Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Di tengah-tengah pesta sweet seventeen yang meriah itu, keadaan mengharuskan Abriel dan Adit jalan sendiri-sendiri. Adit terlalu sibuk mencari muka di depan Andine dan keluarganya, sementara Abriel, usai menjalankan rencana perbaikan gizi yang membuat kancing kemejanya nyaris penuh sesak, tidak jelas mau ngapain di situ. Jadi ia cuma menclok sana-sini seperti ayam, berharap punya pintu-ke-mana-saja supaya bisa pulang ke rumah dan melanjutkan proyeknya.

Di antara kerumunan cowok-cowok yang datang terlambat, perhatian Abriel mendadak tertambat. Ia hampir saja tersedak minumannya karena menemukan seseorang yang dikenalnya namun tidak diharapkannya muncul di sana, tampak memberi selamat kepada Andien si empunya pesta dengan akrab.

Abriel baru ingat di mana Andine bersekolah, dan serta-merta fakta itu membuatnya merasa tolol. Tentu saja ada kemungkinan ia akan bertemu Andre jika ia datang ke pesta ulangtahun salah satu teman sekolahnya!

Melihat Andre Iskandar, pitcher yang digadang-gadang menjadi saingan mutlaknya dulu, muncul di hadapannya pada malam ini, jelas cukup untuk membawa ruhnya terserap mundur kembali ke lapangan itu: ke tanah merah yang ia hapal betul gradasi warnanya, kepulan debu yang baunya ia ingat persis, para pelatih dan anggota timnya—yang ia kecewakan dengan keputusannya, dan pada Irena.

Diperparah karena kini muncul satu, dua—hingga enam anggota lainnya dari tim bisbol SMA Pemuda Sakti yang dikenalnya.

Menghindari beradu mata dengan kawanan itu, Abriel memutuskan untuk keluar dari ballroom.

Ia kemudian menempatkan dirinya di sofa tak jauh dari dua eskalator yang mengarah ke atas dan ke bawah. Sepi, hanya ada ia dan seorang cowok lain yang sedang menelepon. Tanpa tujuan, ia menatap sepatu kulit hitamnya yang mengilat, yang ujungnya tampak memantulkan cahaya lampu kandelir di atasnya. 

Sebersit aroma parfum bernuansa vanila yang familier mendadak menguar dari sekat ingatan Abriel. Sudah banyak yang ia korbankan, sudah jauh ia berlari, sudah genap satu bulan ia rela untuk berhenti bercengkerama dengan tanah lapangan, tapi kenapa aroma satu ini tidak pernah menjauhinya barang sebentar saja?

Hanya bunyi dua ketukan sepatu yang disadarinya. Pikirannya kini telah kembali sepenuhnya. Aroma parfum itu rasa-rasanya mengikat penciuman Abriel sehingga membuatnya refleks menoleh.

"Hei. Aku dikasih tahu Andre kalau kamu datang juga. Ketemu di sini, deh." Itulah pertama kalinya sejak tujuh bulan terakhir sosok di hadapan Abriel berucap padanya.

Abriel mematung, tidak bisa berkata-kata, apalagi merangkainya. Ada gadam besar memukul kepalanya dan membuat sensornya rusak.

"El?" Irena menekuk alisnya karena Abriel hanya memandanginya saja. 

Abriel menelan ludahnya. Kalau ia diharuskan memilih untuk terjun bebas dari wahana bungee jumping terseram di dunia atau bertemu Irena sekarang ini. Ia tahu apa yang akan dipilihnya.

"Na..." Dengan gugup Abriel berkata. "Apa kabar?"

"Kamu emang seharusnya nanya kabar aku," Irena berkata, berpura-pura tersinggung, tapi membiarkan Abriel menangkap canda di balik ucapannya.

"Syukurlah kalau gitu." Abriel memberanikan diri menatap Irena ketika mengatakannya. Ia mendaratkan tatapannya langsung ke matanya. Barangkali, sudah saatnya ia mencairkan kebekuan itu, pikirnya. Kesempatan seperti ini tidak akan datang sering-sering. Dengan suasana yang berbeda, ia mungkin bisa memperbaiki hubungan mereka yang keras dan dingin seperti balok es. Namun rapuh seperti selembar daun kering.

