Shanum mendesah lega ketika jam pelajaran matematika, pelajaran yang sangat tidak disukai Shanum akhirnya selesai. Dengan penuh kemenangan, buku catatan, latihan, dan paket matematika dia lempar ke dalam laci.
"Kadang gue mikir ya Cait, kapan coba pelajaran matematika lenyap dari muka bumi ini." keluh Shanum dramatis sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Mendengar Shanum berbicara padanya, Caitlin yang saat itu masih merapikan buku-bukunya menoleh. "Ya karena matematika sangat di butuhkan pada kehidupan kita. Berbagai persoalan kehidupan, bisa kita pecahkan dengan menggunakan matematika."
Shanum mendengus. "Yakali cuma pake rumus sama angka doang segala persoalan bisa langsung selesai."
Caitlin terkekeh. Di hadapkan tubuhnya ke arah Shanum. "Ya nggak gitu juga! Matematika kan mengajarkan seseorang yang mempelajarinya untuk bisa berpikir logis, kritis, analisis, sistematis dan kreatif. Cara berpikir matematika itu kan sistematis, dengan sendirinya otak kita akan terbiasa untuk memecahkan masalah kehidupan secara sistematis pula. Orang yang mempelajari matematika juga sebenarnya merupakan orang yang belajar untuk melatih kesabaran. Soalnya dalam mengerjakan berbagai persoalan dalam matematika kadang di butuhkan proses yang panjang dan rumit. Nah, dari sinilah kesabaran kita di uji supaya kita nggak cepet putus asa. Begitu juga dengan kehidupan, saat kita punya masalah atau persoalan hidup yang rumit yang harus kita lakukan ya terus mencoba, berjuang, sabar, sampai akhirnya nemuin jalan keluarnya.
Shanum kontan melongo dengan penjelasan panjang lebar Caitlin. Dia mengerjap perlahan. "Lo belajar dari mana teori kayak gitu?"
Caitlin tersenyum tipis. "Dari nyokap gue."
Shanum menggeleng pelan. "Pasti nyokap lo fanatik banget ya sama matematika?"
"Nggak juga sih. Nyokap gue pernah bilang kalau kita mau ngerjain sesuatu, langkah pertama yang harus kita lakuin ya menyukai sesuatu yang mau kita kerjakan itu. Kalau kita udah suka, seberat apapun hal yang kita kerjain nggak bakal jadi beban buat kita. Tapi kalau kita belum menyukai sesuatu itu, kita juga ngerjainnya bakal setengah hati atau bahkan berhenti di tengah jalan." "Mangkanya lo kalau mau jago matematika ya harus mencintai pelajarannya dulu." sambung Caitlin.
Shanum mendesah pelan. "Tapi gue udah terlanjur muak banget Cait sama matematika, serius deh. Mendingan gue mandiin gajah deh dari pada di suruh ngerjain soal matematika."
"Yakin lo mau mandiin gajah?" cibir Caitlin.
Cengiran lebar Shanum tercetak. "Nggak juga sih."
"Hiperbola sih lo!" ledek Caitlin.
Shanum merengut kesal, namun ekspresinya kembali normal. "Eh Cait gue mau nanya sesuatu deh sama lo."
"About?"
"Waktu pertama kali lo masuk di sekolah ini, lo kok udah kenal sama Andra?"
Caitlin mendesah panjang. Lalu di ceritakan lah awal pertemuannya dengan Andra. Tentang bagaimana sikap aneh Andra ketika laki-laki itu menjadi seorang delivery man dengan mulut pedas serta kurang ramah padanya. Berbeda sekali dengan delivery man pada umumnya saat itu, sampai kemarahan Andra karena tidak terima di sebut delivery man di depan teman-temannya.
"Ya jelas lah Andra marah sama lo, orang yang punya restoran aja bapaknya." komentar Shanum setelah mendengar cerita Caitlin.
"Ya menurut lo emang gue kenal siapa dia? Tau namanya aja nggak gue waktu itu. Apalagi jabatan bapaknya!" jawab Caitlin kesal.
Shanum meringis kecil. "Iya juga sih. Terus sekarang Andra masih nyari gara-gara sama lo?"
