"Dit, sadar, woi!" Keras, Abriel mengguncang bahu Adit yang sedang membenamkan kepalanya di atas kedua tangannya. Sejak Abriel tiba di kelas pagi itu, Adit sudah seperti itu. Sudah enam kali Abriel memanggil Adit, tapi cowok berbadan besar itu tidak juga menyahut.
Akhirnya Adit mau mengangkat wajahnya. "Gue bikin kesalahan fatal, El, sama Audrey."
"Audrey? Bukannya tiga hari yang lalu lo baru jadian sama Andine?"
"Gue jadian sama Andine karena gue nggak dapat aja kejelasan sama Audrey. Andaikan semalam Audrey mau nerima gue, gue pasti bakal jujur ke Andine. Kita putus gitu." Adit pun lalu melanjutkan menceritakan pada Abriel akar mula kegelisahannya. "Abis itu, jelas Audrey marah. Sampai sekarang dia nggak angkat telepon gue. Menurut lo gue harus gimana?"
"Kampret emang lo. Auk ah, gue nggak tahu mesti bilang gimana."
Adit menggosok-gosok wajahnya dengan frustasi.
"Beresin urusan lo satu-satu," ujar Abriel berusaha bersikap lebih netral. "Kalau gitu, pertama-tama lo jujur dulu sama Andine."
Adit tampak berpikir sejenak. "El, gue nggak bisa menjelaskan ke lo gimana perasaan gue bisa terasa senyata itu semalam. Gue yakin gue udah jatuh cinta sama Audrey. Dan ajaibnya rasanya nggak enak banget. Mungkin karena gue ngerasa perasaan gue itu sepihak. Gue bahkan belum tidur sejak semalam karena mikirin ini."
"Kelihatan, kok. Tuh, muka lo bentuknya aja hati."
"Gue nggak becanda, Nyet."
"Lagian siapa juga yang becanda?" tukas Abriel meskipun tetap membiarkan Adit menemukan cengiran gelinya.
Adit kembali menarik napas panjang. "Gue jahat banget, bener kata lo. Semua cewek yang gue dekatin pasti bisa merasakan itu. Komitmen membuat gue nggak nyaman. Apa gue akan ngerasain kayak gitu kalau yang gue dapat itu Audrey? Sampai kapan Audrey ngediemin gue, ya?"
"Ciuman itu sakral, Dit. Setidaknya buat gue itu memberikan ikatan. Bayangin aja, dalam sepersekian detik kalian berbagi napas, udara... gue pun bakal segila lo kalau gue ngalamin itu," renung Abriel. "Tapi mungkin memang bagi lo ciuman itu nggak sesakral kayak gue. Lo clubbing pun bisa dapetin bibir cewek mana aja. Tapi, Dit, please deh. Untuk orang yang benar-benar lo sayang, lo harus menghargai pilihan dia juga, perasaan dia. Kalau dia nggak menginginkan itu dari lo, lo nggak boleh maksain kehendak lo. Audrey pantas marah sama lo. Dan lo pantas banget buat dapetin maaf dari dia gimanapun caranya."
Adit mengangguk, meresapi ucapan sahabatnya.
"Gue jadi penasaran, kayak apa sih tampang si Audrey ini. Yang bisa bikin anak gorila gue sampai kayak gini. Aneh," seloroh Abriel.
"Sama halnya gue yang penasaran sama Angsa lo. Yang bikin lo seancur ini..." timpal Adit cepat.
Abriel berdecak mendengar balasan dari ucapannya ke Adit.
"Dit, Angsa gue udah gue lepas. Lihat gue sekarang, lebih plong, kan? Itu karena gue berani ambil keputusan."
"Seriusan? Akhir-akhir ini lo rada tertutup, gue jadi nggak tahu perkembangan percintaan lo sekarang kayak gimana."
Abriel terkekeh pelan. Kalau ia harus menceritakan semuanya pada Adit sekarang, rasa-rasanya ia belum sanggup.