"Sekali-sekali segar juga lihat kamu pakai setelan gini," puji Irena tulus. "Yah, walaupun menurutku sekarang kamu agak kurusan."

Abriel tersenyum suram. Bukan cuma Irena yang belakangan mengatakan jika ia kurusan. Bahkan papanya yang termasuk tidak begitu peduli sekitar, berkali-kali mengatakan supaya Abriel banyak makan.

"Ntar juga ngisi lagi. Belakangan juga lagi doyan makan nasgor Mas Tamim malem-malem, kayak dulu. Abis kenyang tidur. Sebulan lagi kalau ketemu, taruhan, kamu bakal bilang aku kayak Doraemon."

"Duh, jadi kangen sama Mas Tamim. Masih seenak dulu nggak nasgornya?"

Abriel mengangguk mantap. "Semakin layak dapat tiga bintang Michelin."

"Keren!"

Sebersit kenangan menyapu saku memorinya lagi. Dulu, setiap kali Irena dibawa main ke rumahnya, usai mereka membuat komik bareng, mereka pasti mencegat gerobak Mas Tamim. Irena yang suka makanan pedas, akan minta Mas Tamim membubuhkan lima sendok sambal sementara Abriel masih tak berkutik jika Mas Tamim kebanyakan memberinya pedas. Satu sendok untuk menghangatkan tenggorokan saja, sudah cukup.

"Anyway, kamu ke sini sama siapa?" Irena seolah menyadari sesuatu. "Nggak sama... ehm, Febby, pacar kamu yang cantiknya kebangetan itu—jangan kira aku mata-matain kehidupan percintaan kamu, lho. Dia kan biasanya rajin nungguin kamu latihan, jadi aku sering lihat."

Abriel tidak tahan untuk menggaruk rambutnya karena salah tingkah. Di mata Irena pastilah ia dicap sebagai cowok yang gampang pindah ke lain hati. Dua bulan setelah mereka putus, Abriel sudah jadian dengan gadis lain.

Tapi sebenarnya, ada alasan mengapa Abriel menggantungkan status jomblonya secepat itu. Dengan punya pacar posesif dan cemburuan seperti Febby, ia berharap akan ada alasan untuknya pelan-pelan mengurangi jatah latihannya, agar ia tidak perlu terlalu sering bertemu Irena.

Dugaannya jelas keliru. Karena nyatanya, Febby malah mendukung karier bisbolnya seratus persen. Bahkan sudah beberapa kali Febby menunggui Abriel latihan, menyorakinya setiap kali Abriel membuat lemparan sempurna yang sulit diterjang pemukul tim lawan. Sebelum menjadi terlalu posesif, Febby pernah menjadi pacar yang sangat suportif, meskipun ia selalu memasang tampang masam ketika menemukan Irena di sekitarnya.

"Soal Febby, aku sebenarnya baru putus sama dia beberapa hari yang lalu," aku Abriel setelah bimbang sejenak untuk mengatakannya atau tidak.

"Dih. Kok bisa? Dia kan... apa yah, sempurna banget kayaknya," ujar Irena. "Cowok-cowok di lapangan kan kesenangan tuh kalau dia datang nungguin kamu. So, kenapa kalian bisa putus?"

Sejenak, Abriel tidak bisa menangkap apapun dari ucapan Irena. Sebenarnya, Abriel masih tidak yakin dengan semua ini: ke mana sebenarnya salah satu dari mereka akan membawa pembicaraan basa-basi ini.

"Alesannya? Kenapa yah... Seperti kata kamu dulu mungkin, 'bahkan bintang yang paling kuat di semesta ini suatu saat nanti bakal padam'," jawab Abriel, enggan menjelaskan lebih jauh.

Senyum Irena sedikit memudar.

"Giliran aku yang nanya, kok kamu bisa ada di sini? Kalau kamu belum tahu, Andine sama Adit lagi pedekatean. Aku kayaknya jadi hand of the king-nya. Buat aku lumayan sih, perbaikan gizi," jelas Abriel sembari bercanda.

"Sama. Aku juga ke sini karena diajak. Aku sekarang jalan sama Andre, El."

