnya yang asin karena bumbu kentang. "Yap," katanya lagi.
"Terus... kenapa kamu ngasih tahu sama aku sekarang?" Penolakan jelas terdengar dalam suara Adit. Tapi ia masih bisa mengendalikan dirinya karena sebagian otaknya masih memroses kenyataan yang baru didengarnya.
"Sebelum kamu masuk lebih jauh ke gerbang hidup saya, rasanya saya harus jujur dulu sama kamu."
"Itu nggak menjelaskan apa-apa... Tunggu, eh, kamu becanda kan, Drey?"
Isabel menghela napas sambil menyesap chocolate mint-nya. "Audrey itu saya ambil dari nama bintang Hollywood kesukaan saya. Audrey Hepburn. Dit, selain Audrey saya masih punya nama-nama lain yang saya ambil semua dari karakter yang dimainkan Hepburn: Sabrina, Holly, Ann dan lain-lain."
Adit bisa merasakan bahwa rahangnya mengertak.
"Saya mau jalan sama kamu supaya punya alasan untuk datang ke gedung futsal, nongkrong di sana, tanpa terlihat aneh," sambung Isabel.
Jantung Adit tersentak. "Hah? But, why?"
"Saya mau dengar ocehan kamu selama berjam-jam supaya kamu nggak curiga kalau saya punya motif tersembunyi."
Kepala Adit terasa pengar. Ia memundurkan kursinya, kemudian menekan bagian belakang kepalanya di sandaran kepala di kursinya. "Nggak ngerti. Emangnya kenapa sama lapangan futsal? Nggak nyambung!"
Isabel tidak berekasi apa-apa layaknya patung. "Itu yang mau saya ungkapin sama kamu," ujarnya dengan nada sambil lalu. Ia kembali mengunyah makanannya. "Tapi kalau kamu masih pengin dengar kelanjutannya, kamu jangan dulu banyak nanya. Bisa?"
"Terserah." Kursi Adit berderit mundur seinci lagi.
"Dit, awalnya saya emang cuma manfaatin kamu doang. Tapi setelah saya lihat apa yang udah kamu lakuin buat saya, saya ngerasa bersalah udah bohongin kamu terus. Malam ini, untuk pertama kalinya saya bakal berterus terang tentang segalanya sama seseorang. Saya baru bisa mulai cerita setelah kamu siap dengerin saya."
Adit membuang napas lagi. "Mulai jelasin. Dimulai dari kenapa kamu bilang kamu itu cewek bayaran."
* * *
Abriel terduduk di kursi ruang teve, pandangannya lurus ke bawah, menatap karpet turki yang dibeli mamanya saat usianya masih lima tahun. Sementara papanya duduk tak jauh darinya, wajahnya kusut dan marah. Berkat perjanjiannya dengan Irena, Abriel pulang tanpa rencana dan persiapan matang. Saat ia pulang tadi, mamanya sedang di halaman, memindahkan pot tanaman Monstera ke pot dari keramiknya yang baru. Mamanya panik mendapati rupa Abriel yang babak-belur. Tanaman itu resmi ditinggalkan, dan sekejap Abriel sudah dalam dekapannya.
Abriel mengungkapkan kepada kedua orangtuanya bahwa orang tak dikenalah yang menghajarnya, saat ia berusaha melerai pertikaian di jalan.
"Ya, tapi, harusnya kamu pulang, bukannya malah ngeluyur semalaman, bolos sekolah lagi. Bohong sama orangtua kamu," geram papanya. Sementara mamanya sedang menyiapkan es batu di dapur untuk mengompres Abriel. Sesuatu yang sebetulnya tidak lagi diperlukan. "Yang nonjokin itu, kamu ingat wajahnya?"
"Nggak, Pa." Abriel tidak menatap papanya.
"Kalau kejadiannya kayak begitu. Harusnya kamu telepon Papa. Kayak preman yang nggak punya keluarga, ada masalah malah minggat. Sudah izin kamu sama sekolah? Bilang apa kamu?"