Caitlin mengangkat bahu. "Dia nyuruh gue minta maaf?"
"Terus?"
"Ya ogah lah gue! Emang gue salah apa sama dia sampe harus minta maaf segala?"
Shanum mengangguk samar. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Eh!" sebuah suara mengintrupsi.
Caitlin dan Shanum menoleh ke sumber suara. Suara yang sudah sangat Shanum hafal. Suara Valenia.
"Lo anak baru, jadwal piket lo hari ini." kata Valenia datar.
Shanum memutar kedua bola matanya. "Duh Valen, lo tuh ya kerjaannya merintah oraaang mulu. Emang lo ketua kelas disini?"
Valenia menoleh singkat. "Lo lihat aja ketua kelas yang kalian pilih. Bukannya ngelaksanain tugas dengan baik malah asik buat puisi nggak penting kayak gitu."
Rudi, yang sekali lagi di jelaskan bahwa manusia satu itu merupakan penggemar puisi Kahlil Gibran, yang sekaligus menjabat sebagai ketua kelas kontan tidak terima puisi-puisinya di anggap tidak penting. Dia dengan jelas bisa mendengar ucapan Valenia karena memang laki-laki itu duduk di belakang Caitlin dan Shanum.
"Maksud lo apa bilang puisi gue nggak penting? Emang lo kira novel menye-menye yang keseringan lo baca di perpustakaan juga penting?" balas Rudi karena cukup tersinggung dengan ucapan Valenia.
Valenia tidak menanggapi ocehan Rudi. Bola matanya masih terarah pada Caitlin.
"Lo hapus tulisan di white board sebagai tugas piket lo minggu ini." Valenia menyodorkan penghapus yang tadi dia bawa.
"Gue dengan senang hati dan nggak keberatan sama sekali di tugasin piket hari ini. Tapi gue nggak suka sama cara lo. Gue emang anak baru, tapi lo jelas tahu gue masih punya nama. Gue perhatiin dari awal cuma lo satu-satunya orang di kelas ini yang nggak suka sama gue." kata Caitlin. Nada bicaranya tetap tenang.
"Valen! Yang ketua kelas disini itu gue, bukan lo. Jadi lo berhenti deh nyuruh-nyuruh orang seenaknya aja." Rudi menyahut di belakang.
"Emang. Kayak nggak ada kerjaan lain apa selain nyuruh-nyuruh orang? jadi guru TK kek." celetuk Shanum yang mendapat delikan tajam Valenia. Shanum membalasnya tak kalah sengit.
Valenia menarik napas dalam. Kini matanya terarah pada Rudi. "Sebelum ada dia di kelas ini lo nggak masalah dengan gue yang kayak gini. Tapi kenapa sekarang lo malah sok berwibawa. Lo mau cari perhatian?"
Rudi menggeram kesal. "Lo!"
"Eh udah-udah!" sela Caitlin. "Gue bakal piket hari ini. Jadi kalian nggak usah ribut."
Caitlin bangkit dari kursinya. Melangkah dengan tenang ke arah white board dan menghapusnya.
Valenia yang sudah kembali ke tempatnya menyunggingkan senyum samar.
"Cait lo ngapain sih mau aja di suruh-suruh sama dia?" tanya Shanum ketika Caitlin sudah kembali ke tempatnya.
"Gue males ngelihat orang ribut." Caitlin menjawab singkat. "Tapi sebenernya dia itu siapa sih? emang sikap dia kayak gitu ya kesemua orang?" tambahnya. Pasalnya Caitlin memang penasaran dengan perempuan yang namanya saja tidak dia ketahui dengan jelas namun sudah terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap Caitlin.
Shanum menarik napas terlebih dahulu sebelum bercerita. "Namanya Valenia Putri. Dia itu spesies teraneh bin nyebelin yang ada di kelas ini. Dia juga manusia yang kayaknya cuma punya satu ekspresi kalau lagi ngobrol sama orang, datar. Terus dia itu sok perfeksionis, si penegak kebersihan dan kedisiplinan dan dia itu hobinya nyuruh-nyuruh orang. Padahal dia bukan ketua kelas. Dia juga cewek yang paling sok cantik seantero sekolah karena dia berani-beraninya nolak Andra dua kali, di tengah lapangan dan banyak orang pula. Ngeselin banget kan?"
