Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Sore itu, Isabel membuka jendela kamarnya lebar-lebar sambil berjingkat-jingkat heboh, mengikuti dentuman lagu Beautiful Ones milik Suede, salah satu band favoritnya. Sambil berkeliling di kamarnya dengan berselendangkan syal bulu kesukaannya, ia tidak sengaja menengok keluar jendelanya yang terbuka. Tetangganya baru saja pulang sekolah. Disampirkannya tas selempang hitam dekil yang talinya kepanjangan itu sebelum dirinya sibuk mengetuk-ngetuk ban belakang mobilnya, seperti mengetes apa bannya kempes atau tidak.

Isabel tetap di posisinya di depan jendela, membiarkan angin sore yang sepoi-sepoi meniup pipinya yang lembut. Ia masih mengamati cowok itu. Betul kata Mummy, pikirnya, cowok itu punya tampang yang lumayan manis. Tapi, tetap, punya tampang manis bukan berarti cowok itu juga punya tabiat baik. Tidak ada manusia yang sediberkati itu, memiliki tampang rupawan dan sifat yang terpuji. Mungkin ada, tapi yang pasti bukan cowok itu, batinnya.

Ketika Isabel menatap langit, ia menyadari kalau hari itu matahari bersinar sangat cemerlang. Aha! Sepercik ide muncul di kepalanya.

Sambil terus bersenandung, Isabel pun melenggang ke ruang penyimpanan di dekat dapur. Bi Iceu yang sedang sibuk menggoreng tumis udang untuk makan malam nanti sempat menawarkan bantuan, tapi dengan selewat Isabel menyuruh Bi Iceu menggoreng dengan serius saja. Isabel akhirnya mendapatkan benda yang ia cari di dalam salah satu tumpukan kardus yang belum sempat dibereskan. Sepasang roller blade baru berwarna kuning cerah. Ia memungut benda itu dengan riang.

"Oh, ya, Neng," ujar Bi Iceu sebelum Isabel meleos. "Semalem Ibu nanya, tapi Bibi udah bilang seperti yang Neng bilang. Kalau boleh Bibi tahu, memangnya kenapa Ibu nggak boleh tahu Neng Abel pergi sama laki-laki?"

"Ehm, kenapa ya... Soalnya Mummy pasti panik kalau lihat saya pergi sama cowok yang beda-beda. Jadi Bi Iceu jangan sampai keceplosan, ya. Kalau Mummy lagi di Jakarta sih tenang, Bibi nggak perlu gimana-gimana. Pokokmya kalau Bibi bingung, tanya aja instruksinya ke saya, okay?"

Bi Iceu terlihat merenung sembari menekuri penggorengan sebelum kembali menatap Isabel. "Maaf bukannya Bibi sok ikut campur, cuma Bibi jadi sedikit khawatir aja sama Neng. Nggak pa-pa Neng jalan sama laki-laki terus? "

"Ya, nggak pa-pa, Bi. Namanya juga kerja."

"Sekarang, seringnya Neng dijemput di depan. Apa Neng nggak takut, banyak laki-laki yang jadi tahu rumah Neng Abel?"

"Iya sih, tapi kadang saya malas harus nunggu taksi atau apa. Nggak selalu dapat cepat soalnya."

"Neng... Neng teh nggak berbuat yang... duh, Bibi kok jadi takut, ya—"

"Udah... Bibi jangan khawatir, saya tahu kok apa yang saya lakuin ini nggak salah," sela Isabel cepat kepada wanita setengah baya yang meskipun baru dikenalnya selama kurang dari dua minggu, sudah manut dan menaruh rasa sayang pada Isabel. "Eh, Bi, awas tuh udangnya gosong! Nanti kalau gosong saya harus makan sambil melet-melet lagi, lho!" kekeh Isabel sambil setengah berlari menjinjing sepatu rodanya ke depan rumah.

 

* * *

 

"Kak, tuh gebetan Kakak lagi di depan, Kakak mau caper nggaaak?" teriak Jensen kepada kakaknya yang sedang memetik gitar di dalam kamarnya dengan tidak bergairah..

Abriel merasa harinya sangat melelahkan. Hingga jam pulang sekolah, sudah empat orang dari geng Febby yang menginterogasinya. Belum lagi serombongan adik kelas sotoy yang mencegatnya di parkiran, cewek-cewek itu menanyakan kepastian hubungannya dengan Febby. Konon mereka adalah fans Abriel dan Febby, penggemar pasangan terserasi di sekolah menurut versi mereka.