"Gitulah. Jalan kita nggak ada yang tahu. Intinya, kalau semuanya soal waktu, pemenangnya pasti batu. Gue nggak punya kesabaran untuk menunggu terus-terusan seperti itu. Nggak bareng-bareng dia itu bikin gue diujung tanduk. Kapan aja gue bisa mati tertusuk. Bahkan kalau gue terbuat dari batu, sekejap aja gue bakalan retak. Gue sepertinya memang bukan batu yang tepat buat dia."
"Yaaah. Selesai dong cinta-cintaan lo sama si Angsa ini," komentar Adit sambil menghela napas, seolah dirinya ikut terluka mendengar kenyataan pahit dari mulut sahabatnya itu.
"Tapi, Irena balik. Sepertinya gue bakalan nyoba membuka hati gue lagi."
Kening Adit sontak berkerut. "Widih. Yang ini nih yang bahaya! Cinta lama yang belum kelar. Terus gimana sama bapaknya dia tuh yang ribet? Eh, bukannya doi sekarang jalan sama siapa tuh..."
"Itu dia, kita masih coba cari jalan keluarnya," ujar Abriel, suaranya mendadak melamun, tak yakin atau terlalu malas memikirkan lebih jauh. "Baru semalam gue sama Irena ngomongin semuanya. Kita bakal coba pelan-pelan. Nggak yakin ending-nya gimana, tapi gue punya perasaan hubungan ini patut diteruskan... yang jelas kita berdua pengin jalanin semuanya rileks dan mengalir aja kayak air. Nggak ada yang dipaksakan. Nggak ada yang boleh sakit hati."
Namun sebelum Adit akan menanggapi lagi, bel masuk kelas berbunyi. Saking seriusnya mereka mengobrol, mereka berdua tidak menyadari kalau semua bangku kelas sudah terisi. Dan setiap murid tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di buku tugas mereka. Itu bukanlah pemandangan lumrah andai saja mereka menyadari lebih awal.
Tomi membalikkan badan kepada kedua temannya yang barusan itu bak terkurung di dalam gelas kaca raksasa, tidak terpengaruh dengan hiruk-pikuk di kelas mereka.
"Ceweeeek mulu yang dipikirin—Audrey-lah, Angsa-lah. Lieur urang. Udah beres belum tugas Biologi Pak Irawan? Muncrut aja kalau belum ngerjain, soalnya nilainya sama dengan tugas besar."
Baik Abriel maupun Adit otomatis saling berpandangan. Bulu kuduk Adit sontak meremang membayangkan ekspresi guru killer mereka jika tahu dua murid yang suka bikin ulah, sama sekali belum mengerjakan tugasnya.
"Mampuuus," pekik Adit buru-buru mengeluarkan buku tugasnya.
Abriel menghela napas panjang dan dalam, dikeluarkannya buku tugasnya. Namun, serta-merta ia terperangah, takjub sendiri karena nyatanya ia sudah mengerjakan buku tugas itu hingga halaman terakhir, lengkap dengan beberapa potong guntingan photocopy-an sumber data yang ia gunakan.
"Nyet, ada untungnya juga kemarinan gue jadi zombi. Nyatanya gue udah ngerjain sampai dengan halaman terakhir. Bukan cuma Biologi seingat gue..."
"Anjrit," itulah umpatan Adit sebelum dengan gabut dan tergesa-gesa mengerjakan tugasnya.
Sekali lagi Abriel mengernyit takjub, memandangi tugasnya yang dikerjakan dengan begitu sempurna untuk standarnya sendiri. "Gue bener-bener pernah segila ini ternyata. Sekali-sekali bolehlah hati gue dibikin babak-belur..."
"Sini dong pinjam, gue nyontek," sela Adit sembari membuka halaman depan tugas Abriel, mengerucutkan bibirnya dengan serius ketika memindahkan jawaban ke buku miliknya.
Waktu luang itu pun kemudian digunakan Abriel untuk membalas chat yang masuk dari Irena. Dan untuk sementara baik Audrey maupun Angsa terlupakan dari pikiran cowok-cowok itu.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.