Abriel merasa lapangan itu seperti kandang, memerangkapnya, memaksanya melihat proyeksi alam bawah sadarnya. Ia baru ingat kalau ia kurang tidur, dan menyadari ada kemungkinan bahwa itulah sebabnya ia melihat yang tidak-tidak. Ia bertanya-tanya sendiri, entah dari mana ia punya energi untuk berolahraga?
Dalam perjalanan menuju ke rumah, hari sudah satu tahap lebih gelap. Kekhawatiran yang dirasakannya mengenai orangtuanya di rumah mendadak sirna. Ia tidak lagi cemas orangtuanya akan mencecarnya dengan nasihat semalan nonstop lantaran perbuatannya hari ini, atau bahkan lebih buruk, orangtuanya tidak mau bicara padanya. Masalahnya, yang ia inginkan sekarang hanya satu: bertemu dengan gadis itu.
Mobilnya berhenti di depan rumahnya, pintu depan rumahnya tertutup dan lampu penerangan keluar sudah dihidupkan. Tapi pandangannya malah diedarkan ke rumah tetangganya, seakan menunggu pertanda. Jika ia melihat jendela di lantai dua terbuka, ia yakin akan merasa lega. Tapi tidak sesuai harapannya, lampu kamar Isabel mati dan jendela itu tampak menutup rapat. Dari pembicaraan di taksi kemarin, Abriel tahu di sanalah letak kamar Isabel.
Bunyi ketukan jendela mobilnya yang nyaris tidak disadarinya, membuatnya terkejut. Mamanya sudah berdiri di luar mobilnya, jelas betul kebekuan pada ekspresi wajahnya.
Abriel membuka pintu mobilnya, sudah bersiap akan ledakan kemarahan mamanya.
"El, kamu ke mana aja, sih? Mama cemas banget. Mama sama Papa udah mau berangkat nyariin kamu. Mama takut kamu kena masalah lagi."
"Nggak kenapa-kenapa kok, Ma. Cuma ada perlu aja barusan."
Giliran papanya muncul di beranda, pakaiannya rapi, jaket andalannya untuk keluar malam sudah dikenakannya. Abriel merasakan firasat yang lebih buruk. "
Abriel lalu membuntuti mamanya dengan berjalan lambat dan terhuyung-huyung. Di ruang teve, papanya sudah menunggu mereka. Abriel menarik kursi makan dan duduk berjauhan dari orangtuanya. Suara teve diturunkan hingga sunyi senyap. Tapi gambarnya masih bergerak-gerak menayangkan berita kerusuhan di Eropa.
"Dari mana aja kamu?" Papanya bertanya, suaranya tak terbaca.
Abriel menghela napas. "El tahu apa yang Mama dan Papa rencanakan. Papa sama Mama dateng ke lapangan kan kemarin, ketemu sama pelatih-pelatih El?"
Kilat berkelebat di mata cokelat papanya. "Tahu, nggak? Udah bagus kamu bisa masuk tempat favorit lewat jalur khusus, banyak yang akan bantu kamu. Prestasi kamu udah cukup. Punya empat gelar MVP, pakai acara keluar segala. Padahal kamu lulus tinggal beberapa bulan lagi, Abriel."
"El," dengan nada yang lebih lembut mamanya menyela, "kamu benar, barusan Wawan datang ke sini, bukan kita yang minta. Semua orang di klub kamu itu kehilangan kamu, tangan mereka masih terbuka kalau kamu mau balik ke lapangan."
"El juga kangen dan kehilangan mereka. Tapi, ada sesuatu yang lebih El pengin lakuin Ma, Pa. El pengin serius bikin komik, gambar dan buat cerita. Ide-ide di kepala El mengalir terus, dan ini nggak bisa dibendung lagi."
Kali ini papanya yang mendengus, kasar dan kentara. "Sejak dulu Papa nggak pernah ngelarang kamu buat komik, main sama temen-temen kamu, pacaran—gonta-ganti cewek, bahkan main game. Kamu nggak mau ikut les privat, Papa juga nggak maksa. Papa cuma mau kamu sadar bahwa nggak semua orang dapat kesempatan emas untuk masuk kuliah lewat jalur khusus. Kamu itu seperti buang-buang permata ke jalanan supaya diambil orang, padahal kamu sendiri itu miskin."