Abriel sungguh tidak menduga begitu banyak orang yang "peduli" pada kandasnya hubungannya dengan Febby. Tapi yang terparah adalah saat Abriel menemukan kalau ban belakang kiri mobilnya dikempesi seseorang. Intuisinya mengatakan itu adalah ulah salah satu dari banyak pengagum Febby yang tak terima idolanya dibuat bersedih tadi. Bisa jadi itu Muamar, Abriel sempat menduga. Tapi, masa sih Muamar sampai senekat itu? Lagian, ia dan Muamar pernah berteman cukup baik.

"Lagi ngapain dia?" tanya Abriel namun tidak terdengar terlalu tertarik.

"Lagi main sepatu roda di depan." Kepala Jensen sudah nongol di celah pintu yang membuka sedikit.

"Kakak lagi nggak mood. Kalau mau caper kamu aja, gih," ujar Abriel tanpa repot mendongakkan kepalanya. Dagunya masih merapat di permukaan gitar akustik milik papanya itu. Gitar yang konon katanya berhasil meluluhkan hati mamanya dulu ketika mereka pacaran. Kisah romantis yang membuat Abriel dan Jensen bergidik setiap kali kakak-beradik itu membicarakan dan membayangkannya.

"Kakak murung habis diputusin sama Kak Febby, ya?" Sekarang adiknya sudah membuka pintu kamar Abriel lebar-lebar. 

Abriel hanya nyengir mendengar pertanyaan adiknya itu.

"Tapi bagus deh, soalnya Kak Febby itu nggak baik buat Kakak," sambung adiknya.

Abriel masih memetik asal-asalan senar gitar dalam pangkuannya. "Kok kamu bilang gitu? Bukannya kamu suka sama Febby?"

Jensen terlihat berpikir sebentar. "Sebenarnya, Kak Febby itu baiknya kalau ada Kakak doang. Kalau Kakak nggak lihat, dia males Jensen tanya-tanya."

Abriel mengentikan permainan gitarnya mendengar curahan hati adiknya yang terdengar serius.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Kakak?" tanya Abriel dengan nada yang lebih lembut.

Jensen menggedik. "Dia galak juga kan sama Kakak?" Sekarang Jensen sudah masuk ke kamar Abriel dan menduduki salah satu bantal di karpet.

Abriel nyengir. "Ntar, cewek baru Kakak kamu yang ospek, gimana? Kalau kata kamu galak, nggak usah jadi." 

"Setuju, setuju!" Jensen langsung mengajak kakaknya bersalaman, seolah-olah takut kakaknya itu berubah pikiran melibatkannya ke dalam hubungan asmaranya. "Eh, kalau Kakak udah putus sama Kak Febby, berarti sah dong kalau Kakak gebet tetangga baru kita itu?"

"Sah, sih..." Suara Abriel terdengar ragu. "Cuma nggak etis aja. Baru siang tadi putus, masak udah ngeceng-ngeceng cewek lain. Kakak harus menata diri dulu biar jadi orang yang lebih baik."

Jensen mengangguk sok tahu. "Ehm, jadi Kakak butuh waktu buat sedih-sedihan dulu?"

"Sedih sama butuh waktu menata diri itu beda."

Sebenarnya kalau dibilang sedang sedih, kali ini Abriel memang tidak merasakan perasaan itu. Bisa dibilang ini pertama kalinya ia putus cinta tapi tidak terlalu membuatnya merana dan melodramatis. Meski begitu, ada perasaan lain yang mengusik hatinya. Sekali lagi, ialah yang memutuskan hubungan. Meski ia melakukannya demi Febby, tapi rasanya tetap saja ada yang salah.

Tampak serius, Jensen berdiri sesudah memungut sekeping keripik dari bungkus yang terbuka di karpet dan memakannya. "Kalau kita dikeren-kerenin, cewek itu pasti bakal mau kita ajak ngobrol."

Abirel mendengus. "Alah. Senyum ke kita aja nggak pernah.".

Jensen memicingkan matanya. Seperti berusaha membaca pikiran kakaknya itu.

"Ya udah. Tapi, Kakak jangan nyesel kalau dia malah naksir aku." Jensen pun segera ngacir meninggalkan Abriel sendirian di kamarnya. Tidak seberapa lama, terdengar suara mamanya yang menyuruh adiknya itu mengerjakan PR. Tapi pintu depan keburu dibanting, Jensen sudah keluar rumah sebelum mamanya berhasil menghadangnya.

