Skorsing Abriel berakhir satu hari lagi, jadi mulai besok tidak ada alasan lagi untuknya bangun siang dan bermalas-malasan di kamarnya. Adit, sahabat sekaligus teman sebangkunya, datang sore harinya, membawakan setumpuk tugas dari berbagai macam pelajaran yang harus dikerjakan Abriel dalam satu malam. Melihat sebanyak apa tugasnya, Abriel langsung menyalahkan Adit karena tidak datang beberapa hari sebelumnya agar ia punya lebih banyak waktu untuk menyelesaikan PR-nya.
Tak merasa bersalah, dengan santai Adit udah selonjoran sambil membuka halaman demi halaman komik Naruto milik Abriel. Memang, sejak dulu Adit selalu santai dalam menghadapi apapun. Termasuk ketika masa orientasi dulu mereka sama-sama baris di jajaran murid-murid yang telat dan lupa membawa tugas, Adit tidak tampak terancam oleh kakak-kakak kelas yang memasang tampang sangar dan seolah siap membunuh. Mungkin karena bagi Adit selama seniornya tidak menggunakan kekerasan fisik, dia masih bisa terima sekadar dipelototi atau dikata-katain. Aturan sengklek, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Bagi Abriel, "keajaiban" sahabatnya itu kadang sekaligus menjadi keuntungannya. Selama mereka duduk sebangku saat kelas sepuluh dan sekarang di kelas dua belas, Adit pun sering menjadi penyelamat wajahnya di mata guru-guru. Terang saja, ketika Abriel lupa mengerjakan PR, si Adit bikin ulah yang lebih parah, misalnya ketahuan membawa majalah dewasa atau kartu remi. Di mata guru-guru, lupa mengerjakan PR jelas terlihat seperti dosa yang paling ringan jika dibandingkan dengan pelanggaran serius yang dilakukan Adit.
Meski sifatnya aneh bin komar, ditilik dari berbagai penilaian, sebenarnya Adit-lah yang punya kemungkinan lebih besar jadi primadona sekolah. Karena selain ia punya tampang yang boleh dibilang manly, pergaulan yang amat luas, gaya necis, orangtua yang kaya raya, ia pun punya sifat peka dan romantis pada perempuan. Namun ajaibnya, secara tidak terduga, ketika murid-murid SMA Bhakti Negara angkatan mereka mengadakan voting-votingan untuk mengisi mading sekolah, Abriel-lah yang tahu-tahu terpilih menjadi cowok paling favorit seantero angkatan. Sedangkan gelar cowok paling kocak dan paling sarap jatuh ke tangan Adit, yang langsung protes sebab menurutnya gelar itu tidak sesuai dengan citra gaul, glamor dan flamboyan yang berusaha ia bangun sejak kelas sepuluh.
"Kadang gue malas nongkrong di sini. Udah disuguhinnya peyeum goreng doang, minumannya nggak keruh lagi." Meskipun mendumel begitu, Adit tetap lahap saat menyantap peyeum goreng yang manis dan renyah bikinan si Mbak.
Sebenarnya, Abriel tahu Adit betah nongkrong di rumahnya. Karena, selain Adit sendiri pernah memuji kalau si Mbak adalah asisten rumah tangga paling kreatif soal camilan, keluarga Abriel juga akrab dengan dirinya dan sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Pada satu waktu, Abriel bahkan pernah keki berat sama Adit lantaran papanya melarang Adit pulang setelah berhasil mengimbanginya main catur. Papanya belum pernah menemukan lawan yang seimbang sampai ia bertemu sahabat anaknya itu.
Adit mendadak tampak teringat sesuatu. Ia menutup komik yang sedang dibacanya.
"Gue mau nanya sama lo. Sebenarnya ada apa sih lo sama Febby? Kayaknya kali ini agak serius," cetus Adit sambil menatap keluar jendela, melihat langit yang gelap. Kadang Adit memang suka bertingkah dramatis. Adit sadar tingkahnya itu menggelikan, tapi dia memang senang dicap sebagai cowok yang punya banyak sisi lembut. Itu membuatnya merasa menjadi salah satu tokoh karya novelis roman, Nicholas Sparks.