Hening. Ada sesuatu yang menohok di dalam perut Abriel. Ia yakin alasannya bukan sebelas potong sushi yang terakhir ia lahap.

"Jalan kayak jadian gitu?"

Irena yang malam itu terlihat cantik dengan gaun berlengan pendek berwarna salem pucat dan riasan tipis itu mengangguk mengiyakan. "Belum jadian, sih. Andre mungkin bukan tipe yang suka ngumbar perasaan. Tapi dia kasih aku perhatian yang setara sama orang pacaran."

"Bagus buat kamu. Andre sepertinya cowok yang tanggung jawab..."

"Eh, iya, gimana kabarnya si Jensen?" cetus Irena, cukup kentara sengaja mengganti topik. "Masih suka berlagak jadi MacGyver, nggak, itu anak?"

Abriel berdecak, sekilas membayangkan tingkah-tingkah adiknya yang sok tahu. "Jangan ditanya... makin jadi itu anak. Tahun depan mungkin dia bakalan dikirim NASA ke Mars buat nyelidikin alien."

Tanpa disadari obrolan mereka semakin mengalir. Meluncur menembus waktu, menuju kenangan yang membuat mereka tertawa bersama, baik dulu maupun sekarang. Tawa yang kali ini terdengar memilukan namun tetap tulus. Tawa yang bersaut-sautan dan saling mengisi, yang seinci saja meleset, bisa membuat keduanya tergelincir dan menangis begitu pilu.

Irena-lah yang akhirnya tergelincir duluan.

Di sela-sela tawanya, air mata Irena jatuh ke bagian paha gaunnya. "El... Kenapa kamu lakuin itu sih, sama aku?" Mendadak saja tidak ada lagi yang sanggup menghalangi Irena mengeluarkan isi hatinya. "Nggak lihat kamu di lapangan sehari aja bikin aku kayak... kosong, kehilangan semangatku."

Mulut Abriel setengah terbuka mendengar pengakuan Irena saat ini. Hati retak itu, yang ia pikir sudah terobati lama, nyatanya berupa pecahan mikro yang tak akan sanggup direkatkan kembali. Abriel menghela napas, kembali teringat ucapan Pak Deni dulu. Kalaupun ia dan Irena bisa kembali, Abriel yang kini telah mantap memilih tokoh-tokoh komiknya dibanding bisbol, tidak akan pernah sanggup mengambil hati ayah Irena yang menganggap hasrat dan cita-cita menjadi komikus tidak akan membuat seseorang berharga.

Ingin rasanya Abriel mendekatkan dirinya untuk menghapus air mata Irena, menyentuh dagunya, memeluknya, selama-lamanya... Tapi ia sadar, sentuhannya tidak akan berarti baik bagi Irena. Sentuhannya hanya akan membuat nyeri hati Irena, membuat lubangnya kembali berdarah-darah. Semakin rusak.

Maka, ia bangkit dari posisinya. "Na, kamu tahu kamu nggak boleh gini. Kita udah berhasil ngelewatin semua. Aku ke dalam, ya. Kalau kamu masih mau di sini, biar aku panggilin Andre supaya nemanin kamu."

"Maafin aku ya, El... maafin orang-orang di sekitar aku yang ikut campur... Sebenarnya aku udah tahu semuanya. Dan hal itu yang bikin aku kayak barusan. Ngenes banget." Irena mendongak sambil menghela napas. "Aku udah tahu kalau Papa aku yang nyuruh kita putus. Aku udah tahu semuanya, El. Papa bilang sama aku seminggu yang lalu, abis kamu datangin Kang Iwan ke kantornya. Tahu kamu keluar, Papa puas banget, menurutnya feeling-nya buat misahin kita itu benar. Papa akhirnya punya alasan buat nggak rahasiain semuanya lagi. Menurut Papa kamu emang bawa pengaruh buruk buat aku—yang mana adalah salah besar. Kamu adalah semangat sejati aku."

Irena kembali menghela napas panjang. Melenguh dalam satu tarikan napas.

"Selama ini kebencian aku sama kamu sama sekali nggak beralasan. Kamulah yang paling sakit. Aku aja nggak bisa bayangin perasaan kamu saat itu, El," tambahnya.