"Andra? Jadi mereka nggak pacaran?"
Shanum menggeleng tegas. "Bukan rahasia lagi kalau Andra naksir berat sama Valen. Buktinya aja setelah di tolak dua kali, Andra masih aja nempel sama Valen. Gue yakin deh selain acara penembakan Andra yang dia lakuin di tengah lapangan, di saksikan banyak orang, pasti dia udah sering nyatain perasaannya ke Valen. Sikap sok cantiknya itu juga yang bikin dia makin di benci sama orang-orang. Tapi kebanyakan dari mereka nggak ada yang berani secara terang-terangan nunjukkinnya. Takut lagian sama Andra."
Caitlin mengerjap perlahan, masih tidak percaya dengan apa yang di ceritakan Shanum. Seorang Andra- ah maksudnya seorang laki-laki karena Caitlin sama sekali tidak mengenal Andra, masih terlihat gencar mendekati perempuan yang jelas-jelas saja menolaknya di depan banyak orang.
"Kalau Valen udah dua kali nolak dia, kenapa Andra masih mau deket-deket Valen? Emang itu cowok nggak malu apa udah di tolak mentah-mentah di hadapan banyak orang?"
"Andra aja sih yang kelewat bego menurut gue." Shanum meringis. "Nggak lama setelah acara penembakan yang berujung penolakan itu, Valen di bully habis-habisan sama cewek-cewek yang naksir Andra, akhirnya Valen membuat suatu pernyataan yang bikin gue mikir kalau itu cewek naif banget."
Caitlin memasang ekspresi penasaran. "Pernyataan apa?"
Shanum melirik sekilas ke arah Valen, memastikan jika sang objek pembicaraan tidak menyadari jika sedang menjadi bahan gosip. Setelah memastikan Valen tengah serius membaca buku, Shanum kembali menatap Caitlin. "Pernyataan tentang alasan kenapa dia nolak Andra."
"Alasannya apa?" sahut Caitlin tidak sabaran.
"Valen nolak Andra karena dia ngerasa nggak cocok kalau bersanding sama Andra. Gue masih inget sih sampe sekarang ucapan Valen waktu itu,"
Andra kaya raya, gue nggak! Andra punya segalanya, gue nggak punya apa-apa! Andra anak pemilik restoran sementara gue cuma pelayan kafe, Gue nolak Andra karena gue cukup tahu diri bahwa sampai kapan pun gue dan Andra nggak akan pernah sama. Dan gue yakin suatu saat Andra pasti akan ketemu sama orang yang lebih cocok jadi pacar Andra di banding gue.
"Serius dia ngomong gitu ke semua orang?" komentar Caitlin begitu Shanum meniru ucapan Valen satu tahun yang lalu.
Shanum mengangguk puas. "Menurut gue Valen itu terlalu naif, ya emang sih kita semua pada tau kalau kehidupan Valen jauh banget dari kehidupan Andra yang serba mewah. Tapi selama Andra nggak keberatan, mau nerima Valen apa adanya, apa yang di permasalahin sama Valen? Lagian kelihatan banget kok kalau Andra naksir banget sama Valen, jadi yaa emang Valen nya aja yang terlalu naif."
"Mungkin dia punya alasan lain yang nggak mau dia beberin ke semua orang."
Shanum berdecak pelan. "Tapi Cait kalau misalnya saling cinta, saling suka, dan saling sayang apa yang harus di permasalahin?"
Caitlin terdiam cukup lama sebelum akhirnya dia berujar, "Bukan urusan kita kan?"
Shanum mendelik namun dia tidak mengomentari ucapan Caitlin.
-When I Found You-
"Ssttt, Leon!"
Leon menoleh singkat. "Apaan sih!" ketusnya, kemudian kembali ke posisi semula, tangan di lipat di atas meja dan menaruh kepalanya di sana.