Tidak sampai dua detik dari suara pintu itu, terdengar jeritan Jensen yang mengejutkan Abriel. Abriel pun langsung bergegas untuk menghampiri adiknya, khawatir terjadi sesuatu padanya. Terakhir kali Jensen berteriak seperti itu ketika ia terpeleset saat menaiki skateboard-nya dan kepalanya terbentur trotoar di depan rumah. Meskipun Jensen anak laki-laki, tapi ia masih terlalu kecil untuk bisa mengendalikan koordinasi otot-otot tubuhnya. Ditambah, ia tipe anak yang sembrono. Bukan hal aneh ia sering terjepit pintu, terpeleset di ubin basah dan sebagainya.

Abriel sampai ke depan sebelum mamanya dan si Mbak. Tapi ternyata itu semua hanya jebakan dari si setan kecil.

Terdengar suara tawa yang nyaring. "Ha-ha. Jensen nggak apa-apa kok cuma main-main doang!" Jensen menertawai orang-orang yang sudah menghambur keluar karena bereaksi atas teriakannya.

"Nggak lucu, Jensen!" bentak mamanya sambil mengelus dadanya.

"Bilangin Bapak aja, Bu," si Mbak yang biasanya berada di pihak Jensen menambahkan. "Udah sering ngerjain saya juga, pura-pura kejedotlah, jatohlah, bedarahlah."

"Ah, Mbaaak," ratap Jensen seolah dirinya dikhianati oleh si Mbak. "Katanya nggak akan ngaduin!"

"Bakal Mama bilangin Papa kamu. Papa pulang, kamu kena omel! Sering kamu bohongin orangtua! Ayo, masuk!" geram mamanya sambil menariknya masuk ke dalam rumah, terlihat sangat kehilangan kesabaran. Mamanya pastilah sangat khawatir pada Jensen, karena jarang sekali ia terlihat semarah itu. "Kalau jatuh betulan, nggak akan Mama obatin. Biar tahu rasa kamu. Bukannya bikin PR..."

Jensen yang awalnya terkekeh-kekeh, jadi menangis histeris mendengar ancaman mamanya. Baik Jensen ataupun Abriel sama-sama takut kalau Papa mereka marah besar. Si Mbak akhirnya menyusul Mama dan Jensen masik ke dalam setelah mengambil gelas kopi yang disuguhkan untuk tukang kebun langganan mereka tadi pagi.

Satu-satunya yang tampak kehilangan kata-katanya adalah Abriel. Seperti patung, ia menatap sosok itu tanpa berkedip. Sementara gadis itu, dengan sepatu rodanya yang kuning mencolok seperti kelopak bunga dan matahari kesukaannya, pun menatapnya. Wajahnya dipenuhi mimik ingin tahu. Abriel tidak bisa mengendalikan detak jantungnya ketika sadar bahwa gadis itu mungkin akan menghampirinya, menanyakan alasan mengapa ada anak kecil yang berteriak histeris dan membuat kehebohan.

Namun dugaan itu keliru, entah bagaimana gadis itu berhasil mengendalikan rasa penasarannya dengan kembali berkonsentrasi pada sepatu rodanya. Pipinya bersemburat merah, rambutnya dikucir asal-asalan, tapi wajahnya sangat cantik. Gadis itu juga memakai syal bulu-bulu pink norak yang ajaibnya terlihat menggemaskan di lehernya.

Sungguh tak dapat dipercaya, bagaimana mungkin ada makhluk senyentrik sekaligus serupawan itu? Abriel membatin. 

Abriel masih mengamati gadis itu. Segala yang dikenakan gadis itu tak pernah gagal membuatnya terpana.

Gadis itu merentangkan kedua tangannya ketika berseluncur mulus bersama sepatu rodanya, seolah terbang bersama angin, terlihat begitu bebas. Lalu, saat itulah dengan dramatis, sekelumit cahaya matahari terakhir bersinar menyelimuti punggung gadis itu, bagaikan jubah emas yang tahu-tahu tumbuh.

Gadis itu tampak begitu cemerlang, membuat Abriel tiba-tiba ingin memanjatkan syukur kepada Sang Pencipta, entah mengapa.