"Kok, tahu?"
"Tahulah, namanya juga Febby. Kalau kesal kan dia suka curhat ke mana-mana," ujar Adit. "Tapi kenapa nggak lo kejar tuh waktu Febby masih dekat. Kata Febby lo bener-bener nggak ngejar dia. Parah emang lo."
"Nah, itu dia...," desah Abriel, PR Biologinya mendadak terasa jadi seperti pelajaran sejarah yang ditulis dalam bahasa Latin. Ia memutuskan untuk menundanya.
"Si Muamar juga ada di situ pas Febby ngadu-ngadu. Lo kan tahu si Muamar pernah naksir berat sama Febby, dia kayak kesal gitu si Febby lo gituin. Tampangnya sereeem banget."
Abriel menggaruk kepalanya yang berambut ikal dan bersemburat cokelat tua. "Gimana ya... sebenarnya masalahnya awalnya sepele, tapi jadi ribet."
"Dia juga nyinggung tentang lo yang punya hati ke cewek lain atau apalah..."
Abriel tertawa muram. "Ah, itu. Kemarin kerjaan si Jensen aja, dia cengin gue sama tetangga depan. Kenal juga enggak, gue cuma lihatin doang. Buat si Jensen gitu doang katanya selingkuh. Kebanyakan nonton sinteron abal-abal tuh anak kecil."
Mata Adit tiba-tiba tampak berbinar. "Be-te-we, tetangga depan lo cakep, ya? Siapa namanya?"
"Nggak tahu. Belum kenalan. anaknya sombong."
"Kalau cewek sombong biasanya cakep," kekeh Adit sambil berusaha membayangkan seperti apa rupa tetangga Abriel itu.
"Ya gitu, deh. Aura sama gaya-gayanya kayak gabungan Lauren Mayberry CHVRCHES sama Sarah Snyder, favorit lo."
"Anjrit. Cakep, dong!"
"He-eh, lumayanlah buat ukuran dilihat dari jauh," Abriel mengiyakan.
"Terus, kalau belum kenal, lo sebenernya bisa menyimpulkan kalau tuh cewek sombong dari mana?"
"Normalnya ya, kalau papasan sama tetangga ya nyapa, dong. Dia kan baru di lingkungan sini. Tapi barusan aja gue hampir senyumin, eeeeh, dia melengos aja. Cabut dijemput sama cowok naik mobil cakep."
Sambil mengerjakan tugasnya, tanpa bisa dicegah, Abriel kembali teringat peristiwa tadi sore. Saat ia (lagi-lagi) berpura-pura menyirami rumput dan tanaman-tanaman di depan; supaya ia punya alasan untuk memandangi tetangganya itu tanpa terlihat mencurigakan.
Saat Abriel sedang membereskan tanah-tanah yang menciprat ke teras, pintu rumah depan terbuka. Gadis itu muncul. Dengan setelan serbahitam ala goth-punk terniat dan terberani yang pernah dilihatnya dalam dunia nyata.
Abriel nyaris saja menjatuhkan selang dalam genggamannya. Bukan karena ia terpesona, tapi gadis itu selalu berhasil membuatnya terpukau. Jenis ketakjuban seperti saat menyaksikan sirkus yang menegangkan.
Gadis itu menyadari keberadaan Abriel, atau setidaknya menurut Abriel awalnya seperti itu. Maka dengan segenap hati ia meletakkan selang dalam genggamannya, membetulkan model rambutnya dengan tidak terlalu kentara, bahkan secepat kilat juga melirik bayangannya di pantulan kaca jendela rumahnya. Namun, tepat sebelum akan menyeberang, ia melihat sebuah mobil sport mewah berbelok di pertigaan jalan, berhenti di depan gadis itu.