"Gini lho, El," mamanya berusaha meredakan atmosfer panas di ruangan tersebut. "Mama sama Papa cuma pengin kamu renungin sebentar lagi. Apa bener kamu nggak mau kuliah di fakultas yang seriusan dikit—"
"Ma," Abriel memotong ucapan mamanya dengan tajam. "Memang kalau masuk ke fakultas itu El belum menjamin kalau El bisa jadi... katakanlah seorang artist, tapi di sana El bisa memuntahkan ide-ide yang ada di kepala El dulu. Banyak tugas yang akan membuat El jadi lebih kreatif dan membuka mata El. Lagian, membuat komik jaman dulu dan sekarang itu beda, jaman sekarang kita juga perlu menguasai teknologi. Makanya El mau belajar di tempat yang El mau."
"Kalau mau jadi komikus doang Papa rasa nggak perlu pakai kuliah segala. Anak lulusan TK juga bisa bikin komik," kata papanya sambil menatap ke layar teve.
"Maksud Papa, El suruh berhenti sekolah gitu? Karena El penginnya bikin komik? Ternyata ya, Papa yang El kira punya pemikiran yang luas dan panjang bisa tiba-tiba nggak cerdas karena pengin puas adu argumen sama anaknya sendiri."
"Jalan keluar belum ketemu, Pa," mamanya meletakkan tangan di lutut papanya. "Lihat, El pucat gitu. Biarin dia bersih-bersih dan istirahat ke kamarnya dulu. Udah makan belum kamu?"
Abriel menggeleng. "Begitu Mama sama Papa bilang El boleh lanjutin kuliah di tempat yang El mau, El bakal kejar semua ketertinggalan El selama ini. Apapun syaratnya bakal El penuhi," ia memilih melanjutkan.
Papanya melirik mamanya. Meskipun mamanya tidak melihatnya.
"Gimana, Pa?" tuntut Abriel. "Bisa Papa dan Mama ikhlas kalau El kuliah di fakultas yang El yakini?"
Papanya masih tidak menjawab. Kini balik mamanya yang melirik papanya, menunggu suaminya itu memutuskan.
"Oke," akhirnya papanya bicara. "Kamu boleh kuliah di FSRD, jadi tukang gambar, komikus, ilustrator—terserah. Asalkan, nilai ujian kamu nanti paling gede seangkatan kamu. Kamu kalahkan semuanya. Bisa?"
"Dan itu tujuannya untuk membuktikan apa ya, Pa?"
Papanya tersenyum samar. "Kalau kamu bertanggungjawab sama pilihan kamu."
"Gimana kalau komik El duluan terbit dibanding ujian nasional nanti? Apa itu juga bukan bukti kalau El bertanggungjawab sama pilihan El?"
Tatapan papanya ke arah Abriel perlahan melunak. "Setahu Papa nerbitin buku itu nggak gampang. Prosesnya panjang... Baik, Papa kasih kelonggaran sama kamu. Buktikan keduanya, nilai kamu bagus dan proyek komik kamu kelar beriringan. Setidaknya, buat nilai, nggak ada nilai mutu di bawah rata-rata kelaslah. Papa sudah sangat bermurah hati karena melihat kegigihan kamu mempertahankan apa yang kamu yakini."
Binar di mata Abriel tidak dapat disembunyikannya lebih lama lagi. "El janji, nggak akan kecewain Papa. Mulai hari ini El bakal berusaha seimbangin sekolah sama proyek El."
Mamanya menghambur untuk memeluk Abriel. Dikecupnya ubun-ubun anaknya itu dengan lembut.
"Dan kalau bisa nggak usah pacar-pacaran dululah. Yang Papa lihat, hubungan cinta-cintaan kamu cuma bikin kamu sengsara, nggak semangat ngapa-ngapain. Sekarang kamu tahan dulu yang kayak begitu," imbuh papanya seraya melepas jaketnya dan menyibakannya di lengan sofa.
Namun sebelum Abriel menjawab apa-apa, pintu rumahnya diketuk. Mamanya yang bergegas untuk membukanya.
"Malam. Abriel ada, Tante?" ujar suara itu. Suara yang dikenal Abriel dan melekat di kepalanya.
"Malam... Ini siapa, ya?" tanya mamanya kepada tamu itu.
Lewat celah pintu tempat berdiri mamanya, dengan gesit gadis itu mengintip ke dalam.
"Hai, Pangeran Tampan dari Negeri Fashionista," sapanya pada Abriel yang masih terpaku di tempatnya. "Boleh ngomong sebentar aja?"