Abriel masih di tempatnya berdiri ketika gadis itu memutuskan menyudahi permainannya. Dan ketika pintu rumah tetangganya itu menutup, Abriel hampir saja bertepuk tangan seolah baru saja menonton pertunjukan yang begitu menggugah. Ia tidak peduli jika gadis itu melihatnya sebagai cowok culun, aneh, yang begitu terpesona pada dirinya.

Abriel sudah melalui hari yang berat di sekolah tadi, sedikit hiburan di senja hari terasa adil untuknya.

 

How do you feel about this chapter?

1 1 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Cassanouva

    Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini

    Kalau suda beres saya akan kasih review.

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ruriantysavana

    ka cek inbox ya aku ada pertanyaan2 tentang cerita ini
    mau di sini tp tkt spoiler hehe, thx

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ala_fifi

    baca karya ini jd pgn nulis yg bagus jg rasanya, pgn latihan banyak biar bisa gini

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Retha_Halim

    Good job, Author. On chaper41

    Comment on chapter 41. Dua Hati (TAMAT)
  • yurriansan

    diksinya mantep banget, kudu banyak belajar nih

    Comment on chapter 2. Pantomim Waktu
  • Andrafedya

    @firlyfreditha silakan dibaca sampai beres, kalau masih blm ketemu nanti kukasih tau deh :)

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • Andrafedya

    @ayuasha febby baik, cuma temperamental. Tapi dia juga punya sisi baik, kok :) terima kasih sudah membaca

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • firlyfreditha

    bersetting tahun brp kak?

    Comment on chapter 3. Pemantauan
  • ayuasha

    kesel sama Febby sumpah

    Comment on chapter 9. Tergelincir
  • Andrafedya

    @defreeya selamat membaca, jangan berhenti ya. Terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
Renafkar
9078      1760     5     
Romance
Kisah seorang gadis dan seorang lelaki, yakni Rena dan Afkar yang sama-sama saling menyukai dalam diam sejak mereka pertama kali duduk di bangku SMA. Rena, gadis ini seringkali salah tingkah dan gampang baper oleh Afkar yang selalu mempermainkan hatinya dengan kalimat-kalimat puitis dan perlakuan-perlakuan tak biasa. Ternyata bener ya? Cewek tuh nggak pernah mau jujur sama perasaannya sendiri....
Somehow 1949
9317      2218     2     
Fantasy
Selama ini Geo hidup di sekitar orang-orang yang sangat menghormati sejarah. Bahkan ayahnya merupakan seorang ketua RT yang terpandang dan sering terlibat dalam setiap acara perayaan di hari bersejarah. Geo tidak pernah antusias dengan semua perayaan itu. Hingga suatu kali ayahnya menjadi koordinator untuk sebuah perayaan -Serangan Umum dan memaksa Geo untuk ikut terlibat. Tak sanggup lagi, G...
G E V A N C I A
1015      564     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
When You're Here
2203      1004     3     
Romance
Mose cinta Allona. Allona cinta Gamaliel yang kini menjadi kekasih Vanya. Ini kisah tentang Allona yang hanya bisa mengagumi dan berharap Gamaliel menyadari kehadirannya. Hingga suatu saat, Allona diberi kesempatan untuk kenal Gamaliel lebih lama dan saat itu juga Gamaliel memintanya untuk menjadi kekasihnya, walau statusnya baru saja putus dari Vanya. Apa yang membuat Gamaliel tiba-tiba mengin...
Diary of Time
1722      803     3     
Romance
Berkisah tentang sebuah catatan harian yang melintasi waktu yang ditulis oleh Danakitri Prameswari, seorang gadis remaja berusia 15 tahun. Dana berasal dari keluarga berada yang tinggal di perumahan elit Menteng, Jakarta. Ayahnya seorang dokter senior yang disegani dan memiliki pergaulan yang luas di kalangan pejabat pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Ibunya seorang dosen di UI. Ia memiliki...
Come Rain, Come Shine
1795      820     0     
Inspirational
Meninggalkan sekolah adalah keputusan terbaik yang diambil Risa setelah sahabatnya pergi, tapi kemudian wali kelasnya datang dengan berbagai hadiah kekanakan yang membuat Risa berpikir ulang.
Ghea
452      292     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Untuk Reina
24749      3730     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Babak-Babak Drama
455      314     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Midnight Sky
1543      752     2     
Mystery
Semuanya berubah semenjak kelompok itu muncul. Midnight Sky, sebenarnya siapa dirimu?