Abriel kehabisan kata-kata. Genggaman Irena di jemarinya semakin kuat. Hatinya mulai melunak, tapi untunglah pikirannya masih selaras dengan akal sehatnya.

Saat itulah Abriel melihat pintu belakang terbuka, Andre tampak celingukan, mencari Irena. "Na, Andre nyariin kamu," Abriel memberitahu.

Irena refleks melirik ke arah yang dituju mata Abriel, napasnya otomatis terhela. Ia kemudian bangkit, menyentuh jemari Abriel singkat sebelum meninggalkannya untuk menghampiri pemuda itu.

Ada jeda panjang sebelum akhirnya Abriel pun menghela napasnya yang sejak tadi tertahan begitu dalam.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Andrafedya

    @shalsabillaa semoga ga mengecewakan ya, terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • defreeya

    Actually, It's not my typical genre. But, si author menceritakannya dgn indah sih *lanjut baca lagi*

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • shalsabillaa

    narasinya menarik. Membuat ikut hanyut dalam cerita. Ingin bisa menulis sebagus ini amin XD

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @Zeee terima kasih banyak udah ngingetin, sangat seneng ada yg apresiasi

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Zeee

    Luak atau luwak? *bertanya2

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @hijauoren tapi untunglah mereka sebetulnya saling menyayangi. terima kasih sudah comment

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @ysrsyd terima kasih untuk semangatnya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • dayana_putri

    Sakit itu ketika adik kita lebih belain pasangan kita daripada saudara kandungnya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ysrsyd

    Seruuu semangat

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
Mawar pun Akan Layu
1100      609     2     
Romance
Semua yang tumbuh, pasti akan gugur. Semua yang hidup pasti akan mati. Apa cintamu untukku pun begitu?
No, not love but because of love
3641      865     2     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
Young Marriage Survivor
3151      1166     2     
Romance
Di umurnya yang ke sembilan belas tahun, Galih memantapkan diri untuk menikahi kekasihnya. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, Galih merasa ia tidak bisa menjalani masa pacaran lebih lama lagi. Pilihannya hanya ada dua, halalkan atau lepaskan. Kia, kekasih Galih, lebih memilih untuk menikah dengan Galih daripada putus hubungan dari cowok itu. Meskipun itu berarti Kia akan menikah tepat s...
My Big Bos : Mr. Han Joe
660      409     2     
Romance
Siapa sih yang tidak mau memiliki seorang Bos tampan? Apalagi jika wajahnya mirip artis Korea. Itu pula yang dirasakan Fraya ketika diterima di sebuah perusahaan franchise masakan Korea. Dia begitu antusias ingin segera bekerja di perusahaan itu. Membayangkannya saja sudah membuat pipi Fraya memerah. Namun, apa yang terjadi berbeda jauh dengan bayangannya selama ini. Bekerja dengan Mr. Ha...
Help Me to Run Away
2717      1234     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Selaras Yang Bertepi
1797      855     0     
Romance
"Kita sengaja dipisahkan oleh waktu, tapi aku takut bilang rindu" Selaras yang bertepi, bermula pada persahabatan Rendra dan Elin. Masa remaja yang berlalu dengan tawa bersembunyi dibalik rasa, saling memperhatikan satu sama lain. Hingga salah satu dari mereka mulai jatuh cinta, Rendra berhasil menyembunyikan perasaan ini diam-diam. Sedangkan Elin jatuh cinta sama orang lain, mengagumi dalam ...
Memoar Damar
6234      2853     64     
Romance
Ini adalah memoar tiga babak yang mempesona karena bercerita pada kurun waktu 10 sampai 20 tahun yang lalu. Menggambarkan perjalanan hidup Damar dari masa SMA hingga bekerja. Menjadi istimewa karena banyak pertaruhan terjadi. Antara cinta dan cita. Antara persahabatan atau persaudaraan. Antara kenangan dan juga harapan. Happy Reading :-)
Black World
1754      842     3     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
Reach Our Time
11447      2783     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Midnight Sky
1752      877     2     
Mystery
Semuanya berubah semenjak kelompok itu muncul. Midnight Sky, sebenarnya siapa dirimu?