* * *
Atas izin kedua orangtuanya, Abriel menemui Isabel di ruang tamu. Abriel melihat dengan sengaja papanya duduk di ruang teve dengan posisi menyerong agar bisa menguping, sementara mamanya yang tak terlalu ambil pusing memilih memeriksa pekerjaan rumah Jensen yang sudah terkantuk-kantuk di meja belajarnya.
"Kamu lagi diomelin, ya?" simpul Isabel begitu Abriel duduk di sebelahnya.
"Gitu, deh," jawabnya sembari mengangkat bahu. Abriel merasa senang dan lega bertemu dengan Isabel, tapi tidak dengan keadaan di rumahnya yang masih terasa ganjil berkat perdebatan tadi. Ia sangat ingin mengajak Isabel pergi keluar, agar mereka bebas bicara. Tapi ia khawatir hal itu akan mempermalukan dirinya bila tiba-tiba papanya melarangnya dengan sejuta komat-kamit.
Isabel yang tampak menyadari sikap Abriel yang berbeda segera memulai mengutarakan maksud kedatangannya ke sana.
"Saya barusan datang ke tempat futsal," tanpa basa-basi, Isabel berkata. "Saya lihat kamu di sana. Dan kamu lihat saya."
Abriel kontan tercekat. "Jadi yang tadi itu beneran kamu?"
Isabel mengangguk. "Lagi-lagi kita terlibat di dalam kebetulan yang aneh."
"Terus, ngapain kamu di sana tadi? Aku lihat kamu... nangis."
Isabel menghela napas. "Saya nggak bisa cerita. Seenggaknya ini belum saatnya."
"Aku ngiranya cuma berfatamorgana, kurang tidur, ngelihat hantu..."
"Kamu belum tidur, ya?" decak Isabel melihat tampang Abriel yang tampak seperti kain lecek.
Abriel hanya nyengir, matanya yang cekung tidak bisa membohongi siapa-siapa. "Lagi ada sesuatu yang aku kerjain, tidur cuma jadi penghambat aja. Tapi nanti malam aku udah rencana mau tidur. Kalau aku mati kecapekan, malah akan jadi hantu penasaran karena ingat urusannya belum kelar."
"Ngerjain komik?" ujar Isabel, dan serta-merta pertanyaan itu membuat hati Abriel terasa lebih baik. Ia tiba-tiba teringat komiknya yang kini mempunyai tujuan yang jauh lebih cerah.
"Iya. Kamu tahu dari mana?" Abriel merasa tidak pernah membicarakan mengenai proyek komiknya dengan Isabel.
"Saya kan pegang kertas isian biodata kamu. Cukup lengkap. Kecuali satu."
Abriel paham apa yang dimaksud Isabel. Ia tidak meminta nomor HP-nya di kertas itu.
"Saya ngerasa nggak butuh nomor HP kamu soalnya rumah kita seberang-seberangan," aku Isabel sambil menghirup segelas teh manis yang disajikan si Mbak tadi. "Saya bakal buktiin kalau saya nggak perlu nomor HP kamu, tapi bisa tetep komunikasi sama kamu. Orang jaman dulu juga nggak pakai HP tetap bisa ngapa-ngapain."
"Kalau gitu apa?"
Isabel tampak berpikir sebentar. "Sebenarnya ada yang mau saya omongin sama kamu. Makanya saya sampai repot-repot ke sini segala, nggak nunggu besok."
Abriel memicingkan matanya sedikit. "Soal apa, ya?"
"Saya cuma pengin tahu apa kamu punya perasaan sama saya apa enggak?" ujar Isabel dengan lancar.
Mata Abriel terbelalak, tidak menduga akan mendengar ucapan seaneh dan selugas itu. "Kamu datang ke sini buat nanya itu?"
Isabel menatap Abriel sungguh-sungguh, matanya terlihat sedikit sendu. "Saya mau kita pacaran."
Abriel tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Jadi, ia menarik tangan Isabel dan membawanya ke depan rumahnya. Papanya sempat melirik, tapi tampaknya tidak ingin mempermasalahkan karena si Mbak baru saja menyajikan nanas goreng kesukaannya di meja.
"Kayaknya kamu nggak tahu konsep pacaran itu apa, ya," Abriel akhirnya menyimpulkan. Kakinya terasa bergetar. Entah karena terkejut atau lapar. Di sana, ia juga baru menyadari kalau Isabel mengenakan sepatu dengan pasangan yang tidak sama. Sebelah kanan adalah keds putih, dan sebelah kirinya adalah keds biru dengan motif bintang.