Bukan Diva namanya jika gampang putus asa. Perempuan itu malah nekat mencolek bahu Leon beberapa kali. "Leon ganteng bangun dong, temenin gue chatan, males tau pelajaran sejarah."
Leon menggeram pelan. Berusaha menenangkan diri agar dirinya tidak membentak Diva di saat Pak Mifta, guru sejarah masih menerangkan materi.
"Div jangan ganggu gue."
"Jangan tidur dong, temenin gue chatan aja ya ya ya?" pinta Diva.
Leon memejamkan mata sejenak sebelum dia menghadap ke arah Diva sepenuhnya. "Tolong-jangan- ganggu-gue." ucapnya penuh penekanan di setiap kata.
"Leon! Diva! sedang apa kalian?" suara tegas Pak Mifta membuat seluruh pasang mata kini terarah pada Leon dan Diva.
Leon bedecak pelan. "Nggak ada pak."
"Kalau tidak apa-apa kenapa kalian ribut-ribut? bosan dengan pelajaran saya? Kalau begitu kalian sekarang keluar!"
"Tapi pak, dia yang ganggu saya." protes Leon.
"Keluar!" bentak Pak Mifta.
Leon mendesis pelan. Ketika melewati tempat duduk Andra, Leon bisa melihat tatapan mengejek dari laki-laki itu. Leon mendengus dan memilih segera meninggalkan kelas yang di susul oleh Diva tentunya.
"Leon mau kemana? gue ikut!" pekik Diva seraya mensejajarkan langkahnya dengan Leon.
"Lo udah buat gue di usir dari kelas, dan gue mohon banget sama lo Div jangan ngikutin gue lagi."
"Masa lo tega sih ngebiarin gue sendirian." Diva membuat mimik sedih yang justru membuat Leon semakin sebal pada perempuan ini.
Leon mengangkat alis, tampak geli dengan ucapan Diva barusan. "Gue emang nggak peduli. Jangankan ngebiarin lo sendirian, ngeliat lo loncat dari lantai empat sekalipun, gue tetep nggak peduli!" ujar Leon, terselip rasa benci dalam nada suaranya.
Seolah tidak ingin mendengar suara Diva lebih lama lagi, Leon kembali melangkah dengan cepat. Meninggalkan Diva yang ketika melihat Leon akan berbelok untum menuruni tangga, barulah Diva tersadar.
"LEON GUE TAU SEMUA OMONGAN LO TADI CUMA BERCANDA! YANG MESTI LO TAHU BAHWA GUE MAKIN SUKA SAMA LO!!" Diva memekik histeris, seolah tidak memperdulikan bahwa jam pelajaran masih berlangsung dan besar kemungkinan jika ucapannya tadi terdengar oleh beberapa kelas.
Leon yang tentu saja mendengar pekikan Diva hanya bisa menggeleng tak percaya. Mengapa Diva bisa seagresif ini padanya? Pertanyaan itu selalu berkelebat di kepala Leon dan sampai saat ini kadang Leon masih saja di buat tercengang dengan tindakan nekat Diva.
Akibat pikirannya yang masih tertuju pada Diva dan segala kenekatannya membuat langkah Leon tidak fokus pada sekitar sehingga secara tidak sengaja Leon menabrak bahu seseorang.
Leon tertegun ketika melihat seseorang yang di tabraknya adalah Valenia. Begitu pun dengan Valenia, gerakannya yang terburu-buru untuk merapikan buku teman-temannya mendadak terhenti ketika mengetahui jika Leon lah yang tadi menabraknya.
"Sorry Len, gue nggak sengaja." ucap Leon ikut berjongkok untuk membantu merapikan buku-bukunya.
"Nggak apa." jawab Valenia tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. Setelah menerima buku yang telah di bereskan oleh Leon, Valenia segera bangkit berdiri.
"Duluan." tambah Valenia dan kembali melanjutkan langkahnya.
Leon hanya menatap punggung Valenia yang bergerak menjauh dengan tatapan sulit di artikan. Lantas setelah menghabiskan waktunya beberapa detik untuk berdiam diri, Leon menarik napas dalam dan ikut melanjutkan langkahnya.
Bersambung