"Bilang sakit, Pa. Semalam El ke klinik, dapat surat izin sakit. Senin El kasihkan ke guru El," karang Abriel. Seisi sekolahnya sudah tahu apa yang sebetulnya terjadi.
Mamanya datang sebelum papanya menginterogasinya lebih jauh. "Sini, Nak, biar Mama kompres."
Abriel pun membiarkan mamanya mengompres lebam-lebam di wajahnya sementara ia merebahkan diri di pangkuan mamanya.
Ponsel papanya berbunyi. Setelah berbicara sebentar dan menutupnya, papanya pun pergi ke ruang kerjanya untuk memeriksa sesuatu. Saat itu digunakan Abriel untuk minta izin kepada mamanya untuk beristirahat di kamarnya.
Namun, di kamarnya justru Abriel merasa suasana hatinya semakin memburuk. Bahkan hatinya sendiri mulai kehilangan kata-kata. Resah, gelisah dan jengah. Yang ia inginkan saat ini hanyalah bertemu Isabel. Masalahnya... itu artinya ia melanggar janjinya pada Irena. Ia tidak perlu pengkhianatan tambahan pada gadis itu. Irena hanya meminta sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan sejak mereka memutuskan untuk mencoba kembali. Abriel sadar 99,99%, bahwa Irena pantas mendapatkan itu.
Hanya tiga hari.
Meskipun Abriel yakin dan tahu hatinya tidak akan pernah berubah dalam tiga hari ke depan, ia tidak berniat melanggar janjinya pada Irena.
Sanggupkah ia bertahan selama enam puluh enam jam yang tersisa?
Hatinya mengatakan tidak. Tapi otaknya memaksanya untuk bertahan.
Isabel, di mana kamu saat ini? Atau hanya jalan di depan sana pembatas antara kamu dan aku?
Abriel menghela napas pilu, dengan ironis ia kemudian mengeluarkan buku proyeknya, menggelarnya di atas mejanya. Chapter selanjutnya sedang dimulai.
* * *
Isabel berdiri di depan jendela kamar hotelnya yang luas dan langsung menghadap ke hamparan hutan. Kedua tangannya bersedekap erat seperti gerakan perlindungan yang amat defensif. Rambut sebahunya tampak memanjang dalam sekejap karena basah. Malam itu ia memutuskan untuk menginap di hotel yang ada di daerah Cimbuleuit, untuk menyendiri, untuk menekuri isi kepalanya.
Dalam diamnya, perlahan Isabel mencoba membuka kembali kenangan lamanya. Sedikit demi sedikit membuka celah kelam itu. Saat enam pasang mata gelap menatapnya di ruangan persegi itu, saat napas-napas panas terasa memburunya. Ia bahkan ingat betul letak setiap lembar robekan kain organza dan brokat yang bertebaran di lantai dingin dan lembap setelahnya. Sementara gaunnya sudah compang-camping dan tak berbentuk, di kakinya ia hanya mengenakan sebelah sepatunya, terpojok dan meringkuk.
Nessa yang paling jahat. Dengan beringas gadis itu menarik gelungan rambutnya sementara tiga gadis lain menatapnya dengan geli dan puas. Isabel juga ingat, ada dua orang laki-laki mengarahkan kamera padanya. Entah berapa banyak foto atau video yang mereka dapatkan malam itu, Isabel hanya ingat retakan-retakan di bibir mereka, senyum orang-orang itu.
Isabel mendadak meringis. Ia merasa tidak sanggup meneruskan kenangan itu. Rasa-rasanya hatinya memuncratkan darah. Sudah semampunya ia melupakan peristiwa itu, memblokir setiap ingatan, tapi mengapa ia harus bertemu dengan salah satunya tadi?