"Nggak usah bahas konsep-konsepan. Jadi, jawaban kamu apa?"
"Isabel," ucapnya dengan halus sambil menatap Isabel lembut, "masalah kayak gini tuh nggak segampang itu. Ada fase-fase yang harus dilalui seseorang untuk sampai ke keyakinan itu. Menyatakan perasaan itu beda sama pergi beli baju yang bisa dicoba-coba di tempat."
Isabel sempat mengalihkan pandangannya ke lampu sebelum kembali menatap Abriel. "Sebetulnya saya belum pernah pacaran."
Abriel tahu, Isabel itu rumit dan istimewa, tapi ia tidak pernah tahu kalau gadis itu begitu polos di saat bersamaan. Atau... Isabel berbohong? Mana mungkin gadis secantik dirinya tidak pernah punya pacar... terus, siapa cowok-cowok keren yang mengantar-jemputnya selama ini?
"Tapi, kamu jelas tertarik sama saya: pupil kamu melebar setiap mandangin saya, di taksi kamu selalu mencondongkan badan kamu ke saya, kamu juga hampir selalu excited sama apapun yang saya omongin," tambah Isabel.
"Dan dari situ kamu simpulin aku suka sama kamu?"
Isabel mulai kelihatan ragu. "Saya sedikit bisa baca gestur kamu." Ia mengangkat bahu.
"Gini, seharusnya kalaupun nantinya kita jadian, seenggaknya biarin aku lakuin pendekatan dulu sama kamu, biar kamu bisa menimang-nimang apa aku ini layak jadi pacar kamu atau nggak."
Isabel mengerucutkan bibirnya. "Kenapa harus ribet kalau bisa dipermudah, sih?"
"Karena seharusnya kayak gitu."
"Kata siapa?" Isabel mendesak.
"Kata mayoritas orang di dunia ini."
"Kenapa harus jadi orang yang mengikuti apa yang sudah ditentukan? Bukannya pacaran itu kita sendiri yang jalanin?"
Suara lolongan anjing di kejauhan terdengar sayup-sayup. Isabel dan Abriel sempat beradu pandang sebelum Abriel mengalihkan tatapan lebih dulu.
"Kamu itu perempuan, Isabel. Harusnya kamu bisa menunggu," Abriel mengatakannya dengan perlahan, agar Isabel bisa memaknainya dengan benar. Tapi wajah Isabel masih saja datar.
"Terus kalau saya perempuan, saya nggak boleh pilih siapa yang mau saya jadiin pacar? Siapa yang buat aturan menjengkelkan gitu?"
"Bukan gitu... Harusnya semuanya terjadi begitu aja. Saatnya kita memutuskan buat pacaran itu setelah kita sama-sama sadar bahwa kita saling suka, saling membutuhkan," jelas Abriel lagi, masih dengan intonasi tertata dan penuh penekanan.
Isabel menghela napas. "Sekarang saya udah bisa simpulin apa yang terjadi di sini! Kamu nolak tawaran saya. Karena menurut kamu harus cowok yang ambil langkah." Isabel baru saja akan meninggalkan Abriel sebelum tangannya diraih dengan satu sentakan.
"Nanti dulu," pinta Abriel. Isabel pun berhenti tanpa perlawanan. "Kamu baru aja bilang itu dengan sebutan 'tawaran'."
"So?" Cuping hidung Isabel naik.
Abriel berusaha membaca tanda-tanda di raut wajah Isabel, kemudian ketika ia yakin tidak menemukannya, ia berkata. "Aku cuma pengin tahu aja, untuk apa kamu ngelakuin semua ini? Kamu nggak suka kan sama aku, suka sebagai orang yang ingin kamu jadikan pacar—seenggaknya belum. Kamu bahkan cuma tahu tentang aku dari apa yang kamu baca di kertas itu. Dan satu hal lagi, kamu nggak pernah bilang kalau kamu suka atau falling in love sama aku, kamu cuma mendadak aja pengin jadiin aku pacar kamu. Kenapa, Isabel? Apa ada alasan sebenarnya, yang nggak bisa kamu kasih tahu?"
Rahang Isabel tampak mengeras. "Cukup. Yang ada saya cuma mempermalukan diri saya aja. Saya udah dapatin jawabannya. Jadi kayaknya kita nggak perlu bahas ini lebih lanjut."