Abriel otomatis mundur mengikuti nalurinya, kembali ke halaman rumahnya. Seperti kura-kura yang menjulurkan lehernya terlalu panjang dan tertarik masuk ke dalam tempurungnya sendiri.
Ia menyedot es teh manis yang lima belas menit yang lalu dibuatkan si Mbak, tetapi pandangannya tetap tertuju ke arah gadis itu. Teh manis yang seharusnya manis anehnya tiba-tiba terasa kecut di lidah Abriel.
Sekarang, cowok parlente dan gaul itu sudah berdiri setelah keluar dari mobil mewahnya. Dandanannya kasual dan simpel tapi pantas. Badannya tinggi-tegap, kulitnya tampak terawat, rambutnya mengilap, kaku serta trendi. Sulit mencari cela dari cowok yang sedang mengobrol dengan gadis itu. Abriel pun sekonyong-konyong merasa kecil dan rapuh seperti es yang hampir seutuhnya mencair di dalam gelasnya.
Tapi ada yang aneh, pikirnya. Kalau memang cowok itu pacarnya, seharusnya mereka tidak mengobrol di pinggir jalan, kan? Apalagi barusan itu Abriel melihat mereka bersalaman seperti sedang berkenalan.
Satu menit kemudian, gadis itu sudah duduk nyaman di dalam mobil mewah cowok itu. Senyum tersungging di bibirnya. Mungkin tadi ia hanya berhalusinasi, keduanya pastilah sepasang kekasih. Meskipun gadis itu memakai pakaian yang aneh dan tak lazim digunakan untuk nge-date, tapi keduanya terlihat serasi. Gadis itu menawan sedangkan cowoknya berkelas. Mobil Toyota Vios perak keluaran tahun 2002 mamanya, yang belakangan sepertinya sudah jadi hak miliknya setelah mamanya dibelikan mobil baru yang lebih mungil oleh papanya, terlihat sangat jadul dibandingkan dengan mobil sport mewah milik cowok itu.
Akhirnya keping mengilat itu melaju mulus, menyisakan kehampaan ganjil yang membuat Abriel merasa kesepian layaknya terdampar di pulau kosong.
* * *
The Rosewood Apartment, Bandung
Sejauh ini aman, Mei. Location and detail udah dikirim barusan via e-mail.
Isabel menyempatkan membalas chat yang masuk dari sepupunya di depan wastafel. Sebelum kembali ke ruangan tempat Angga menunggunya, ia memeriksa dandanannya di cermin dengan saksama, menambahkan eyeliner tebal-tebal di kelopak matanya kemudian lipstick merah matte di bibir tipisnya agar dirinya terlihat memiliki pouty lips.
"Sabrina," panggil laki-laki itu dengan lembut. "Kamu udah selesai touch up-nya?"
Isabel segera memasukkan jurnal dan alat-alat makeup-nya. "Yeees. I'm coming."
"Sebentar lagi mamaku datang," ujar Angga masih dari balik pintu.
"Okay. Just one second!" Isabel melirik penampilannya sekali lagi. Dengan percaya diri ia kemudian keluar dari ruangan itu. "Gimana penampilan saya, kamu suka?"
"Sesuai sama harapan aku. Kamu terlihat spektakuler." Angga pun membimbing Isabel ke ruangan teve di apartemen mewahnya tersebut, meredupkan lampunya, menuangkan minuman dingin ke dalam gelas kristal di depan Isabel. "Kamu siap?" Angga memastikan, matanya terlihat berkilauan dan menawan.
"Saya siap."
"Ngomong-ngomong tentang bayarannya, kalau jasa kamu memuaskan, aku bakal bayar kamu lebih," tutur Angga seraya mengedipkan sebelah matanya pada Isabel dengan menggoda.
"No. No." Isabel menjentikan jarinya. "Saya pantang membahas bayaran sampai pekerjaan saya selesai dan klien saya puas."
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.