Seharusnya, ia memang tidak pernah datang ke acara prom itu. Tapi ibunya sudah menyiapkan gaun untuknya. Dan lagi, sejatinya awalnya ia menganggap acara itu sebagai malam perpisahan, untuknya, untuk sekolahnya, dan untuk masa-masa SMA-nya yang kelam. Jadi, ia memaksakan dirinya menjadi bagian dari kemeriahan itu meski ia tahu hatinya menolak.
Seharusnya ia mengikuti firasatnya. Seharusnya ia bertanya-tanya mengapa Nessa dan teman-temannya mendadak baik padanya di saat-saat terakhir.
Selama di sekolah, mereka tidak pernah memperlakukannya dengan baik dan manusiawi—seperti kakak-kakak kelasnya dulu padanya yang membencinya hanya karena dari segi fisik Isabel termasuk golongan yang mencolok. Hanya karena orang-orang yang mereka sukai pernah menyatakan cinta pada Isabel, lalu Isabel dicap sebagai perempuan murahan penebar pesona? Padahal, tak sekali pun Isabel pernah menatap cowok-cowok itu, atau menyapa lebih dulu. Ia dulu gadis yang sangat naif, tertutup dan kikuk. Cinta belum masuk dalam kamusnya.
Seperti kotoran, selama SMA, hampir seluruh teman-teman perempuannya menjauhinya—Nessa menyebarkan isu yang tidak-tidak sejak mereka duduk di kelas sepuluh, setelah Putra, cowok yang diincarnya menyatakan cinta pada Isabel di depan kelas.
Ajaibnya, makin lama, bukannya berangsur mereda, isu-isu itu semakin berkembang dan semakin tak masuk logika: Isabel cewek murahan, perempuan gatal dan gampangan, kadang ia juga mengencani om-om kaya—ada yg pernah melihatnya bermesraan di mobil, uang sakunya didapatnya dari menemani pria hidung belang di tempat karoke plus-plus, Isabel doyan clubbing dan minum-minum hingga ia tak sadarkan diri dan bangun di tempat yang tidak diketahuinya, Isabel mengidap penyakit kelamin menular dan sebagainya, dan sebagainya...
Omong kosong itu berkembang cepat hingga memenuhi pojok-pojok sekolahnya, diaplikasikan dengan liar ke tembok-tembok bisu. Coretan-coretan nakal nan kejam yang tidak akan disangka bisa keluar dari kepala anak-anak SMA itu hingga kini masih tertuang di banyak permukaan dinding. Layaknya karya seni dari neraka jahanam, setiap goresan itu menyulut api kebencian.
Isabel sudah membaca hampir seluruhnya. Lidah-lidah keji itu mengubah kebohongan sekecil semut menjadi kisah sepanjang DNA manusia yang dibentangkan.
Buruknya, tak sekali pun Isabel mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan kepada semua orang atau memberikan kesan sebaliknya. Semua orang seolah menutup mata padanya, memilih memercayai semua isapan jempol sialan itu. Bagai parasit ganas Isabel selalu diabaikan, ditinggalkan bahkan ditakuti orang-orang. Hanya satu yang membuatnya bertahan dan sanggup melewati semuanya: bayangan kelak ia akan meneruskan hidupnya di New York, entah itu berkuliah jika ia diterima di salah satu universitas di sana atau magang di kantor majalah milik suami teman Mummy-nya. Yang jelas, ia ingin berangkat ke New York City setelah semua yang dilaluinya selama tiga tahun terakhir di sekolah itu.
Isabel sangat ingin mengecap tanah dan udara Manhattan yang penuh-sesak dengan berbagai impian dan harapan, atau sekadar melihat sepatak langit di sana, tak memikirkan apapun. Dulu, bayangan itu saja sudah membuatnya bahagia dan bersemangat.
Isabel tak pernah memiliki cita-cita dan mimpi. Sejak dulu keinginannya hanya menjadi orang yang berharga. Sesederhana dan sesimpel itu harapannya. Lalu, datanglah hari itu, hari di mana mereka menghancurkan Isabel, mencabik-cabik harapan dan mimpinya menjadi orang yang berharga.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.