"Nggak bisa gitu, dong," kali ini Abriel yang tampak tak bisa dicegah dan agak panik. "Nawar baju di Pasar Baru aja kalau nggak dikasih masih nggak apa-apa balik nawar lagi!"
Isabel memberengut. "Anggap aja saya nggak pernah ngomong apa-apa. Ini, yang kamu lihat hanya vessel saya. Ruh saya udah pergi."
Abriel balas cemberut, digigitnya bibir bagian bawahnya. Ia meraba-raba perasaannya. Walaupun ia yakin ini tidak serius, tapi mengapa ia merasakan secuil kecil perasaan tak rela dan kecewa, ya?
"Kalau gitu," ujarnya setelah berpikir sejenak. "Aku yang pengin jadi pacar kamu. Apa kamu mau jadian sama aku, sekarang, di sini, saksinya Mas Tamim dan Bi Iceu yang lagi ngintipin kita dari jendela rumah kamu?"
Abriel mengedikkan dagunya ke arah gerobak Mas Tamim yang mulai mendekat kemudian ke arah rumah Isabel yang gordennya tersibak. Lampu yang terang benderang di dalam rumah Isabel jelas sekali menunjukan siapa pengintip itu. Bi Iceu pasti tidak sadar.
Isabel menatap Abriel dengan tatapan dingin. "Dari awal kamu nganggapnya ini semua bercanda, kan?" geramnya.
"Yang bercanda siapa? Ini pertama kalinya aku didatangin and langsung ditembak sama cewek, lho. Lewat surat sih pernah, tapi yang kayak gini baru sekali seumur hidup," Abriel menjelaskan. "Wajar rasanya kalau aku sampai nggak tahu harus gimana."
Tidak lama kemudian terdengar suara panggilan mama Abriel dari dalam rumah.
"El, Jensen perlu bantuan kamu, nih."
Disusul panggilan cempreng adiknya dari teras lantai dua, "Kakaaaaaak... bantuin dong!"
Abriel mendongak menatap adiknya. Begitu Jensen melihat siapa tamu yang sedang bersama kakaknya di halaman rumahnya itu, matanya yang tadinya sudah lima watt tampak membulat penuh.
"Cieeeee... Kakak akhirnya berani juga ngomong sama Kakak itu niiiih... Yang ini nih aku setuju! Cium langsung aja, Kak, biar Kakak nggak nyesal! Kalau enggak mau, aku embat, nih!" Sambil bersiul-siul heboh Jensen terus-terusan mengatakan hal yang sama: cium, cium, cium...
"Ini lagi anak satu, tunggu di dalam aja dong, Sen! Nggak malu apa kamu teriak-teriak gitu bikin satu RW dengar!" keluh Abriel pada adiknya. Tapi Jensen enggan mendengarkan, ia masih terus menggoda abangnya itu sampai si Mbak muncul dan membawanya ke dalam.
Ekspresi Isabel melunak. "Saya pulang, ya."
Isabel sudah berjalan menuju rumahnya, sementara Abriel dengan setengah hati memandangi gadis itu. Isabel kemudian berhenti di depan trotoar rumah Abriel.
"Anyway, besok kamu ada acara?"
Abriel refleks menggeleng. "Mau ngajak jalan?"
"Pulang kamu sekolah gimana? Kita janjian di suatu tempat. Saya belum tahu di mana, saya pikirin nanti. Saya kepikiran buat makan mie ayam sama nonton ke bioskop."
Abriel kemudian teringat kembali perjanjiannya dengan orangtuanya. Selama Isabel menolak jadi pacarnya, sepertinya ia tidak melanggar sesuatu.
"Janjiannya gimana sedangkan kita sama-sama belum punya nomor HP?"
"Walaupun kita nggak punya nomor HP satu sama lain, saya yakin besok kita pasti tetep bakal jalan."
"Caranya?" Abriel sudah tampak putus asa menanyakan maksud yang sama pada gadis itu.
Isabel menebarkan sekelumit senyum misterius. "Dunia ini bundar, Abriel, kalaupun saya jalan lurus terus suatu saat nanti saya pasti nemuin kamu."
"Iya, sih. Masuk akal juga..." ujar Abriel lambat-lambat.
Isabel tersenyum melihat reaksi Abriel.
"Eh iya, besok bawa komik kamu, ya, saya penasaran pengin lihat."
Dan perkataan terakhir itulah yang paling membuat jantung Abriel berdegup cepat.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.